Laku Kritik Untuk Nietzsche


Sebetulnya, saya belum terlalu sering berkontempelasi dengan semua pemikiran seniman yang sekaligus filsuf. Atau filsuf yang sekaligus menjadi seniman ini. Karya-karya pemikirannya banyak dalam wujud puisi, prosa, kutipan, dan juga perumpamaan. Selain dari itu, banyak juga filsuf abad ke-20 yang menjadikan Nietzsche sebagai inspirasi dalam pemikiran mereka. Sebutlah Freud, Marx, Sartre, dan belakangan ini Foucault. Kalau begitu, bisa kita asumsikan sementara kalau filsuf berkebangsaan Jerman ini lumayan besar dan berdampak di zamannya, maupun zaman sesudahnya.

Salah satu pemikiran Nietzsche yang terkenal adalah ketika dia mengatakan bahwa “tuhan sudah lama mati”. Tentu, pemikiran ini bukan tanpa asumsi mendasar yang cukup kuat, walaupun memang bukan berarti pemikiran ini bisa lepas drai kritik. Keberadaan tentang ‘tuhan’ memang tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang ilmiah, sehingga tidak harus dirasionalkan. Bukti bahwa ‘tuhan’ ada atau tidak, sama-sama tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Makna Hidup

Salah satu dari sekian banyak pemikiran Nietzsche adalah tentang pemaknaan diri atas hidup dan dunia. Termasuk juga tentang ‘tuhan’. Nietzsche sangat menekankan pada keberanian dan totalitas dalam menjalani hidup. Dan salah satu cara yang ia tawarkan untuk menjalani kehidupan yang berani mengambil risiko ini adalah dengan alpa terhadap agama. Entah itu kemudian dimaknai sebagai hidup tanpa ‘tuhan’.
Terus, pertanyaan yang kemudian muncul di dalam benak saya adalah terkait dengan nilai baik dan buruk. Darimana standar atau tolok ukur moral yang kita miliki selama ini? Dari agama kah?

Menurut saya, di sini lah salah satu poin lemah Nietzsche, yaitu ketika dia beranggapan bahwa kehidupan total harus dijalankan tanpa menganut keyakinan pada agama tertentu. Kalau memang harus demikian, berarti kita atau siapapun yang menjalani nilai baik maupun standar moral tertentu tidak bisa mengadopsi nilai yang dimiliki oleh agama tertentu.

Misalnya saya mengaku tidak beragama, tapi kemudian saya sangat menjunjung tinggi Kasih dengan segala unsure di dalam kasih itu sendiri. Bukankah nilai-nilai kasih kemudian menjadi tolok utama kekristenan? Adakah saya mengadopsi nilai kekristenan? Atau sebenarnya nilai dan standar moral baik itu sudah ada jauh sebelum masa kekristenan. Kalau memang demikian, dari siapa dan siapa yang menanamkan nilai itu untuk pertama kali? Yesus kah?

Keberanian yang didengungkan oleh seniman ini menjadi begitu ambigu dan tidak otentik lagi. Apakah kita bisa lepas dari nilai-nilai yang sudah ‘telanjur’ kita jalani? Memang Nietzsche menyarankan untuk merevisi lagi nilai-nilai yang sudah kita yakini, tapi adakah nilai alternatif lain? Jangan-jangan semuanya sudah dikuasai oleh agama. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, kita tetap akan berada dalam ranah keagamaan maupun ketuhanan. Berarti ‘tuhan’ belum atau tidak benar-benar mati. Karena ternyata kita sendiri tidak bisa lepas dari cengkeraman ‘tuhan’ yang mewujud dalam berbagai hal, termasuk dalam standar moral maupun kebaikan yang dibawa oleh agama.

Berarti, mungkinkah manusia bisa hidup di dalam kehampaan tanpa ‘tuhan’? Juga, ‘tuhan’ yang dimaksudkan Nietzsche sebagai sosok yang sudah lama mati itu siapa? ‘tuhan’ yang mana?

Akan tetapi, lepas dari semua pertanyaan yang belum ada jawabannya ini, saya begitu menghargai nilai keberanian yang diyakini oleh filsuf yang pro-Semit ini. Tetap saja, di tengah kematian ‘tuhan’ yang begitu ia yakini, nilai-nilai kemanusiaan sangat melekat erat di dalam batin dan pikirannya. Terbukti ketika dia sangat anti terhadap nazi yang berniat memusnahkan kaum Yahudi dari peradaban dunia.

Nietzsche menyebutkan bahwa orang-orang yang anti-Semit adalah orang-orang yang bodoh dan tolol. Katanya, “Mereka yang anti-Semit tidak dapat memaafkan orang Yahudi atas kesalahan mereka memiliki otak encer dan uang banyak.”

Nietzsche meninggal karena sakit jiwa. Dia gila. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ia gila karena pemikirannya atau karena apa? Jangan-jangan sebelum dia meninggal, sebenarnya dia ingin meluruskan pemikirannya. Jujur, saya penasaran.

Kemudian saya teringat Marx yang menekankan adanya sebuah perubahan. Bagi saya, setidaknya Nietzsche sudah memikirkannya. Setidaknya dia menjadi inspirasi bagi filsuf-filsuf setelahnya. Bagaimanapun namanya layak dicatat dan diingat dalam sejarah pemikiran manusia. Bagaimanapun, siapa saja bisa melanjutkan pemikirannya. Atau jangan-jangan sudah ada yang bisa menjawab pertanyaan yang sangat sulit di atas.

Setidaknya kita sudah merenugkannya. Setidaknya Nietzsche sudah memberikan pemantik bagi kita untuk kembali merenungkan eksistensi kita sebagai manusia dan individu. Yang kemudian ternyata pemikiran Nietzsche juga masih berkembang samapai detik ini.

Mungkinkah asumsi Hegel bisa kita berlaku bagi gejala ini, bahwa “apa yang benar, biasanya akan bertahan lama.” Saya tidak mengatakan bahwa pemikiran Nietzsche sepenuhnya benar, tapi kenapa pemikirannya bisa bertahan begitu lama? Ini yang memerlukan jawaban.

“Ah…untuk apa kita harus mencari jawaban dari segala sesuatu, setidaknya kan kita sudah mengajukan pertanyaan.” Begitu kata filsuf awal Yunani.
Tapi, aku mau jawaban!

Komentar

Postingan Populer