Jalan Pulang: Kemana?
“A man who travels the world over in search of what he needs
and returns home to find it.”
(George Augustus Moore)
(George Augustus Moore)
Secara tidak sengaja saya melihat postingan seorang teman
mengenai buku yang ditulis oleh mantan wartawati senior Kompas, Maria
Hartiningsih yang berjudul ‘Jalan Pulang’. Saat saya membaca judul itu, hati
saya tiba-tiba tergerak menyuruh saya untuk membeli dan membacanya.
Nama Maria Hartiningsih bukan nama yang baru bagi saya. Dulu
waktu masih jadi mahasiswa, saya membaca tulisan beliau di koran yang
membesarkan namanya.
Tulisan-tulisan beliau pun berbeda. Ketika membaca tulisan
atau judulnya saja, kadang-kadang saya bisa tahu kalau yang menulis itu adalah
Maria Hartiningsih.
Dari tulisan-tulisan beliau yang saya baca dulu, saya merasa
beliau bisa menulis tentang isu-isu yang sensitif dengan begitu humanis. Isu
tentang perempuan dan pendidikan adalah tulisan beliau yang sering saya baca.
Setelah buku ‘Jalan Pulang’ ini ada di tangan saya, saya
membawanya kemanapun saya pergi. Saya menyempatkan untuk membacanya di
sela-sela kegiatan dan tentunya sebelum tidur di malam hari.
Ketika membuka halaman demi halaman dan membaca, sesekali
merenung, saya seolah-olah sedang memasuki situasi yang berbeda. Saya juga ikut
dibawa oleh penulis menuju perjalanan yang sedang ia lakukan.
Saya merasakan bahwa saya sedang dibawa oleh Maria mengikuti
perjalanan yang sedang ia lakukan melalui cerita dan tulisannya di dalam buku
ini, mulai dari Santiago de Compostela – Lordes – Plum Village – Oran dan Mostaganem.
Maria bercerita mengenai pencerahan demi pencerahan,
penemuan demi penemuan, dan kekaguman demi kekaguman yang ia alami selama
melakukan ziarah ini. Bukan saja mengenai hal-hal besar dan spektakuler,
melainkan kejadian yang begitu sederhana.
Misalnya, Maria mengaku bahwa perjalanan selama 10 hari ke Camino Santiago membuatnya semakin terhubung dengan sesuatu yang luar biasa dari hal-hal yang sederhana.
Misalnya, Maria mengaku bahwa perjalanan selama 10 hari ke Camino Santiago membuatnya semakin terhubung dengan sesuatu yang luar biasa dari hal-hal yang sederhana.
“If you could see the miracle of a single flower clearly,
our whole life would change.” (Buddha)
Setiap tempat yang beliau datangi menghubungkannya kembali
dengan masa lalu dan memberikannya cara pandang yang berbeda.
Lourdes yang terkenal sebagai tempat ziarah umat Katolik membawa Maria kembali mengingat masa ketika berada di Kolkata, tempat pelayanan Bunda Theresa untuk gelandangan dan orang miskin di India. Maria mengalami mukjizat di sana.
Lourdes yang terkenal sebagai tempat ziarah umat Katolik membawa Maria kembali mengingat masa ketika berada di Kolkata, tempat pelayanan Bunda Theresa untuk gelandangan dan orang miskin di India. Maria mengalami mukjizat di sana.
Ketika mendengar kata ‘pulang’ mungkin kita langsung ingat
dengan rumah. Rumah bagi setiap orang jelas berbeda-beda. Ada yang menganggap
rumah adalah tempat/ruang dimana mereka bisa menjadi diri mereka dan saling
menerima kekurangan.
Ada juga yang menganggap rumah adalah manusia lain atau orang terkasih, yang
darinya mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Secara sederhana rumah adalah
tempat bagi semua yang menerima mereka apa adanya, memberikan ketenangan dan kedamaian.
Dimanakah rumah kita yang sebenarnya? Apakah kita memiliki
rumah yang tidak akan dimakan oleh usia, yang tidak akan habis dimakan rayap,
atau yang tidak akan ingkar janji?
Membaca perjalanan Maria dalam peziarahannya menuju
tempat-tempat ziarah yang terkenal itu membuat saya berpikir apakah saya perlu
melakukan perjalanan yang sama? Mungkin tidak. Aku tahu bahwa jalanku berbeda
dengan jalan yang sudah ia tempuh.
Aku sedang mencari rumah untuk pulang. Jalan yang ia tempuh kini berada di dalam dirinya. Maria menjalani
jalan yang mungkin diperuntukkan untuknya. Perjalanan Maria untuk menemukan rumahnya yang sejati mendorong saya untuk menemukan rumah saya sendiri.
“Three things that cannot be long hidden: the sun, the moon,
and the truth.” (Buddha)
Ketika membaca perjalanan Maria ini saya seolah-olah
dituntun untuk juga menemukan jalan menuju ‘rumah’ yang diperuntukkan untuk
saya. Rumah yang masih perlu untuk saya percayai dan pahami. Dan cara
menuju rumah yang ini tidaklah mudah.
Penuh dengan jalan terjal, bahkan bisa
tersungkur dan jatuh. Kalau tidak menyerah harus bangun lagi. Kadang-kadang apa
yang sudah dilakukan dalam porsi yang besar harus kembali lagi habis dan
memulai dari nol lagi.
Rumah yang sedang saya tuju ini adalah rumah yang penuh
dengan kehampaan. Rumah yang hanya bisa saya datangi sendirian, tidak bersama
dengan orang lain. Jalan yang hanya diperuntukkan untuk saya jalani, bukan dengan orang lain. Rumah yang menuntut kejujuran akan diri sendiri dan
menerima ketakutan dengan lapang dada.
Rumah yang siap menempa kita menjadi
pribadi yang seharusnya. Pribadi yang bisa melakukan kewajibannya sampai
selesai. Penuh. Lunas.
Dimanakah rumah itu?
Rumah itu adalah diri kita sendiri.
“Mereka yang berani menepi dapat melihat bahwa ‘kehampaan’
dan ‘kesia-siaan’ yang ditakuti dan dikutuk oleh pikiran kolektif, sebenarnya
sangat diperlukan untuk menjumpai diri sendiri.”
Saya ingin menemukan rumah itu. Saya ingin menghidupi rumah
itu. Dan ketika ingin kembali ke rumah itu, saya tahu bahwa saya harus siap
kehilangan diri saya terlebih dahulu, karena dengan kehilangan ini saya bisa
menemukannya. Menemukan diri saya yang sejati.
Saya sangat senang bisa menemukan tulisan beliau ini. Saya semakin
percaya bahwa buku akan menemukan pembacanya. Hahah… Saya telah menemukan buku
beliau, atau buku ini yang telah menemukan saya.
Bagaimana, mau pulang tidak?
Pulang Yuk!
Sentani, 13.4.2017
Monik
Komentar
Posting Komentar