Kesan Pertama

Seperti masih di dalam mimpi, tahu-tahu saya sudah berada di Pulau Para Lelle, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Banyak hal yang sampai membuat saya terdiam saja. Entah apa yang sedang direncanakan oleh Tuhan Alam Semesta atas diri saya.

Hari pertama tiba di Pulau Para, sudah banyak orang berada di dermaga, khususnya anak-anak yang akan menjadi murid saya kelak. Saya hanya bisa nyengir dan unjuk gigi karena saya tidak tahu apa yang harus saya katakan lagi. Setelah naik taksi laut (kapal) selama kurang lebih 5 jam yang mengasikkan. Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan.

Raut wajah yang kaget dan senang juga saya temukan dari beberapa warga dan anak-anak itu. Mata mereka bertanya-tanya, siapakah gerangan perempuan berkuncir yang dari tadi nyengir saja. Bapak angkat saya sudah datang menjemput dengan roda (gerobak) yang akan membawa koper, ransel, dan tas tidak penting lainnya.

Sesampainya di rumah, saya diminta menuju rumah bapak kepala sekolah, yang telah dua periode menjadi rumah tinggal Pengajar Muda. Kita makan banyak di rumah beliau. Saya juga membantu yang bisa saya lakukan, termasuk memakan makanan itu. Saya mencoba mencuci piring tapi dimarahi. Saya mencoba mengulek rica (cabai) dengan cobek yang terbuat dari kayu yang panjang, untunglah saya bisa melakukannya. 

Saya juga membereskan meja makan, dan kemudian menyapu rumah kepala sekolah.
Saya makan banyak hari itu, tidak tahu lagi bagaimana para cacing merayakannya di dalam perut saya.
Oh iya, di kampung ini rasanya memang seperti sauna saja. Belum apa-apa sudah keringat jagung bercucuran. Tapi, nampaknya saya akan menikmati matahari dan angin pantai ini.

Di rumah bapak kepala sekolah, saya berkenalan dengan seekor anjing yang diberi nama Putih. Saya langsung akrab, karena saya teringat dengan Tino juga. Saya juga memberi dia makan. Tapi, ternyata itu akan menjadi pertemuan pertama dan terakhir kami. Keesokan harinya, dalam rangka merayakan ulang tahun Ibu Lisbet Adolong (isteri bapak kepala sekolah) saya baru tahu bahwa salah satu jenis daging yang sudah saya lahap adalah daging si Putih. Saya terkejut dan syok. Bagaimanapun, saya telah menjadi salah satu peserta dalam tragedi kanibal kali ini. Maafkan aku Putih, semoga dengan menyatunya daging di dalam perutku, kita bisa tetap bersama.

Saya juga akan belajar bahasa Sangir dan bahasa kampung Para ini. Mendengar warga masih berbicara dalam bahasa mereka yang sangat kental, saya menjadi lebih bersemangat lagi untuk belajar bahasa.
Oh iya, seperti halnya yang saya temui di Tahuna (ibukota Kepulauan Sangihe) warga Para Lelle juga sangat senang menyanyi dan menari. Kita tidak akan asing mendengarkan dentuman lagu dan musik yang sangat kencang. Hampir-hampir memecahkan gendang telinga.

Saya juga sudah berkenalan dan bermain bersama anak-anak di sini. Banyak yang sudah akrab dengan saya. Dan saya juga mengakrabkan diri dengan mereka. Kesan pertama saya melihat mereka adalah mereka banyak yang cantik dan ganteng. Cantik dan ganteng khas Sangir. Mereka berkulit gelap eksotis, berlesung pipi, dan memiliki bentuk tulang wajah yang unik.

Oh iya, hari ini saya resmi diterima oleh Pulau Para dengan senang hati. Buktinya adalah saya mendapatkan ‘goresan istimewa’ di punggung kaki saya hingga robek. Hal ini terjadi di pantai, setelah saya, Oktasawira, Martin, Gledys, Novita, Ivonne, Dona, Ewe, Glaudio, Brian, sedikit memanjat bukit batu yang ternyata tajam. Saya pikir kaki saya hanya tergores saja. Eh, setelah saya lihat, darah sudah bercucuran. Saya teringat ketika pertama kali di Yenbekwan, Raja Ampat, Papua Barat, saya diserang oleh pasukan bulu babi dan telapak kaki saya sobek oleh terumbu karang.

Jadi, mulai saat ini (24 Juni 2013) saya resmi menjadi warga Pulau Para Lelle. Terlepas dari malam sebelumnya saya sudah bermarga Sakendatu. Monika Yeshika Sakendatu. Hahaha...

M & M
23.12 WITA

Komentar

Postingan Populer