Mencapai Puncak Himalaya Flores (Bagian I)
Sejak malam sebelum berangkat menuju lokasi perpustakaan
Taman Bacaan Pelangi (TBP) di Kampung Datak, saya tidak bisa tidur dengan
nyenyak. Waktu tempuh perjalanan menuju lokasi membuat saya tidak bisa berhenti
membayangkan apa yang akan saya alami.
Saya berangkat bersama dengan Kak Bosco dan Kak Gusti, yang
belakangan ini sudah akrab dengan perjalanan bersama dengan tim TBP. Mempersiapkan
amunisi berupa makanan ringan dan minuman bersoda merupakan strategi yang
bagus.
Kampung Datak merupakan kampung halaman Kak Bosco. Kak Bosco
adalah seorang pemandu wisata. Sudah terlalu banyak kisah perjalanan Kak Bosco
bersama tamu luar maupun dalam negeri, sampai-sampai seharian tidak akan cukup
untuk mendengarkan kisah beliau. Saya berpendapat bahwa menjadi seorang pemandu
wisata itu sangat menyenangkan. Bertemu orang baru, yang pasti membawa
pengetahuan dan wawasan baru bagi si pemandu.
Saya juga menduga, karena sudah terlalu banyak membawa tamu
untuk bertemu komodo, Kak Bosco sebenarnya bisa beralih tugas menjadi ‘ranger’,
begitu mereka menyebut pawang komodo. Kak Bosco juga bercerita bahwa dia bisa
mengenali komodo dan lokasi peristirahatan komodo-komodo tertentu. Saya hanya
membayangkan tawa khas Kak Bosco kalau saja mendengar saran saya yang satu ini.
Selama kurang lebih dua jam kami menempuh perjalanan menuju
Kampung Datak. Mengingat kampung itu merupakan kampung halaman Kak Bosco, maka
tidak heran Kak Bosco disapa dan menyapa setiap orang yang kami temui di jalan.
Kami langsung menuju perpustakaan TBP yang ada di Kampung
Datak. (Sebenarnya saya sudah
merencanakan untuk menulis pengalaman di Datak di tulisan berikutnya).
Jadi, saya langsung lompat ke inti cerita di tulisan kali
ini saja ya! Heheh..
***
Setelah berkegiatan dengan anak-anak perpustakaan TBP di
Datak, kami pun bersiap-siap menuju Kampung Rebak. Lokasi perpustakaan TBP yang
masih harus ditempuh selama beberapa jam dari Datak. Bedanya, menurut cerita
Kampung Rebak berada di perbukitan. Kondisi jalan yang masih buruk, dan saat
itu musim hujan, agak mustahil bagi kami untuk bisa menempuh perjalanan menuju
Rebak.
Mendengar penjelasan dari Kak Bosco yang sudah lebih berpengalaman
di lapangan, membuat saya sempat ragu untuk berangkat. Akan tetapi, mendengar
antusiasme Pak Hendrik, pengelola perpustakaan TBP di Rebak lewat telepon,
semangat saya untuk menempuh perjalanan seburuk apapun muncul kembali.
Kami harus menggunakan truk koli, karena hanya moda itu yang
mampu melalui jalanan buruk, berlobang, berbatu-batu, ditambah lagi kondisi
hujan membuat truk harus berhenti di jalan tertentu untuk menaruh dedak di
jalan yang akan dilalui oleh roda.
Saat itu ada seorang pemilik truk koli yang kebetulan tidak
beroperasi. Namun, bukan optimisme yang saya dapatkan. Beliau sempat
mengiyakan, tapi ragu dengan kondisi jalan. Beliau tidak mau ambil resiko truk
dan penumpang mengalami hal yang tidak diinginkan selama di perjalanan.
Tiba-tiba hujan turun. Saya semakin patah semangat. Saya
sudah hampir menyerah dan berniat membatalkan kunjungan saya ke Rebak. Bayangan
wajah Pak Hendrik tidak berhenti berputar-putar dalam benak saya. Saya tidak
ingin mengecewakan beliau. Mungkin saja beliau sudah meminta istrinya untuk
masak besar dalam rangka menyambut kedatangan kami hari itu.
Menunggu hujan reda, saya memutuskan untuk tetap berangkat.
Kak Bosco dan Kak Gusti tidak bisa berkata apapun lagi. Saya mengatakan bahwa
kita menempuh jalan yang bisa dilalui mobil ini saja. Kita berhenti di jalan
yang memang sudah tidak mungkin untuk dilalui. Dalam hati saya sebenarnya tidak
yakin. Setidaknya saya sudah melakukan sesuatu, begitu pikir saya saat itu.
Hal lain yang sebenarnya membuat saya ‘harus’ ke Rebak
adalah saya membawa sembilan dos besar kado natal yang sudah dikirim sejak
desember lalu, tapi belum bisa dibawa sampai ke Rebak. Tekad saya adalah
menibakan kesembilan dos itu di Rebak dalam keadaan utuh dan selamat.
***
Saya sendiri belum ada bayangan rupa jalanan yang begitu
buruk seperti yang digambarkan oleh penduduk di Datak maupun oleh Kak Bosco.
Saya tidak ingin berhenti hanya karena diberitahu, tapi saya ingin melihat
langsung. Akhirnya, kami bertiga berangkat dengan mobil kecil milik Kak Gusti.
Setelah menempuh sekitar 500 meter, saya sudah mulai bisa
membayangkan jalanan yang sebenarnya. Iya, memang mustahil untuk kami lalui
dengan mobil kecil. Ibarat pepatah yang mengatakan “Seperti makan cempedak,
tidak dimakan ayah mati, dimakan ibu mati.”
Kalau kami terlalu memaksa untuk jalan terus, risikonya
adalah kami tidak bisa pulang. Kami akan tertahan di tengah jalan. Mobil tidak
bisa bergerak ke kanan dan ke kiri. Kalau kami tidak jalan, risiko penduduk
Rebak kecewa juga tidak dapat saya tanggung.
Namun ternyata, keberuntungan masih berpihak kepada kami.
Di tengah jalan kami bertemu dengan truk koli yang hendak
menuju Datak. Sang sopir baru dari kampung sebelah dan berniat untuk mencuci
truknya.
“Voila!!!” Nah, ini dia nih yang namanya keberuntungan.
Jelas saya kepada Kak Bosco dan Kak Gusti. Mereka hanya bisa tersenyum.
Setelah bernegosiasi tentang ongkos, kami pun berangkat
membawa sembilan dos itu menuju Rebak.
Ternyata perjuangan kami belum selesai. Truk hanya bisa
mengantar kami di kampung tetangga terdekat Rebak.
Sang Sopir pesimis untuk
membawa kami sampai ke atas. Tidak mungkin. Tidak bisa. Memang perjalanan yang
kami tempuh tadi sudah cukup jadi pelajaran. Saya seperti naik salah satu
wahana di Ancol yang mengocok isi perut sampai keluar.
***
Kabar gembiranya adalah Pak Hendrik dan beberapa orang anak
sudah menunggu. Pak Hendrik bahkan sudah menunggu sejak pukul 10 pagi (saya menelepon beliau dua jam sebelumnya
dan mengatakan saya baru berangkat dari Labuan Bajo). Tidak perlu saya
perjelas lagi bukan, kenapa saya harus ke Rebak hari itu juga? Heheh...
Foto 1: Bertemu Pak Hendrik dan anak-anak Rebak. Berfoto dulu sebelum perjalanan panjang berikutnya. :) |
Sekitar pukul 16.00 WITA akhirnya saya bertemu dengan Pak
Hendrik. Anak-anak langsung bekerja sama mengangkat kardus-kardus berisi hadiah
untuk mereka. Saya bertanya berapa jauh lagi dari tempat kami berhenti menuju
Rebak, Pak Hendrik bilang tinggal sedikit lagi.
Mengingat pengalaman saya mengenai kata “sedikit lagi’, saya
tidak terlalu percaya dengan ucapan kali ini. Dan ternyata memang betul, kami
masih harus berjalan mendaki sekitar kurang lebih dua jam untuk mencapai Rebak.
Saya sangat kelelahan. Napas saya sudah satu-satu. Pak
Hendrik menawarkan untuk membawa tas punggung saya, saya menolak. Serius, saya
seperti sedang berada di Himalaya. Bedanya adalah Himalaya yang saya daki ini
ada di Flores.
***
Ketika tiba di Kampung Rebak, lelah saya hilang ketika
bertemu anak-anak dan orang tua yang menyapa kami. Saya sudah tidak sabar untuk
berbagi keceriaan bersama dengan anak-anak di Rebak. Hanya saja, saya mengalami
kesulitan untuk berbagi keceriaan karena sebagian besar anak-anak di Rebak
belum terlalu mengerti Bahasa Indonesia, khususnya anak-anak kelas kecil.
Foto 2: Anak-anak Rebak! Senangnya!! |
Selain itu, Pak Hendrik yang selama pendakian tadi
menawarkan akan menyediakan kelapa muda, setibanya di rumah beliau langsung
menghidangkan kelapa muda lengkap dengan gula merah.
Jadi, perjalanan yang bagi saya merupakan perjalanan yang paling
melelahkan itu, sekejap hilang begitu saja. Saya bahkan lupa kalau saya lelah.
(bersambung)
***
Pengalaman yg sangat luar biasa skali ibu Monica Harahap..ketika ibu memijakkan kaki di tanah flores..bisa bertemu suasana baru di sana..tapi klo ibu punya waktu sesekali lagi utk berkunjung kesana..ibu pasti sangat senang..karena jalan raya dri datak ke kampung rebak sudah berubah total/sangat membaik...dan terimakasih ibu Monica Harahap telah berkunjung ke flores terlebih kusus kampung datak...SYa senang membaca pengalaman ibu yg ini..trimakasihh da sampai jumpa..GBU.
BalasHapus