Dorang So Jadi Wartawan dang!
Selama satu minggu saya berada di Tahuna, ibukota Kabupaten
Sangihe, saya memberikan anak-anak kelas IV dan kelas V tugas yang harus mereka
kerjakan. Saya memberikan mereka kesempatan untuk menjadi wartawan cilik.
Mereka akan mewawancarai nara sumber yang sudah ditentukan.
Sebelum melakukan wawancara dengan nara sumber ini, mereka
sudah melakukan wawancara dengan teman-teman dan orangtua mereka, sebagai latihan
sebelum menjadi wartawan yang sebenarnya.
Anak-anak yang berjumlah 13 orang ini saya bagi menjadi tiga
kelompok. Ada yang bertugas untuk mewawancarai pendeta, ketua komite, dan
sekretaris kampung. Saya senang sekali karena mereka merasa tertantang untuk
melakukan wawancara kali ini.
Sebelum melakukan prosesi wawancara, mereka sibuk berdiskusi
dan menulis pertanyaan yang akan mereka tanyakan kepada nara sumber. Setiap
kelompok berusaha untuk menulis lebih banyak pertanyaan .
Sebelum saya berangkat ke Tahuna mereka sudah bersemangat
untuk membuat pertanyaan. Sesekali mereka bertanya kepada saya apakah pertanyaan
yang sudah mereka buat layak untuk ditanyakan.
Pertanyaan yang mereka buat pun lucu-lucu, misalnya ‘Apakah Bapak suka makan kuaci?’ atau ‘Apakah istri Bapak baik-baik saja?’.
Ada juga pertanyaan ‘Apa nama sandal
kesukaan Bapak?’ ‘Kenapa Bapak terjatuh?’ ‘Kenapa Bapak bersedih?’ ‘Kenapa
Bapak sakit?’(meskipun nara sumber sedang sehat-sehat saja ketika diwawancarai)
dan masih banyak pertanyaan lucu lainnya.
(Sampai tulisan ini saya buat, saya belum berhenti menertawakan kepolosan jiwa
anak-anak ini)
Selama berada di Tahuna, sebenarnya saya tidak berharap
banyak bahwa mereka akan menyelesaikan proyek kecil-kecilan ini. Mengingat
mereka bukan anak-anak yang antusias dengan tugas sekolah. Lebih senang bermain
dari pada belajar. Kemudian, saya menyadari kesalahan cara berpikir seperti
ini.
Sebelum saya kembali ke pulau, saya sudah menanamkan di
dalam pikiran saya untuk tidak berharap banyak bahwa anak-anak itu akan
mengerjakannya. Sebenarnya untuk meminimalisir rasa kecewa kalau-kalau mereka
memang sama sekali tidak berusaha untuk mengerjakannya. Saya tetap menyediakan
hadiah bagi kelompok pemenang seperti yang sudah saya janjikan sebelum saya
berangkat ke Tahuna.
Pada Hari Kamis, 14 November 2013 saya mengajar di sekolah
saya terkejut ketika anak-anak datang melapor kepada saya bahwa mereka telah
mengerjakan proyek wartawan cilik mereka. Dari tiga kelompok, dua kelompok
mengerjakan dengan sempurna. Ketika saya sudah memberikan hadiah kepada
kelompok pemenang, satu kelompok yang tersisa tertantang untuk menyelesaikan
proyeknya segera.
“Nak, ibu sudah
memberikan waktu selama tujuh hari untuk mengerjakan wawancara ini dan kalian
baru akan mengerjakannya hari ini?” demikian celotehan saya kepada kelompok
terakhir. Dan seperti biasa mereka akan tersenyum polos dan mencari
alasan-alasan.
Saya terkejut, ketika saya pulang ke rumah setelah bermain
dari pantai, saya menemukan anak-anak anggota kelompok terakhir ini sudah
menunggu di teras rumah. Kemudian, dengan bangga mereka menyerahkan hasil
wawancara mereka.
Sebenarnya saya sangat terharu sekaligus bangga dengan
keberanian mereka untuk menyelesaikan proyek wartawan cilik ini. Mengingat nara
sumber yang sudah ditentukan bersama ini adalah bapak-bapak yang lumayan
disegani di kampung. Ternyata mereka memiliki keberanian dan kepercayaan diri
untuk menyelesaikan wawancara ini.
Keberanian dan kepercayaan diri adalah karakter yang belum
berkembang di dalam diri anak-anak ini. Perasaan rendah diri dan tidak bisa
melakukan yang bagus justru yang mengekang mereka selama ini. “Jaha Ibu!”* adalah seruan mereka untuk
segala sesuatu yang baik dan bagus yang pernah mereka lakukan. Seringnya
meskipun karya mereka bagus, mereka tidak cukup menganggap itu bagus dan
seringnya menjadi rendah diri dan tidak percaya diri.
Saat ini, ketika mereka sudah mau dan mampu menjadi wartawan
cilik begini, saya menjadi punya harapan sederhana bahwa mereka pasti bisa
menjadi apapun yang mereka inginkan. Asalkan mereka berusaha.
Mereka bukanlah anak pulau yang tidak bisa apa-apa. Mereka
bukanlah anak pulau yang jauh tertinggal dari anak-anak kota dengan segala
karakter dan watak yang dianggap terbelakang. Semoga Alam menyediakan
keberuntungan bagi hidup mereka.
Pulau Para, 15.11.2013
20.51 WITA
M&M
*Jaha=Jahat
Dipakai sebagai ungkapan untuk
menunjuk segala sesuatu yang dianggap jelek, buruk, suara yang tidak bagus,
jalanan licin, tulisan tangan jelek dan masih banyak lainnya.
Komentar
Posting Komentar