I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki: Apakah Kita Baik-baik Saja? Kalau Tidak, Tidak Apa-apa

 

Sejak melihat bukunya di salah satu situs jual beli buku daring, saya penasaran dengan isinya. Kalimat 'I Want to Die' membuatku tergelitik. Siapa sih manusia yang dengan sukarela mengakui kalau mereka mau mati. Atau sebaiknya mereka mati saja. Mungkin banyak juga, tapi sedikit yang mau jujur.

Mati dan kematian bukan topik yang menyenangkan untuk dibicarakan. Walaupun mati adalah sebuah kepastian, tapi kita lebih memilih untuk memikirkan banyaknya ketidakpastian dalam hidup ini.

Buku ini bercerita tentang pengalaman penulis dalam menghadapi distimia, depresi berkepanjangan. Bagian utama dalam buku ini berisikan dialog antara si penulis dengan terapisnya.

Saat membaca buku ini, saya juga menemukan beberapa permbahasan yang sangat dekat dengan diri saya sendiri. "Iya, ini sih aku banget."

"Betul, aku juga mengalami hal yang sama.'

Membaca lagi dan lagi membuat saya bertanya-tanya "Apakah pengalaman yang diceritakan oleh si penulis ini sangat universal?" Maksud saya adalah apakah pengalaman ini juga dialami oleh banyak orang? Kalau iya, berarti topik mengenai kesehatan mental ini idealnya bukan saja tentang orang-orang yang sadar tentang dirinya, tapi juga tentang orang-orang yang tidak sadar atau tidak tahu-menahu tentang dirinya sendiri. Mungkin. 

Pertanyaannya kemudian adalah "Apakah kita tahu tentang diri kita sendiri?"

Si Penulis buku ini mengalami beberapa macam gejala depresi yang ia alami secara acak dan kadang-kadang tidak diketahui. Perubahan mood yang drastis, inferioritas, superioritas, dan gangguan kecemasan sekolah-olah menjadi makanan tambahan setiap harinya. Dia sampai diresepkan obat untuk membantu meringankan beban perasaannya itu.

Penulis juga membahas sedikit mengenai bunuh diri. Kalau di buku ini, penulis menyebutkan bunuh diri sebagai mati bebas, karena mereka bisa memilih dengan bebas kapan mereka akan mati. Hmm... Bagi saya sendiri, orang yang bunuh diri adalah manusia paling berani. Mereka berani mengakhiri hidup yang mungkin saja sangat menyakitkan untuk mereka. Untuk apa memaksa diri terlilit dalam penderitaan yang tidak kenti-henti?

Nah, kembali dulu ke buku ini. Topik tentang kesehatan mental memang sedang gencar-gencarnya diingatkan dan disuarakan ke orang-orang. Ketika menghadapi masalah yang berkaitan dengan diri, beberapa sudah mulai mempertimbangan kesehatan mental mereka. Hal ini bisa kita anggap sebuah progres.

Apakah kamu sedang baik-baik saja? Kalau tidak sedang baik-baik saja, tidak apa-apa.

Saya juga berpikir setelah membaca buku ini bahwa cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan menjalaninya. Terima setiap peristiwa, perasaan, dan emosi yang hadir. Kalau ada yang perlu diperbaiki, perbaiki. Kalau ada yang sebaiknya dibiarkan, biarkan. Kalau ada yang perlu dilawan, ya lawan. Tidak perlu memaksa diri untuk menunjukkan kebalikan dari setiap hal yang kita alami.

Inti lainnya adalah kalau kalian perlu pertolongan, mintalah pertolongan. Semoga kalian memiliki orang-orang yang kalian bisa percayai. Membicarakan masalah tertentu terkadang lebih melegakan ketimbang menyimpannya sendirian.

Well, saya juga sedang berbicara kepada diri saya sendiri. :D

Selamat membaca buku ini ya!

Semoga kita bisa lebih berani untuk memilih keputusan-keputusan terbaik untuk kebaikan diri dan kesehatan mental kita.


23 Juni 2021

M


 




Komentar

Postingan Populer