Untuk Selamanya...


Selama kurang lebih enam hari berada di Pulau Para, saya bisa katakan bahwa saya menjalani hari-hari dengan begitu khusyuk alias menghayati. Heheh… Perbincangan saya dengan teman-teman cilik saya, komentar-komentar mereka, bahkan yang tidak bersuara sekalipun saya coba cari maknanya. :D

Mengejar Ombak!

Hampir setiap malam juga saya tewas alias tepar. Setelah menghabiskan waktu seharian mengikuti jadwal bermain mereka, ketika malam tiba saya langsung tidur dengan nyenyak. Nyamuk yang sesekali datang pun sudah tidak saya hiraukan lagi.

Akhirnya waktu yang hampir tidak ditunggu-tunggu pun tiba. Saya harus pergi meninggalkan anak-anak dan Pulau Para. Hari Jumat adalah jadwal taksi umum yang akan membawa kami ke Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kalau lancar, 5 jam perjalanan akan membawa saya ke Tahuna.

“Ibu, hari jumat tidak ada taksi ke Tahuna.”
“Ibu, hari jumat nanti angin kencang!”

Beberapa pernyataan dari anak-anak yang ingin mencoba mengurungkan niat saya untuk pulang. Akan tetapi, saya jelaskan kepada mereka bahwa nanti saya akan kembali lagi. Ibu masih ada pekerjaan dan tanggung jawab yang harus diselesaikan. Begitu saya mencoba menjelaskan kepada mereka.

Hari jumat itu memang benar angin kencang. Ombak membuat taksi yang kami tumpangi terombang-ambing. Hanya saja masih bisa kami lewati. Saya berpamitan kepada anak-anak yang pagi itu memang ada di dermaga untuk mengantar saya. Suatu saat pasti berjumpa lagi.

Di kapal yang masih terombang-ambing oleh ombak, saya mencoba merenungi kembali hari-hari yang sudah saya lalui dengan anak-anak. Sungguh menyenangkan!! Saya tidak akan menukar pengalaman ini dengan hal lain. Saya sangat bersyukur sekali!
**
Rencana saya di Tahuna hanya satu malam saja. Saya harus segera ke Manado untuk bertemu dengan keluarga angkat saya yang sejak tahun lalu sudah tinggal di Manado. Saya juga berharap bisa berjumpa dengan Ibu Mamontho, salah satu guru SDN Inpres Para yang sedang berada di Bitung.

Sejak sebelum berangkat ke Sangir saya sudah dapat ilham untuk mendatangi dua rumah selama di Tahuna nanti, yaitu keluarga Om Walukow di Lenganeng dan Kopi Singgah-nya Om Donny Tayang. Saya juga bingung kenapa saya dibawa kepada mereka. Haha…

Sekitar pukul 13.00 akhirnya taksi kapal bersandar di Tahuna. Kemudian saya mencari warung Mi Ceh yang ada di Pelabuhan Towo, yang sudah menjadi favorit saya sejak tiga tahun lalu itu. Bapak Karame, kepsek saya dulu yang membawa saya ke tempat ajaib ini. Warungnya dulu sangat sederhana, bahkan cenderung gelap dan kumuh. Akan tetapi bisa menghasilkan Mi Ceh yang tidak ada duanya bagi saya. Hahaha..

Mi Ceh!

Saya langsung bergegas menuju warung Mi Ceh yang ternyata sudah berubah. Tempatnya sekarang lebih terang dan luas. Juru masaknya pun sudah berubah. Bukan lagi opa yang kemarin dulu. Yasudahlah, saya pun memesan satu porsi Mi Ceh dan sampai sekarang suka ngiler ketika membayangkan Mi Ceh tersebut. Nyam..Nyam!!

Apa yang membuat Mi Ceh berbeda dengan mi yang lain? Mungkin dari segi penampilan, sebenarnya biasa saja. Tapi kuah yang mengandung minyak babi itu mungkin yang membuat rasanya berbeda. Bagi kalian yang vegetarian atau pantang makan babi, tidak usah coba-coba makan Mi Ceh.

Setelah menyelesaikan persoalan Mi Ceh dan lain-lain ini saya pun bergegas ke Lenganeng bersama Rio. Walaupun sempat kelewatan, akhirnya berjumpa juga dengan keluarga ini. Om Alfian, Tante Meitty, Tasya, dan yang paling ditunggu-tunggu tentunya Vinci. Hahah…

Sekitar pukul 6 sore dengan mengendarai motor dari Lenganeng saya bertemu dengan Om Donny Tayang beserta keluarga di Kopi Singgah, warung kopi yang sudah berjalan beberapa bulan belakangan ini. Walaupun sempat mati lampu, kebersamaan yang singkat itu juga terasa sangat menyenangkan.

Bersama Pasukan Cilik Kopi Singgah! :)

Bareng Om Donny! :)

Saya menginap satu malam di Lenganeng dan menghabiskan malam bersama keluarga Walukow dengan cerita-cerita lucu, konyol, dan ada yang seru juga. Tante Meitty menghidangkan mie goreng telur jam 12 malam untuk saya. Hahaha… lapar karena kebanyakan bicara.

Keesokan paginya, Tante Meitty sudah menyiapkan sarapan ikan bakar raksasa. Haha.. Walaupun pagi itu hujan deras, tidak menyurutkan semangat untuk makan ternyata. J

Kami pun bergegas dan berangkat ke bandara Naha bersama-sama, eh tanpa Vinci deh. Tidak apa-apalah. Saya sudah menitipkan Vinci kepada tante mohon supaya dijaga hati dan badannya. Hahah.. sebagai calon menantu yang memegang sertifikat rumah, mudah-mudahan tante tidak keberatan ya. Wkwkwkw…

(Ki-Ka): Om Alfian, Tasya, Saya, Tante Meitty

Pagi itu saya pun terbang menuju Manado. Meninggalkan Sangir dengan pengalaman dan cerita yang tidak akan bosan untuk saya ceritakan kembali. Saya punya waktu dua hari untuk bercengkrama dengan kota Manado. 

Saya pun berkumpul dengan keluarga angkat saya sambil makan siang dan juga dengan Ibu Mamontho dengan Cinta, anaknya. Lengkap sudah kebahagiaan saya hari itu!

10 hari kebersamaan dengan mereka-mereka ini akan tetap ada di dalam hati dan ingatan saya. Sangir akan menjadi tempat untuk saya kembali. Manado pun sangat ramah menerima saya. :)

Pagi itu di Bandara Sam Ratulangi, Manado.

Akhirnya saya pun pulang kembali ke Papua dengan segudang cerita dan tentunya tidak akan berhenti sampai disitu saja. Akan ada cerita lain yang mengikuti dan mimpi-mimpi yang menunggu untuk menjadi kenyataan. Sangir Ika Kendage! (Tamat)


Diselesaikan di Sorong, Juli 2017
Monik

Komentar

Postingan Populer