dari dalam kubur: Kisah Perempuan dalam Pusaran Kekejian Rezim '65

 

"Akhir, puncak, dan tujuan dari segala kehidupan adalah kematian. Jalan untuk mencapai klimaks itu dapat dipastikan penuh kengerian di penjara ini, sering kali diiringi dengan jerit kesakitan, lengkingan dan lolongan yang menyayat. Boleh jadi, kengerian kematian itu bikin banyak orang mencoba sekeras mungkin untuk hidup."

Tidak butuh waktu yang lama bagi saya untuk menyelesaikan buku ini. Membaca judulnya dan kata sambutan penulis di dalam buku ini, sebenarnya saya sudah bisa membayangkan cerita seperti apa yang akan saya hadapi. 

Berapa banyak sih masyarakat Indonesia kekinian yang percaya bahwa pembantaian, pemerkosaan, dan genosida atas nama pembersihkan PKI benar-benar terjadi di Indonesia pada rentang tahun 1965-1966?

Saya percaya kalau one of the darkest moment of our history ini benar-benar nyata adanya. Saya tidak perlu bertemu langsung dengan para saksi mata atau keluarga korban yang masih hidup sampai saat ini untuk percaya kalau kisah ini benar adanya. Membaca buku ini bisa menjadi salah satu referensi saya.

Pertanyaannya adalah perlukah mengajak lebih banyak orang lagi untuk percaya bahwa semangat nasionalisme yang belakangan ini sering digemakan adalah nasionalisme yang semu? Mengumandangkan lagu kebangsaan, menghormat bendera setiap hari Senin, atau merayakan hari -hari khusus tertentu bukanlah bentuk nasionalisme yang sejati. Terus, apa dong?

Setelah membaca buku ini, saya semakin yakin bahwa menjadi seorang nasionalis adalah menerima dan mengakui bahwa kita pernah melalui dan menjadi bagian dari sejarah kelam akan kemanusiaan. Kita adalah pelakunya. Akan tetapi, tidak bisa berhenti sampai di situ saja. 

Kita punya utang untuk menyelesaikannya. Luka dan borok masa lalu ini harus diselesaikan. Harus disembuhkan. Baru setelah itu, kita bisa berdiskusi tentang menjadi nasionalis.

Saya berpikir bahwa cerita dalam buku ini adalah cerita yang bisa mewakili penderitaan perempuan dan manusia-manusia yang sengaja dizalimi oleh orang-orang yang berkuasa pada masa itu. Saya sangat sedih mengetahui betapa penderitaan yang dialami oleh perempuan bisa sampai melebihi dari yang bisa terpikirkan oleh manusia.

"Tapi kelaparan dan kesakitan dalam ruang ini bisa membuatmu mengingat, melihat, dan mendengar berbagai hal yang mungkin ndak pernah ada." (hal. 285)

Buku ini berkisah mengenai Djing Fei alias Lidya Maria, salah satu korban pemerkosaan dan penyiksaan karena dituduh sebagai anggota Gerwani. Gerwani sendiri merupakan organisasi sosial perempuan di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Seiring berjalannya waktu, Lidya tidak menyangka bahwa pengalaman buruknya telah menjerumuskan keluarganya, khususnya Karla, putrinya ke dalam penderitaan yang juga tidak pernah ia bayangkan. 

Karla adalah anak yang lahir setelah ia diperkosa selama berada di dalam penjara. Kekerasan dan luka yang dihasilkan oleh pengalaman pahit memang seperti lingkaran setan yang membelenggu orang-orang yang kita kasihi, bukan saja hanya kita. 

Di awal-awal saya membaca buku ini, sebenarnya saya sedikit kurang nyaman dengan relasi Djing Fei dengan anaknya Karla. Kenapa mereka bisa begitu saling menyakiti? 

Buku ini tentu sangat layak dibaca. Menelusuri kembali jejak sejarah paling menyakitkan yang pernah dialami oleh bangsa ini mungkin bisa memberikan pencerahan untuk mencegah kesalahan yang sama terulang kembali. Bukankah kunci masa depan yang baik adalah menyelesaikan kepahitan masa lalu?

Di sisi lain, saya juga mendengar bahwa perjuangan para saksi dan korban pemerkosaan Perempuan Tionghoa tahun 65 dan 98 untuk mencari keadilan masih berjalan sampai saat ini. Betapa menyayat hati ketika mengetahui hidup mereka pun menjadi taruhannya. Panjang umur perjuangan!

Terima kasih kepada Soe Tjen Marching yang telah menuliskan kisah ini sehingga bisa sampai ke tangan saya untuk saya baca. 

Selamat Membaca! 


M






Komentar

Postingan Populer