Cantik Itu Tidak Cantik


Kali ini, saya tidak ingin membahas tentang batasan maupun tolok ukur yang menunjukkan sebuah kecantikan, apalagi sebuah ketidakcantikan. Beberapa waktu yang lalu, saya dan salah seorang teman sedang berkunjung ke sebuah tempat, dimana biasanya laki-laki maupun perempuan merefleksikan kecantikan fisik mereka. Di tempat inilah mereka menyadari betapa kurangnya cantik yang sudah diberikan kepada mereka. Masih banyak tempat maupun spot yang harus mendapatkan perhatian penuh supaya terlihat lebih mengkilap maupun mentereng.

Banyak produk yang ditawarkan, baik berbentuk jasa maupun barang. Banyak koreksi yang dilakukan, mulai dari atas kepala sampai ujung kaki. Ada saja yang tidak beres. Ada saja yang perlu untuk dipermak dan dijadikan lebih mulus.  Ada aja alasan untuk merayu pelanggan untuk membeli produk yang ditawarkan. Parahnya, mulai dari alasan normatif sampai alasan yang menyakitkan hati. Bayangkan dong, sambil menawarkan produk, seenaknya saja ngejek jerawat yang bersarang di wajah. Emang salah jerawat gitu? Salah wajah gitu dihampiri banyak jerawat?

Dengan memperjelas kekurangan (entah itu dianggap kekurangan), mereka sudah salah dalam menawarkan produk. Mana ada orang yang mau beli barang yang mereka tawarkan, kalau sudah menjelek-jelekkan dulu. Katakanlah bukan bermaksud menjelek-jelekkan, tapi mengulangi perkataan untuk memperjelas realita yang memang sudah terjadi, bukankah ada unsur kesengajaan? Huh…tau aja saya punya jerawat. Tau aja kalau saya tidak mau lagi rambut saya diluruskan seperti papan. Enak saja mereka!!

Apa itu Cantik?
Kemudian, dengan rasa percaya diri yang terlalu tinggi, sampai-sampai tidak mempertimbangkan reaksi pelanggan, tiba-tiba salah satu pegawainya mengatakan begini,
“rambutnya diluruskan saja mba, kalau saya punya rambut begitu, saya akan luruskan sih.” Kemudian salah seorang menjawab
“Wah, sayang banget mba, saya tidak ikut arus. Sudah banyak perempuan yang berambut lurus, saya mau beda sendiri.” Berkilah.
“Hahah..kalau mba ngelurusin rambut mba, pasti tambah cantik deh.”

Mendengar percakapan itu, saya langsung naik pitam. Saya berpikir bahwa standar dan tolok ukur cantik menurut mereka masih lah seperti yang terlihat did an melalui “kotak kuntilanak” alias televisi. Sudah jelas tidak mungkin produk pemutih wajah memakai model berkulit cokelat atau hitam manis. Sudah jelas tidak mungkin iklan penghilang jerawat memakai model seperti saya yang banyak jerawatnya. Tidak mungkin!

Jadi, apakah cantik itu harus dibandingkan dengan model iklan kecantikan? Apakah cantik adalah berambut panjang, lurus, dan hitam seperti model rambut Julie Estelle? Apakah cantik harus selangsing model susu pelangsing?

Terus bagaimana nasib berjuta-juta manusia yang berambut ikal, keriting, kribo, pendek, dan berwarna merah (karena sengatan matahari biasanya)? Terus bagaimana dengan nasib berjuta-juta manusia yang berkulit cokelat dan eksotis lainnya? Apalagi, bagaimana dengan nasib berjuta-juta manusia yang tidak tinggi, tidak juga langsing seperti model iklan, dan tidak berdada rata?

Kita bilang mereka tidak cantik? Atau kurang cantik?
Kalau menggunakan standar cantik “kotak kuntilanak” sih, sangat keterlaluan. Di samping tidak bisa melihat keberagaman makna cantik dalam dunia nyata, juga sangat sayang kalau kita masih menyerahkan standar cantik menurut batin kita hanya pada kotak bergambar yang dilengkapi suara itu.

Ini tentang selera bung!!
Selera sih selera, tapi bukan berarti menghambat pertumbuhan orang lain untuk memaknai kecantikan dalam diri mereka secara berbeda dan beragam.

Sayang kan, kalau sudah cantik secara fisik, tapi tidak dibarengi dengan cantik secara jiwa atau mental. Masih ingat dengan istilah yang mengatakan bahwa biasanya tampilan fisik seseorang bebanding terbalik dengan kepintarannya. Katanya sih, semakin cantik seseorang, maka dimungkinkan semakin tidak pintar lah. Katanya loh!!

Nah, kalau sudah begini, cantik seperti apa yang kita harapkan. Cantik fisik atau cantik hati. Kalau bisa sih cantik semuanya saja.

Jadi, tidak adil kawan kalau kecantikan hanya berdasarkan warna kulit, tekstur rambut, jumlah lipatan di perut, jumlah guratan di sendi tertentu, mancungya hidung, apalagi sampai membawa ukuran celana dalam. Wuih, parah banget. Kalau kita terus demikian, berarti secara tidak langsung kita mengakui kekalahan kita dari kepentingan pasar dan kapitalisme.

Siapa saja bisa berselera. Silakan mencari kepuasan dan kenikmatan dengan cara apapun, kepada siapapun. Asalkan, tidak lupa bahwa kita semua berbeda. Buatlah standar secara pribadi dan berlandaskan pada hati nurani yang dalam. Hati akan menjawab. Dan saya yakin, hati pun akan bersikap adil.

Jadi, seperti apakah cantik?
Apakah cantik itu memang cantik?
Cantik menurut siapa dulu?

Komentar

Postingan Populer