Aku Papua

Sejak pulang dari Raja Ampat, Papua Barat dalam rangka KKN (Kuliah Kerja Nyata) saya yakin bahwa hidup dan cara pandang saya tidak akan pernah sama lagi sebelum saya berangkat. Ternyata, selama kurang lebih dua bulan berada di sana membuat saya secara fisik juga menyerupai fisik orang Papua. Mengapa tidak?

Kalau Edo Kondologit menyanyikan lagu “Hitam kulit, keriting rambut, aku papua”, rasanya saya tidak perlu menyanyi untuk membenarkan bahwa saya memang orang Papua.

Foto 1: Pleto dan Charles merupakan sahabat dekat. Mungkin sekarang mereka akan lulus SMP.

Sepulang dari KKN tahun 2011 lalu, saya mengalami perubahan yang lumayan signifikan. Mulai dari warna kulit, sampai rambut semua mengalami perubahan. Mungkin yang paling signifikan dalam perubahan itu adalah rambutku. 

Tiba-tiba saya rambut di kepala saya tidak lagi memanjang seiring berjalannya waktu, tapi mengembang. Tumbuhnya bukan ke bawah, tapi ke samping.
Cerita kali ini ada kaitannya dengan pengalaman saya di Papua.
***

Ketika berada di Labuan Bajo, pada suatu sore hari saya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pelabuhan. Aktivitas pelabuhan tidak terlalu ramai saat itu. Berbekal ransel, kamera, kaos, dan celana pendek saya berjalan mengelilingi dermaga dan sesekali melemparkan senyum kepada orang-orang yang saya temui.

Setelah selesai mengambil foto, mengobrol dengan salah satu pemilik kapal sewaan (berasa jadi wartawan pemula!) dan berkeliling di pelabuhan saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saya berikutnya.

Ketika dengan perlahan-lahan saya berjalan menyusuri dermaga, tiba-tiba ada sosok yang memanggil saya dari sebuah kapal sewaan yang biasa dipakai oleh para turis untuk berkeliling dan menikmati pemandangan bawah laut di pulau-pulau sekitar Labuan Bajo.

“Kaka, sebentar kaka! Kaka dari Papua kah?” sahutnya sambil mengayuh langkah seperti hendak berlari.

Saya sangat terkejut. Bagaimana mungkin ada orang yang berani mengajak saya mengobrol. Bukan karena saya menakutkan, tapi biasanya saya lah yang melakukan hal itu kepada orang lain. Dalam beberapa kesempatan, saya memang lumayan berisik.

Sosok itu langsung melompat dari kapal dan menghampiri saya yang mulai grogi.
“Halo kaka, saya Jeffry. Saya dari Serui ini. Kaka darimanakah?” sambil menjabat tangan saya.
(Belum sempat tarik napas)

“Ohh.. saya bukan orang Papua kaka. Saya....” pembicaraan saya terpotong

“Oh, saya ada lihat kaka pe baju itu. Sa pikir memang orang Papua”
(Saya memang sedang memakai kaos pemberian Mama di Raja Ampat. Itu loh kaos “Papua Diving”)

“Wah, sa kurang hitam kaka dan sa pe rambut kurang keriting lagi.”

“Panggil saja Jeffry. Saya yang bawa kapal itu (ada namanya, namun saya lupa nama kapal itu!)

“Begitukah? So berapa lama di sini kaka?”
....................................................................................
Perbincangan masih berlanjut sampai sekitar 30 menit ditambah dengan beberapa informasi yang diulang-ulang.
***

Pertemuan dengan Kak Jeffry itu lah yang membuat saya kembali mengingat momen bersama anak-anak dan orang tua yang saya temui di Raja Ampat yang sebagian kecil ceritanya telah saya jelaskan di awal.

Saya masih suka tertawa sendiri dengan pertemuan itu. Oh iya, ada satu hal lagi, si kaka itu meminta nomer hape saya. Kami langsung bertukar nomer hape dalam waktu perkenalan yang begitu singkat. Tidak lama sesudah pertemuan itu, Kak Jeffry masih mengirim pesan dan menanyakan kabar saya.

Sejak dulu saya memang sudah kagum dengan keramahan orang di Indonesia Timur. Walaupun tidak kenal, kalau berpapasan pasti tersungging senyum. Sama-sama mengantri ATM tetap senyum. Naik oto senyum. Ramah sekali.

Merasa terbiasa dengan keramahan mereka ini lah yang membuat saya takut bertemu orang-orang di Jakarta (walaupun, sebelum kejadian di atas saya sudah berada di Jakarta atau bahkan hidup di daerah urban).

Tidak sedikit yang jutek dan sinis. (Mon, mereka sudah lelah dengan rutinitas mereka. Apalagi sih yang kau mau?)

Pengalaman naik komuterline yang paling terasa menakutkan. Sangat sedikit manusia di dalam komuterline itu yang peduli dengan orang di sekitar mereka. Tidak memberikan tempat duduk bagi yang membutuhkan, menghalangi jalan orang masuk komuterline/bis, bahkan dijudesin kalau diingatkan. Huuffttt... bagi saya itu menakutkan.

Terbiasa diberikan senyum dan disapa, membuat saya agak canggung ketika naik komuterline maupun angkot. Aneh kan kalau tiba-tiba saya dicurhatin sama supir angkot atau kernet kopaja? Saya juga sering was-was kalau menemui pengemudi taksi yang pendiam, to the point, dan serius.

Akan tetapi, saya juga pernah menemui supir taksi yang terlalu peduli dengan kehidupan saya. Sampai-sampai beliau mengirimkan saya pesan singkat untuk menanyakan apakah saya sudah tiba di tempat tujuan dengan selamat. Beliau asli Tegal. J

Foto 2: Kami tidak berbeda! Kami adalah Papua. :)

Bukankah menjadi orang yang ramah itu menyenangkan?
Mungkin saya memang Papua. Hahaha..
(Hitam kulit keriting rambut, aku papua)
***



Komentar

  1. Seru banget ceritanya, orang2 daerah memang jauh lebih ramah2 ya.. :) Anyway, klo warnakulit hitam bisa disebut org Papua, berarti aku juga dong ya, tinggal rambut aja krg keriting, tapi itu masih bisa dibicarakanlah..hahahah
    Selamat melayani Monic.. ;)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer