Berbuat Baik

Hari itu jatuh pada tanggal 5 Desember 2013. Malam sebelum peristiwa terjadi, saya memang sudah mendapatkan mimpi yang aneh. Mimpi yang saya pikir hanya sebagai bahan bercandaan di dalam alam bawah sadar saya. Tapi ternyata Alam berkata lain, mimpi itu menjadi kenyataan.


Sekitar pukul 09.00 pagi, bersama dengan perangkat pemerintah kampung kami berangkat menuju Kahakitang, ibukota kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Keberangkatan kami dalam rangka menghadiri sosialisasi PNPM yang difasilitasi langsung oleh staf dari Manado. Untuk urusan yang berkaitan dengan dana bantuan usaha dan pembangunan ini sebenarnya saya bukanlah ahli. Sebenarnya saya ikut hadir dalam acara ini sebagai bentuk keterlibatan saya dalam kegiatan Kampung Para, tempat saya bertugas kurang lebih enam bulan ini.


Kami berangkat menggunakan Pamo*. Kurang lebih satu jam kami mengarungi lautan yang nampaknya adem ayem saja. Hanya ada hardikan hujan yang tiba-tiba membuat saya hampir berpikir bahwa keberangkatan kali ini bisa saja dibatalkan. Kalau ternyata dibatalkan, saya urung terlibat dalam kegiatan kampung deh. Padahal kan niatnya sebenarnya supaya dilihat peduli dan mau terlibat. Hahaha....


Sebagai bentuk untuk mengurangi rasa tidak berguna, saya bertekad untuk terlibat dalam kegiatan PNPM itu, yang jalannya juga begitu unik dan luar biasa. Dimulai dengan pertemuan secara tidak sengaja dengan staf fasilitator PNPM yang dari Manado dalam perjalanan kapal, sampai kejadian mendayung perahu di malam hari.


Setelah tiba di Kahakitang, kami langsung menuju gereja tempat sosialisasi dilakukan. Setibanya di gereja ternyata acara sudah dimulai. Saya langsung mengambil tempat dan berusaha untuk serius (seringnya tidak berhasil). Jam sudah menunjukkan pukul 12 lebih, cacing di dalam perut saya sudah meronta-ronta meminta makanan. Sepersekian detik setelah saya kompromi dengan cacing, pengacara (pembawa acara) mengatakan bahwa makanan sudah disiapkan. Rasanya bahagia memang. Sampai-sampai saya juga berharap yang memimpin doa makan mau mempersingkat doanya. (memang saya tidak tahu diri!)


Acara sosialisasi PNPM selesai sekitar pukul 3 sore. Setelah berbincang dengan fasilitator dan tamu lainnya, saya mendengar berita bahwa pamo yang sedianya kami pakai untuk pulang sedang di bawa oleh Opolau*** menuju Tahuna, ibukota kabupaten. Saya sudah mendapatkan firasat tentang kepulangan kali ini, ditambah juga dengan ingatan tentang mimpi semalam yang tiba-tiba muncul.


Sampai pukul 6 sore kami masih berharap Opolau akan datang dan kami bisa pulang bersama-sama ke Para. Namun, semakin jauh panggang dari api. Sampai pukul 8 malam kami menunggu secercah harapan, namun ternyata cahaya kecil itu tidak kelihatan di ujung jalan.


Akhirnya disepakati bahwa kami akan menginap di Kahakitang. Namun permasalahannya adalah kami tidak memiliki banyak kenalan di Kahakitang. Oh ternyata ada. Beliau adalah Bapak Sekretaris Camat. Beliau menawarkan saya untuk tidur di rumahnya saja. Tetapi, dengan berat hati saya menolak kebaikan bapak itu karena rumahnya jauh sekali di balik bukit. Walaupun beliau memiliki motor, hanya untuk menumpang tidur beberapa jam saya pikir tidak akan sebanding dengan lamanya dan lelahnya beliau mengantar saya.


Malam itu saya tidur di rumah tempat kami makan siang. Sedangkan yang lainnya tidur di kapal yang besoknya memang punya jadwal membawa penumpang dari Para. Anehnya, saya bisa tidur nyenyak.


Nah, sebelum saya terlelap, saya diajak oleh bapak fasilitator PNPM untuk mampir di penginapannya yang masih berlokasi di Kahakitang. Namun, walaupun begitu rumahnya bisa ditempuh dengan menggunakan Pambute****. Sebenarnya bisa juga ditempuh dengan berjalan kaki, namun karena sudah malam dan kondisi jalan yang rusak rasanya tidak mungkin.


Setelah dijemput oleh Pambute, kami bersedia menuju lokasi. Akan tetapi, lagi-lagi malam ini rasanya belum bisa berjalan mulus. Mesin tidak bisa menyala. Sedangkan Pambute tetap bergerak menjauh dari lokasi kami naik. Sambil sesekali kami mendayung untuk tidak terlalu jauh dari darat. Di bawah kerlip bintang malam itu, di tengah usaha nahkoda untuk menyalakan mesin, dan di tengah kesibukan penumpang bercerita, saya merenung dalam hati.


Sederhana saja. Ternyata berbuat baik pun ada saja tantangannya. Apabila saya runut lagi ke belakang, niat saya adalah agar terlibat dalam kegiatan kampung yang semoga bisa mengurangi kadar ketidakbergunaan saya. Halangan sudah ada sejak hujan menderu sebelum kami berangkat, sampai kami tidak bisa pulang ke Para, dan sampai saya mendayung di malam yang pekat ini karena mesin Pambute yang ditumpangi tidak bisa menyala sama sekali. 

Foto 1: Menanti Senja


Belum lagi ditambahi dengan kekonyolan pikiran-pikiran yang menghantui malam itu. Belum lagi bertemu orang yang mirip dengan salah satu murid Yesus, yaitu Yudas Iskariot. Belum lagi mimpi yang sudah menunjukkan pertanda-pertanda kejadian ini.


Mungkin memang sudah begini jalannya. Mungkin memang saya harus melewati skenario satu ini. Mungkin saya memang harus merasakan mendayung di malam hari. Mungkin memang mesin Pambute itu harus mati. Mungkin memang saya harus menginap di Kahakitang. Mungkin memang dan mungkin memang berikutnya,


Namun, saya tidak menyesal. Saya hanya bisa menertawakan diri saya dengan kekonyolan nasib saya malam itu. Berbuat baik saja ada saja yang harus dibayar ya? 


Para, 12.12.2013
15.44 WITA



** Pamo itu seperti perahu juga hanya lebih lebar dan memiliki atap. Bisa di bawa menggunakan mesin
***Opolau adalah Kepala Desa

****Pambute juga perahu khas Sangir, bisa pakai mesin dan bisa juga menggunakan dayung

Komentar

Postingan Populer