Puasa ala Pulau Rinca dan Messah

Membaca berita tentang pemilik warteg yang ‘diamankan’ oleh sejumlah satpol PP lewat situs berita membuat saya sedih. Bukan saja karena prihatin kepada ibu pemilik warung, tapi terlebih saya prihatin kepada orang-orang yang mengatasanamakan penghormatan kepada agama tertentu tapi menyisakan penderitaan bagi orang lain. Jadi, agama itu apa sih? Pembawa damai atau perusak kemanusiaaan?

Saat ini saya berada jauh dari tempat kejadian perkara, yang mana dalam waktu tertentu saya bersyukur. Saya bersyukur karena di sini, di tempat saya berada sekarang saya tidak menemukan satu pun razia tempat makan yang buka di siang hari selama bulan puasa. Bahkan sejumlah rumah makan padang dan warung jawa tetap melayani pelanggan meskipun mereka sedang berpuasa. Keren kan?
Di sini saya juga tidak menemukan sekelompok manusia yang mengaku ahli beragama berkoar-koar di tengah jalan menyuarakan ‘suara tuhan’.

Saya ingin bercerita tentang puasa yang saya alami dan dijalani oleh penduduk Pulau Rinca dan Pulau Messah, Flores. Walaupun saya mengatakan yang saya alami, bukan berarti saya sedang berpuasa. Saya mengalami bagaimana orang-orang yang sedang berpuasa begitu menghargai orang yang tidak berpuasa, dalam hal ini saya pribadi.

Pulau Rinca adalah salah satu pulau yang dilindungi dan menjadi bagian dari Taman Nasional Komodo. Nah, pulau Rinca itu bukan hanya dihuni oleh Komodo, tetapi juga manusia. Menurut cerita yang saya dengar, puluhan tahun silam manusia dan komodo hidup berdampingan dengan damai.
Jadi, dalam beberapa kesempatan saya menyaksikan bagaimana komodo berusaha untuk CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) dengan penduduk melalui kehadiran mereka yang tidak terduga di sebelah rumah, dekat sekolah, maupun dekat pantai. Kadang-kadang saya berpikir kalau Komodo memang serius ingin balikan. Heheh..
100% penduduk di kampung Rinca adalah muslim, begitu juga dengan pulau Messah. Di bulan yang suci ini, mereka menjalankan puasa dan tentu sambil bekerja juga. Kalau tidak bekerja nanti mereka makan apa saat berbuka dan sahur? Heheh..

Sejauh yang saya amati, tidak ada yang berubah drastis dalam keseharian mereka selama bulan puasa ini. Yang berbeda mungkin mereka harus makan sekitar pukul tiga pagi, shalat ke masjid lebih sering, lebih sering melantunkan ayat-ayat suci, dan berbuka puasa dengan yang manis-manis. Iya, makanan pembuka saat buka puasa yang paling dinantikan, termasuk saya. Saya sangat menunggu berbuka puasa, karena makanan yang disajikan enak-enak. Hahaha… :D

Ketika saya menginap di pulau Rinca & Messah, mereka sudah tahu bahwa saya tidak berpuasa. Jadi ketika jam sarapan maupun makan siang, keluarga tempat saya tinggal pasti menyediakan makanan untuk saya. Kadang-kadang saya juga bertanya kepada anak-anak apakah mereka berpuasa atau tidak. Lumayan banyak juga yang sambil tersenyum manis mengaku tidak berpuasa. Jadi, saya tidak sendirian dong. :D

Sesekali saya juga mengingatkan mereka untuk belajar berpuasa walaupun kalau tidak sanggup jangan dipaksakan. Puasa itu harus berdasarkan kerelaan bukan karena disuruh atau dipaksa. Iya nggak?

Yang ingin saya sampaikan adalah begitu indahnya hidup dalam damai. Hahah.. apa sih? Melalui tulisan ini saya tidak berusaha untuk menjadi agen perdamaian PBB, tapi coba ya semangat orang-orang di pulau ini bisa ditiru oleh mereka yang hidup di kota besar sana.
Ada yang makan siang, minum es campur, makan takjil sebelum waktu berbuka bukanlah masalah besar.
Ada yang buka warung makan waktu bulan puasa bukanlah sebuah dosa, karena masih banyak juga manusia yang perlu makan dan tidak harus ikut berpuasa ataupun makan sembunyi-sembunyi.

Bahkan keluarga yang memberi saya makan ketika di pulau menyediakan makanan terbaik ketika sarapan dan makan siang, walaupun mereka sedang tidak makan siang. Bukan saya tidak tahu diri, tapi memang begitulah mereka. Orang baik. Perlu dicontoh. Mereka tidak mengkotbahi saya untuk menghormati mereka karena sedang berpuasa. Mereka menyuruh saya makan. Makan.

Nah, kalau misalnya kita semua bisa membayangkan betapa indahnya kehidupan yang damai seperti yang saya alami di atas, bukan mustahil umur kita akan bertambah panjang. Kita tidak akan lagi membaca atau menonton berita yang menguras emosi dan akal sehat. Kita jadi bahagia.

Pilihan untuk mematikan televisi tidak ada selama saya di pulau, karena itu menjadi satu-satunya penghibur di kala genset listrik menyala. Jadi, menurut saya pilihan untuk menyediakan berita dan tontonan yang sehat masih sangat mungkin untuk dilakukan oleh orang-orang berduit di kota besar sana.
Tolong jangan buat kami harus menonton sinetron Anak Jalanan, Senandung, maupun drama-drama India itu. Please!
Labuan Bajo, 26.6.2016

Komentar

Postingan Populer