Naik Motor Udara ke Puncak Jaya
Awal bulan Mei kemarin saya berangkat ke Puncak Jaya, Papua.
Puncak Jaya merupakan salah satu kabupaten di daerah pegunungan tinggi Papua. Puncak
Jaya bisa ditempuh dengan menggunakan pesawat berpenumpang 7 – 9 alias pesawat
ukuran kecil sekitar satu jam dari bandara Sentani, Jayapura.
Siap-siap terbang! :D |
Kedatangan ke Puncak Jaya kali ini akan menjadi perjalanan
kedua kali setelah tahun lalu bersama Mbak Eka. Tahun ini saya akan berkunjung
ke perpustakaan Taman Bacaan Pelangi yang ada di SD Inpres Mulia. Setelah setahun
berjalan, kami ingin melihat apakah keberadaan buku-buku yang kami sediakan
serta pelatihan guru memberikan dampak kepada anak-anak.
Tahun lalu saat peresmian perpustakaan Taman Bacaan Pelangi |
Sebelum berangkat ke Mulia, saya sudah dua bulan menetap di
Sentani untuk mendirikan dua perpustakaan baru. Ketika kami mengadakan rapat
dengan orang tua di sekolah, saya suka menceritakan mengenai perjalanan yang
telah dan akan saya tempuh ke Puncak Jaya.
“Sebelum berangkat, saya pasrahkan diri sama Tuhan saja.”
Begitu saya memulai percakapan sambil meyakinkan diri bahwa saya memang pasrah.
Baru beberapa minggu sebelumnya saya mendengar berita
pesawat yang jatuh di Pengunungan Bintang dan ditemukan setelah beberapa waktu
kemudian. Berita pesawat jatuh di daerah pegunungan di Papua memang bukan
berita baru.
Setelah mendengar berita itu saya tidak yakin kalau saya
memang sudah memasrahkan diri sama Tuhan. Saya suka bergumam sendiri dalam hati:
“Saya masih mau hidup.” J
Ternyata mengatakan bahwa kita sudah pasrah itu jauh lebih
gampang daripada benar-benar melakukannya. Pasrah itu. Berserah. Saya masih
takut dan khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Akan tetapi
bagaimanapun kerinduan untuk bertemu adik-adik di Mulia sudah tidak terbendung
lagi. Sesekali saya mengintip foto-foto setahun lalu yang saya abadikan lewat
kamera.
Setelah mulai pasrah dan berani, saya pun membeli tiket
pesawat dan menentukan tanggal untuk berangkat. “Kalau memang sudah waktunya,
mau bagaimana saya menghindar atau menunda, tetap akan terjadi.” Begitu saya
mengucapkannya dengan penuh kesungguhan di dalam hati.
Hari yang telah ditentukan pun tiba. Saatnya berangkat ke
Puncak Jaya. Saya masih mencoba menenangkan diri bahwa semua akan baik-baik
saja. Hingga beberapa saat kemudian, lima penumpang laiinnya sudah masuk ke
dalam pesawat.
Salah satu diantara penumpang adalah seorang anak perempuan yang
berumur sekitar tiga tahun. Tiba-tiba hati saya tenang. Hahah…
Langsung saya berucap dalam hati bahwa penerbangan kali ini
akan berjalan aman sampai ke Puncak Jaya. Sebabnya adalah si adik perempuan
ini. Kenapa? Saya hanya meyakini saja akan begitu adanya. J Setelah pesawat
tinggal landas, saya tertidur nyenyak dan iya.. tiba di Puncak Jaya dengan
selamat.
Mulia |
Mulia masih sama seperti tahun lalu, tetap dingin. Turun dari
pesawat saya langsung berkunjung ke sekolah. Ada anak-anak yang mengingat saya,
ada juga yang kelihatannya sudah lupa. Maklum sih, setahun tidak pernah bertemu
lagi. Heheh… tapi tidak butuh waktu lama untuk mengenang masa-masa indah tahun
lalu.
Kami pun segera berteman lagi. Dalam artian bercerita, bercanda, dan
pastinya masuk perpustakaan bersama-sama. Sungguh penuh dengan kebaikan. Terbayar
sudah kekhawatiran saya di pesawat dengan pertemuan ini. :)
Ketika anak-anak di dalam perpustakaan! :) |
Bersama kepala sekolah
dan guru-guru kami juga berdiskusi dan mencari jawaban atas kegelisahan selama
setahun belakangan ini. Mudah-mudahan semuanya semakin baik ya.
Bersama guru-guru SD Inpres Mulia |
Setelah sekitar lima hari ada di Mulia, ibukota kabupaten
Puncak Jaya, saya harus segera pulang untuk mengikuti kegiatan di Labuan Bajo,
Flores.
Tiba-tiba kekhawatiran itu datang lagi. “Apakah kami akan sampai ke Sentani dengan selamat?” Ada Sembilan orang penumpang hari itu termasuk satu adik perempuan kecil. Hihihihi… Keberadaan si adik membuat saya agak tenang lagi. J
Tiba-tiba kekhawatiran itu datang lagi. “Apakah kami akan sampai ke Sentani dengan selamat?” Ada Sembilan orang penumpang hari itu termasuk satu adik perempuan kecil. Hihihihi… Keberadaan si adik membuat saya agak tenang lagi. J
'motor udara' |
Sekitar pukul 08.00 WIT kami berangkat menuju Sentani di
Jayapura. Dalam penerbangan kali ini saya tidak bisa tidur. Mau tidak mau saya
melihat kemegahan gunung-gunung yang menjulang tinggi dan awan-awan yang
akrobatik.
Saya mencoba menutup mata untuk tidur tidak berhasil juga. Saya mencoba
mengkhayal kejadian-kejadian menyenangkan, tidak berhasil membuat saya
terlelap. Hahah…
Satu jam perjalanan rasanya seperti berjam-jam. Belum lagi
saat pesawat melewati awan yang agak tebal dan gelap. Ya Tuhan… perut saya
bergoncang, seperti ada kupu-kupu di dalam. Saya pun memegang besi yang berada
di pintu dekat tepat duduk saya.
Saya teringat dengan pengalaman tahun lalu ketika naik
pesawat ke Mulia saya bertanya kepada kakak petugas apakah pesawat punya life jacket / pelampung atau tidak.
“Trada (tidak ada), Adek. Kalaupun jatuh nanti tong (kita)
jatuh di gunung, bukan di laut.” Itu lagi. Jawab saya pelan sambil meringis,
tapi juga tertawa karena kekonyolan ini. Betapa semua orang yang di Papua ini
bertaruh nyawa setiap hari, termasuk ketika naik pesawat.
Jaminan selamat
sampai tujuan hanya ada pada Tuhan. Begitu mereka percaya.
Setelah waktu yang terasa berjam-jam berlalu dengan grogi
dan deg-degan, akhirnya sampai juga di sekitar Sentani, tepatnya di atas Danau
Sentani.
Waktu itu saya berpikir bahwa kalaupun pesawat ini akan jatuh, tidak apa-apa karena ada di tempat yang orang-orang bisa bantu cari. Saya tidak tahu mengapa saya berpikir begitu. Apakah itu kepasrahan yang dibentuk setelah ditantang selama satu jam di udara?
Waktu itu saya berpikir bahwa kalaupun pesawat ini akan jatuh, tidak apa-apa karena ada di tempat yang orang-orang bisa bantu cari. Saya tidak tahu mengapa saya berpikir begitu. Apakah itu kepasrahan yang dibentuk setelah ditantang selama satu jam di udara?
Danau Sentani |
Ternyata saya belum bisa bernapas lega dan tersenyum lega. Sambil
melihat kemegahan Danau Sentani dari pesawat, saya sempat ingin mengabadikannya
lewat kamera. Akan tetapi, boro-boro mau pegang kamera, semakin dekat ke
bandara ternyata tantangan tidak berarti selesai.
Pesawat ini harus belok kiri.
Di sini lah saya merasakan sensasi yang membuat saya sangat takut dan perut
saya berguncang lumayan hebat.
Rasanya ketika pesawat berbelok ke kiri adalah seperti motor
yang sedang melewati tikungan tajam. Miring betul sampai-sampai lutut Valentino
Rossi kena ke aspal kalau di sirkuit-sirkuit itu. Bedanya dengan saya, saya ada
di dalam pesawat. Bisa dibayangkan kah?
Saya pegangi besi pintu seerat-eratnya. Saya intip adik
perempuan kecil dari belakang. Saya lihat dua bapak yang duduk di sebelah saya,
yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Hingga akhirnya pesawat mendarat
dengan sempurna. Saya lega dan berterima kasih kepada kapten yang sudah membawa
kami sampai ke tujuan dengan selamat.
Bandar udara Sentani, Jayapura |
Kaki saya masih agak gemetaran ketika turun dari pesawat. Diam-diam
saya bersyukur dalam hati bahwa saya masih hidup dan masih bisa berencana untuk
makan bubur + telur asin di restoran favorit di Sentani.
Senangnya! :) |
Dan hari itu juga
ternyata berjumpa dengan adik-adik kesayangan yang kebetulan ada di sekitar
Sentani. Ahhh… saya berterima kasih betul. Sungguh baik adanya.
Sorong, 1.6.2017
00.33 WIT
Monik
Komentar
Posting Komentar