“Kaka Monik Makan Babi Kah…?”

Pertanyaan itu tiba-tiba menjurus ketika sedang asyik duduk santai di dermaga desa Tomara, Pulau Bacan, Halmahera Selatan.
Berfoto bersama setelah mengerjakan PR rame-rame. :)

Setiap sore bersama dengan anak-anak, kami suka bermain dan bercengkrama di dermaga untuk sekedar menunggu datangnya keajabian, yaitu melihat (oke, lebih tepatnya mengharap) lumba-lumba muncul ke permukaan laut yang membentang di hadapan kami. :))


Selain itu, hal wajib lain yang harus kami lakukan adalah berenang dan melompat dari dermaga. Setiap sore. Sangat menyenangkan.

Ketika salah satu anak laki-laki menanyakan pertanyaan itu, saya seperti diingatkan kembali mengenai pengalaman yang berkaitan dengan agama dan keyakinan yang saya anut.

Kalau dulu ketika pertama kali datang ke Tomara yang 100% penduduknya adalah Islam, tidak lama bagi mereka untuk menandai bahwa saya berbeda dari mereka. Saya berbeda dari mereka. Saya Keresten. Begitu anak-anak menyebutkan agama saya.

Seperti dulu, sekarang ketika mereka menanyakan apakah saya makan babi atau tidak, sebenarnya saya agak takut. 

Saya takut ketika mereka menilai saya dari apa yang saya makan. Saya takut mereka akan menilai saya dari identitas yang melekat dalam diri saya.

“Iya, kaka so pernah makang babi!” (Iya, kaka sudah pernah makan babi)

Agak sedikit terkejut mereka mendengar jawaban saya. Beberapa di antara mereka saling berbisik. Entah sedang membahas apa.

“Kaka makang berapa kali?” (kaka makan berapa kali)
“So beberapa kali.” (sudah beberapa kali)
“Kaka so tra makang lagi kang?” (Kaka sudah tidak makan lagi kan?)
“Iyoo..” jawab saya setengah tidak enak.

Saya ingin menjelaskan bahwa saya memakan babi bukan karena itu tidak dilarang oleh agama. Bahkan, kalau dilarang pun saya akan tetap makan. :D

Jadi, anak-anak di Tomara mendapat informasi bahwa orang Kristen itu kerjanya tukang bunuh orang Islam. Beberapa anak menanggapi informasi itu dengan serius.

Orang-orang dewasa yang tidak bisa menanggapi informasi dengan benar akan menyampaikan informasi itu dengan cara yang berbeda, atau bahkan salah. Kerusuhan Ambon yang sampai memakan banyak korban beberapa tahun silam mungkin sudah berhenti.

Tapi, yang tidak diantisipasi adalah efek pemberitaan yang dilakukan kepada anak-anak. Bisa dibayangkan tidak kalau anak-anak sudah dicekoki informasi yang salah sejak kecil?

Saya takut ketika mereka dewasa nanti, mereka tumbuh menjadi pribadi yang intoleran dan membenci orang-orang yang berbeda dengan mereka.

Saya senang ketika mereka tahu bahwa saya pernah memakan babi, anak-anak itu tidak membenci saya. Kami tetap bisa berteman dan melompat dari dermaga bersama-sama.

Mereka tidak memandang saya dari apa yang saya makan. Anak-anak adalah penilai yang baik. Ketika saya tanya apakah kami akan tetap berteman walaupun saya pernah makan babi, saya senang karena kami tetap bisa berteman.

Sekarang, saya selalu berharap ketika anak-anak Tomara ini nanti dewasa mereka akan tetap menjadi pribadi yang terbuka terhadap perbedaan dan tidak menilai orang dari identitas atau makanan yang mereka makan.


Pelabuhan Babang, Halmahera Selatan
26.9.2016

Komentar

Postingan Populer