Manusia, Waktu, dan Kesempatan

"You know how everyone's always saying seize the moment? 
I don't know, I'm kind of thinking it's the other way around, you know, like the moment seizes us."
(Boyhood, 2014)

Manusia

Masalah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kalau ada orang yang tidak punya masalah dalam hidupnya, justru dipertanyakan. 

Setelah mengikuti sebuah kebaktian sore, saya bertemu dengan seorang bapak di antrian keluar pintu sambil memberi salam satu dengan yang lain. Saat melihat bapak itu, saya tiba-tiba tidak ingin mendahului bapak ini. Saya ingin berada di sampingnya, bahkan ingin mengobrol sejenak. (Biasanya saya selalu ingin cepat-cepat keluar)

Meskipun agak gugup, saya mulai juga perbincangan hangat malam itu. Bapak ini sedang dalam keadaan sakit, kaki kanan maupun kirinya tidak berfungsi dengan baik, sehingga harus menggunakan tongkat. Alas kaki pun beliau tidak bisa pakai.

Setelah berbincang hangat sambil menunggu antrian keluar beliau mengatakan bahwa saat ini beliau sedang menunggu antrian kamar kelas III di RSCM.

Dalam sakit yang beliau rasakan tidak membuatnya menjadi murung dan pemarah. (Saya merasa terpukul karena dalam keadaan kaki yang baik-baik saja, belakangan ini emosi saya begitu mudah tersulut)

Setelah berpisah dari ruangan itu saya mengucap doa yang memohon supaya Bapak bisa mendapatkan kamar dan perawatan terbaik. Semoga bapak ini bisa sembuh.
**

Waktu

Sore ini Bapak Pendeta berbicara mengenai waktu yang sudah ditetapkan dari awal mula penciptaan tidak akan bisa ditunda maupun dipercepat. Sebutlah waktu untuk kelahiran, kematian, sakit, menikah, menderita, dan bahagia. Semua sudah ada waktunya masing-masing. Semua sudah ditulis dan ditetapkan.

Maka, beliau meminta semua jemaat untuk menggunakan waktu yang masih ada ini untuk berbuat baik dan bertobat. Siapa yang bisa mengukur kesabaran manusia?  Kesabaran manusia bisa kita ukur. Amarah, dendam, perselisihan, dan murka menjadi penandanya.

“Where there is no love, there is no peace.” Ketiadaan kasih sayang telah membuat perselisihan. Waktu yang dimiliki manusia habis untuk berkonflik, berperang, teror, dan perbuatan jahat lainnya.
Bagaimanakah kita akan menjalani dan menghabiskan waktu kita yang kita tidak tahu ini?
**
Foto: Waktu senja di dermaga Pulau Para, Sangihe. 2014.


Kesempatan

Saya menulis pengalaman ini karena saya sangat bersyukur bertemu Bapak ini. Beliau telah berhasil membuat saya menemukan kesadaran kembali. Mengapa saya begitu egois? Mengapa saya sibuk memenuhi pikiran saya dengan pikiran-pikiran yang merugikan saya dan orang lain?

Kesempatan kali ini saya gunakan untuk menilai diri saya sendiri. Merasa memiliki persoalan hidup yang lebih berat dari orang lain tidak akan pernah membantu menyelesaikan masalah. Bertemu dan mengobrol dengan Bapak tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ‘aneh’ yang memenuhi pikiran saya selama berminggu-minggu.

Kesempatan kali ini begitu berharga. Tidak akan kulupakan.
Semoga saya masih memiliki kesempatan.
***

Jakarta, 30 Maret 2015
01.25 WIB




Komentar

Postingan Populer