Saya Jalan-jalan , Maka Saya Ada (Bagian 1)

Sambil menyicil buku yang harus saya baca di musim liburan ini, saya tiba-tiba ingat percakapan saya dengan Rima, sahabat saya yang dalam keadaan apapun kami suka membahas hal-hal yang tidak penting sampai yang paling penting.

Kadang-kadang kami membahas topik yang idealnya dipikirkan oleh menteri atau bahkan pemimpin negara. Heheh.. Bahasan itu bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Misalnya ketika berjalan kaki (yang mana menjadi kesukaan kami) menyusuri Waisai dan sekitarnya, saat duduk di taman bermain anak-anak dalam rangka tarik nafas sejenak, saat menumpang di speedboat gratis, saat makan bersama, saat lelah melompat dari dermaga, dan saat leyeh-leyeh di kamar dengan atau tanpa pendingin ruangan. Hahahha….

Tulisan ini juga menjadi sambungan dari tulisan “Percakapan Gantung” (https://www.facebook.com/notes/rima...) yang sudah dirilis oleh Rima beberapa waktu lalu. Dalam beberapa percakapan kami sepakat untuk membuat cerita bersambung dari tulisan itu, tentu dengan gaya tulisan masing-masing.

Salah satu topik bahasan kami waktu itu adalah mengenai tren ‘traveling’ alias jalan-jalan dikalangan anak muda seumuran kami. Usia-usia produktif, sedang giat bekerja, tabungan sudah lumayan, dan sudah siap membangun keluarga. Saya harus mengakui bahwa kami berdua masih jauh dari itu semua. Kami mungkin sedang giat untuk melakukan sesuatu, tapi tabungan tidak banyak dan sangat jauh dari urusan membangun keluarga.

Nah, anak-anak muda usia kami ini sekarang sedang suka sekali untuk jalan-jalan, yang membuat istimewa lagi adalah mereka menggunakan uang pribadi mereka. Mereka tidak merepotkan orang tua lagi untuk urusan menyenangkan diri sendiri. Mereka juga sudah lebih mengerti bagaimana membuat diri sendiri bahagia.

Memanfaatkan cuti dengan sangat hati-hati dan berharga. Berlibur dengan mengunjungi lokasi-lokasi yang eksotis yang siap untuk didatangi di hampir seluruh pelosok negeri Indonesia ini. Mereka juga rela dan bisa merogoh kantong lebih dalam untuk pengalaman liburan yang langka dan mahal.

Kemudian, pengalaman itu akan bisa ditemukan di akun media sosial mereka, seperti Facebook, Path, dan Instagram. Semua perjalanan mereka sangat Instagram-able, facebook-able, dan path-able banget. Banyak jempol dan love bertebaran untuk foto-foto yang diunggah. Hampir 85% beranda media sosial dipenuhi dengan foto-foto lokasi liburan dan tentunya selfie-selfie. Saya juga memberikan jempol ke beberapa postingan teman di media sosial.

Rima menyebut masyarakat sekarang sedang atau sudah berubah menjadi masyarakat digital, atau dia sebut sebagai ‘digital society’. Sebagai anak sosiologi, dia lebih memahami ini. “Terus setelah itu apa, Ben?”saya tanya dengan sedikit gusar. “Iya tidak tahu.” Jawabnya.

Tempat-tempat eksotis itu telah menjadi komoditas. Pantai, gunung, dan desa tradisional yang telah dikunjungi itu sudah menjadi dagangan. Pariwisata adalah sebuah industri. Ke-sakral-an sebuah tempat sudah menjadi komoditas. Sudah dijual. Nah, pertanyaan saya kemudian adalah “Apakah tempat itu tetap sakral walaupun sudah diperdagangkan dan dikunjungi oleh banyak orang?” Saya masih memikirkan itu sampai sekarang.

Saya juga ingat ketika jalan-jalan dengan seorang teman, tidak sekalipun ia menyalakan kamera untuk menjepret keindahan-keindahan yang disediakan oleh Alam. Ketika saya tanya kenapa dia menjawab bahwa dia lebih ingin menikmati pemandangan itu dengan kedua matanya dan menyimpannya baik-baik di dalam ingatannya.
Terus saya lanjutkan bertanya, “Bagaimana kalau suatu saat kamu amnesia dan lupa dengan semua keindahan ini?” Dia tidak punya jawaban yang membuat saya puas.
Fenomena ini tidak pasti akan berhenti kapan. Saya menduga masih akan lama, akan tetapi bisa juga cepat akan berganti. Mungkin nanti akan bosan jalan-jalan, bosan selfie, bosan mengunggah foto ke media sosial, dan kebosanan lainnya. Tapi mungkin juga tidak.

Mungkin lainnya juga ingin menunjukkan eksistensi dengan menunjukkan bahwa mereka sudah berhasil mendaki gunung tertentu, sudah berhasil menyelam di kedalaman tertentu, atau sudah berhasil menuju lokasi liburan yang paling mahal, saking mahalnya tidak banyak orang awam yang bisa kesana. Terus setelah itu apa? (bersambung)
Saya masih perlu waktu untuk melanjutkan cerita ini, tapi mungkin saya masih perlu disksusi dengan Rima atau sekedar merenung sore-sore sambil minum kopi flores atau jalan-jalan dengan Cecilia, sahabat kecil saya. :)

Komentar

Postingan Populer