1Q84: Dunia Surealis Murakami


"Tidak mengerti kalau tidak dijelaskan berarti takkan mengerti walau dijelaskan."

1Q84 merupakan karya Haruki Murakami yang berhasil membuat saya semakin yakin bahwa tulisan-tulisan beliau menjadi salah satu karya terbaik dalam peninggalan sejarah umat manusia. Kalau masih ada kehidupan pada milenium berikutnya, mudah-mudahan mereka menemukan buku ini dalam artefak tulisan zaman purba yang tersembunyi di dalam gua yang sangat dalam. Semoga tidak berlebihan ya! :)

Siang ini atau lebih tepatnya belakangan ini saya sering teringat tentang rencana saya untuk menulis lebih aktif lagi, bahkan menulis tentang buku ini sebenarnya sudah saya rencanakan di penghujung tahun 2019, entah bagaimana ceritanya baru kesampaian sekarang. Sambil melawan rasa mengantuk dan mendengarkan Dave Koz di speaker sebelah, mudah-mudahan tulisan ini bisa jadi ya.

Saya takut menulis terlalu dalam. Saya takut tidak menemukan jalan untuk kembali. Kembali ke realita. Apakah ini menjadi salah satu penyebab saya tidak menulis? Hanya saya dan saya yang tahu. Mungkin sebaiknya saya sudah harus mulai memaksa diri, tidak hanya menunggu wangsit atau ilham datang, karena ide itu dicari. Menulis itu harus diasah. Kemampuan menulis bukan datang setelah minum obat atau tidur panjang.

Menulis itu seperti olahraga. Semakin sering berlatih, semakin mahir. Begitulah kira-kira.

Oke, kita kembali lagi ke buku 1Q84 ini ya.
Jadi, salah satu yang membuat saya senang adalah karena buku ini berhasil diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Terima kasih kepada KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan Ribeka Ota yang telah menerjemahkan tiga jilid buku ini, sehingga saya bisa langsung menyelami kedalamannya.

Saat melihat judul buku ini pertama kali, saya langsung teringat dengan buku 1984 yang ditulis oleh George Orwell. Nanti akan saya bahas buku ini di tulisan yang lain ya. Sepintas saja, 1984 menggambarkan tentang kehidupan seorang pemuda bernama Winston Smith yang gusar dengan kehidupan aneh yang dijalaninya pada tahun 1984, di sebuah negara Oceania yang dikontrol oleh rezim totalitarian, yang disebut sebagai 'Big Brother'.

Kalau 1984 menceritakan rezim yang totaliter, 1Q84 menceritakan takdir Kawana Tengo dan Aomame Masami yang terbelah di tahun 1Q84. Mereka berdua berpisah sejak kelas 5 SD dan menjalani kehidupan masing-masing sampai suatu saat tersadar bahwa mereka berdua tidak pernah benar-benar terpisah meskipun tidak pernah bertemu selama 20 tahun lamanya.

Dimulai dengan Aomame yang merasa sedang memasuki tahun yang aneh. Tahun 1984 yang kemudian dia sebut sebagai tahun 1Q84. Salah satu penyebabnya ketika dia menyadari bahwa bulan tidak lagi satu, tapi dua. Sedangkan di tahun 1984 yang sedang dijalani oleh Tengo, dirasa biasa saja tidak ada yang istimewa. Sampai akhirnya dia berkenalan dengan Fuka Eri, seorang remaja berumur 17 tahun yang menulis novel berjudul 'Kepompong Udara'.

Tengo menulis kembali 'Kepompong Udara' dan menjadi pemenang syaembara novel, walaupun tetap menggunakan nama Fuka Eri. Setelah kejadian itu, hidup yang dijalani Tengo tidak pernah sama lagi. Dia tidak lagi hanya sekadar guru bimbel genius Matematika yang menyukai sastra.

Sekte Sakigake menjadi perbincangan karena pemimpinnya diduga memerkosa anak perempuan berumur sepuluh tahun. Aomame yang bekerja sampingan sebagai pembunuh bayaran spesialisasi pelaku kekerasan terhadap perempuan, menuntaskan tugas terakhirnya untuk membunuh pemimpin Sakigake.

Sakigake menjadi jalur kereta yang menjadi penengah antar takdir Aomame dan Tengo, walaupun relnya belum lagi menyatu. Aomame dan Tengo ternyata tidak pernah saling melupakan. Genggaman tangan Aomame saat mereka masih bersekolah bersama tidak pernah Tengo lupakan. Begitu juga dengan Aomame yang masih menyimpan kenangan itu, bahkan berharap bisa berjumpa kembali dengan Tengo apapun taruhannya, nyawa sekalipun dia akan berikan.

Apakah Aomame dan Tengo akan bertemu kembali?
Bagaimana nasib Aomame yang dikejar habis-habisan oleh pengikut fanatik Sakigake karena telah membunuh pemimpin mereka?

***
Terlepas dari bagaimana cerita ini akan berakhir, 1Q84 sungguh mengasikkan ketika dibaca. Bahasa yang mudah dimengerti menjadi kunci utama. Banyak juga ungkapan-ungkapan yang layak digaris-bawahi maupun distabilo.

"Tetapi ada arti yang akan hilang begitu dijelaskan dengan kata," misalnya layak banget untuk ditandai. Sederhana tapi begitu bermakna dalam.

Walupun buku ini fiksi yang surealis, bagi saya buku ini merupakah masterpiece yang layak untuk dibaca oleh semua umat. Saya ingat di Jilid 1 buku ini bercerita tentang minat Tengo terhadap sastra padahal dia seorang genius Matematika. Sastra memberikan banyak pilihan dan alternatif tentang dunia yang sedang dijalani. Sastra memberikan warna. Matematika memberikan satu jawaban pasti, tapi sastra menawarkan jawaban yang beragam. Begitulah kira-kira.

Saya jadi berpikir, mungkin karena ini juga saya sangat menyukai sastra dan membacanya. Mungkin karena saya memang tidak terlalu membutuhkan kepastian, seperti yang ditawarkan oleh Matematika. Apa karena ini hidup saya jadi begini? Karena sastra? :))

Terima kasih, Murakami.

Selamat membaca ya bagi yang penasaran. Saya memang sangat merekomendasikan buku ini. Saya bahkan sedang dalam proses membaca Jilid 3 ketika sedang menulis ini. Hahaha...


Ende, Januari 2020

M

Komentar

Postingan Populer