Kaka Pulang Sudah!


Aku hanya pergi tuk sementara, bukan tuk meninggalkanmu selamanya. Kupastikan kembali pada dirimu, tapi kau jangan nakal.
(Aku Pasti Kembali, Maia)

Sepenggal lirik lagu di atas bisa jadi merupakan lagu yang juga menggambarkan suasana hati saya di kala mengingat anak-anak saya selama ber-KKN di Kampung Sauwandarek, Raja Ampat. Kebersamaan dengan mereka begitu lekat, bahkan lebih lekat dari perangko dengan amplopnya. Walaupun waktu yang kami lalui bersama tidak lama, tapi pesan dan cinta yang membekas di dalam sanubari ini sudah tidak terperikan lagi dalamnya.

Bercerita mengenai pengalaman bersama dengan anak-anak memang tidak ada habisnya. Satu buku tidak akan cukup. Satu kisah tidak akan mampu mewakili. Satu abad bahkan sangat kurang untuk mengurai kebersamaan dan cinta yang telah dibagi. Bukan saja anak-anak yang saya temui selama di lokasi KKN, tapi hampir semua anak-anak di belahan dunia manapun pasti selalu memberikan kisah yang sayang untuk tidak dikenang.

Kenangan saya bersama dengan anak-anak di Sauwandarek ingin saya mulai dengan kisah yang sempat membuat saya sedih, tapi kemudian saya mengerti kenapa. Suatu hari, saya harus berangkat ke kampung sebelah, kampung Yenbekwan untuk mengurus kepergian saya dengan beberapa teman menuju Waisai. Kita ada keperluan untuk membawa bahan makanan dan juga bahan-bahan kebutuhan program. Di Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat kita akan menemui Sekretaris Daerah, juga pejabat penting lainnya guna mengurusi kebutuhan makan dan program.

Aktivitas yang sering itu ternyata memberikan dampak yang cukup berbeda kepada salah satu anak di Sauwandarek. Awin namanya. Dia merupakan salah satu anak yang paling aktif dan kritis kepada lingkungannya. Tidak jarang ia sering menanyakan pertanyaan, maupun memberikan penjelasan yang menurut saya sangat baru untuk saya. Tapi, itulah Awin dengan segala keceriaannya. Ciri utama Awin yang tidak akan saya lupakan adalah giginya. Bukan mengejek, tapi giginya yang patah separoh membuat dia semakin lucu ketika bebricara, tertawa, maupun mengangis.

Pernah suatu kali, ketika baru pulang dari Waisai bersama dengan teman lain, saya memanggilnya dan ingin mengucapkan salam dan ingin memeluknya juga. Alangkah malangnya nasib saya waktu itu, bagaimana tidak, Awin yang selama ini saya kenal periang dan suka berceloteh tiba-tiba diam. Awin tidak membalas sapaan saya. Awin menolak untuk saya peluk. Kejadian ini membuat saya sedih. Saya tidak tahu salah saya dimana dan apa. Saya hanya baru pulang dari Waisai bersama teman yang lain.

Seharian itu saya tidak berhenti berpikir mengapa Awin diam, ketus, dan tidak seperti biasanya kepada saya. Saya curiga, apakah saya sudah melakukan sesuatu yang sangat jahat kepadanya? Atau jangan-jangan Awin hanya sedang mengerjai saya. Tidak heran memang, di umurnya yang terbilang cukup muda, sekitar 11 Tahun dia sudah cukup mahir mengerjai saya. Tidak apa-apalah. Asalkan anak-anak itu bahagia, pikir saya. Tapi dengan mengerjai saya seperti ini, saya tidak bisa diam begitu saja. Saya harus berdamai kembali dengan Awin. Kami harus kembali seperti dulu pertama kali kami bertemu.

Sejak pertama kali bertemu, saya yakin bahwa anak ini memang istimewa. Juga dengan anak-anak yang lainnya. Tapi saat itu Awin memang berbeda. Dia lebih sering tersenyum dan menggoda. Mendekati saya, tapi kemudian lari ketika saya dekati kembali. Itulah anak-anak. Salah satu cara ampuh untuk menarik perhatian mereka memang dengan menggoda mereka. Walaupun mereka malu dan lari, tapi kita sudah diberikan cap oleh mereka di dalam hati mereka.

Kemudian, saya bertanya kepada teman saya Rima, mengapa kira-kira Awin bertingkah aneh kepada saya. Awin bisa bersikap seperti biasa kepada Rima, tapi mengapa kepada saya dia tidak biasa. Rima menjelaskan bahwa Awin bersikap begitu karena saya sering pergi-pergi. Saya sering meninggalkannya.

Astaga!!! Mendegarkan penjelasan itu saya menjadi sedih, sekaligus terharu dengan hubungan yang sudah terjalin di antara kami berdua. Betapa kami sudah saling terhubung oleh perasaan yang tidak lagi bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perasaan yang bagi banyak orang abstrak, tapi bagi saya sangat jelas. Kejadian ini semakin memperjelas.

Tidak berlama-lama, saya langsung berlari dan menghampiri Awin. Saya mendatanginya, kemudian memeluknya. Awalnya dia masih terkejut dan selalu menghindar. Tapi kemudian saya menjelaskan alasan kepergian saya yang menurut saya waktu itu terlalu berbelit-belit untuk dia mengerti. Lambat laun, saya mendekatinya dan berjanji padanya. Saya berjanji tidak akan pergi-pergi lagi. Saya akan berada di sana bersama dengannya juga dengan anak-anak yang lainnya. Saya akan bercerita terus kepada mereka. Kemudian, kelingking kami pun menyatu, tanda bahwa kami sudah baikan. Giginya yang patah separoh itupun mulai muncul kembali dengan guratan senyum di pipinya. Ah...bahagianya hati ini.

Semburan sukacita telah menggairahkan kembali semangatku untuk bersama-sama dengan mereka. Walau saya sadar betul, betapa waktu yang kami miliki sangat terbatas. Saya berjanji akan memanfaatkan waktu kebersamaan yang masih tersisa ini dengan sebaik-baiknya.

Kini, kami memang sudah berpisah. Hamparan lautan luas telah memberikan kami jarak yang tidak mungkin kami akan lalui dalam waktu singkat. Pertemuan paling mudah adalah lewat alam mimpi. Iya, mimpi yang akan selalu membawa kesukaan ketika mereka berada bersamaku. Semoga mereka juga memimpikan kabahagiaan mereka. Ada atau tanpa ada kami, saya kakaknya. Senyuman, tangisan, teriakan, candaan, bahkan pertanyaan konyol mereka akan selalu melekat erat, bahkan akan selalu terpatri dalam sanubari saya. Semoga kelak aku akan akan kembali padanya.
Aku pasti kembali....

Cacing Keroncongan di sore hari , 13 Januari 2012

M & M

Komentar

Postingan Populer