Lost in Misool
“And into the ocean I go, to lose my mind and find my soul.” Unknown.
Sejak berada di Sorong tiga bulan lalu saya sudah
menyampaikan ke Rima mengenai keinginan saya untuk berkunjung ke Misool. Misool
merupakan gugusan kepulauan yang berada di Kabupaten Raja Ampat bagian selatan. Ibukota kabupaten Raja Ampat sendiri berada di Waisai yang terletak
di utara Sorong. Kabupaten ini dipisahkan oleh Sorong. Jadi kalau mau ke Misool
atau Waisai, mampir Sorong dulu.
Setelah waktu berjalan hampir tiga bulan dan juga melupakan
rencana ke Misool, Rima datang dengan tanggal yang tersedia untuk berangkat ke
Misool. Sebenarnya saya sudah menyerah dan tidak berharap banyak akan
berkunjung ke Misool karena jadwal yang tidak cocok, dan Rima yang tidak bisa
menemani.
Kalaupun saya ke Misool, tidak akan sendirian, harus dengan
Rima. Rima bercerita bahwa rencana ke Misool ini sudah dibicarakan kepada Pak
Hasan, kepala sekolah SMKN 2 Waisai yang merupakan orang Misool dan sahabat
kami juga. Sejak berteman dengan Pak Hasan, beliau menyambut dengan antusias
rencana kami menuju Misool, dan akan menginap di rumah keluarga beliau di sana.
Di Pulau 35 |
Perjalanan menuju Misool membutuhkan waktu hampir 13 jam
dengan kapal besar dari pelabuhan Sorong. Senin malam (21/8) pukul 00.00 kapal
sudah berangkat meninggalkan Sorong. Mengingat Misool yang terdiri dari
pulau-pulau, maka kapal pun akan bersandar di pulau-pulau besar untuk
menurunkan maupun mengangkut barang dan penumpang.
Saya dan Rima akan turun di Pulau Fafanlap dan melanjutkan
perjalanan dengan longboat sekitar 30
menit menuju Pulau Lilinta, rumah keluarga Pak Hasan tempat kami menginap dalam
beberapa hari. Selama kurang lebih 13 jam berada di kapal, saya dan Rima
belajar untuk menghabiskan waktu dengan kegiatan berkualitas alias tidur.
Hahahah…
Menunggu titipan dari kapal. |
Bulan Agustus adalah bulan untuk Angin Selatan, dan tidak
ada orang yang berani macam-macam dengan gelombang di musim ini. Hehe.. hasil
tangkapan ikan para nelayan pun berkurang saat musim angin seperti ini. Jadi
boleh dikatakan bahwa perjalanan kami ini merupakan aksi nekat dan mencoba
berdamai dengan alam. Mungkinkah kami bisa melalui angin gelombang ini?
Sekitar pukul 13.00 WIT kami tiba di Pulau Fafanlap. Om Army
dan Syafi, keluarga Pak Hasan sudah berada di sana juga dan kami pun segera
bergegas menuju Lilinta. Setelah dua menit pertama, terjadilah perjumpaan kami
bersama dengan gelombang laut.
Longboat yang
kami tumpangi terlihat sangat berjuang keras melawan ombak. Om Army yang sudah
terbiasa dengan keadaan ini terlihat santai saja sambil mengendalikan mesin di
belakang. Air laut pun melompat masuk ke dalam longboat kami sambil memandikan
kami. Haha… iya, asli kami basah kuyup dan tidak ada tempat untuk berlindung
juga. Sambutan selamat datang di Misool memang luar biasa ya!! :D
Pohon Kaktus! :D |
Sesampainya di rumah keluarga Pak Hasan, yang kami panggil Bibi, kami masih sempat beres-beres dulu dan makan siang. Perut kosong pun terisi dengan sempurna. Sekitar pukul 15.30 WIT bersama dengan Om Army, Eba, dan Ima kami berkunjung ke Pulau Sisi, Pulau Vagam, dan Pulau Lima.
Lumayan juga gelombangnya. Kapal kayu yang kami tumpangi terhempas sampai ke atas melewati gelombang demi gelombang pencobaan ini. Hehehe.. :D
Lumayan juga gelombangnya. Kapal kayu yang kami tumpangi terhempas sampai ke atas melewati gelombang demi gelombang pencobaan ini. Hehehe.. :D
Pulau Sisi |
Saya tidak tahu apa yang saya pikirkan saat itu. Kemungkinan
terburuk adalah kapal kami terbalik, akan tetapi itu tidak terjadi. Kami bisa
melalui gelombang itu (dengan deg-degan dan rasa panik) dengan baik. Setiap
kali tiba di pulau tujuan, kami seolah-olah lupa bagaimana tadi perjalanan kami
itu.
Sekitar pukul 18.00 WIT kami sudah tiba lagi di rumah Bibi. Setelah makan malam, kami pun terlelap tidur sampai pagi. Salah satu hal yang paling dinanti ketika berada di pulau adalah tidur malam, karena bisa tidur dengan lelap, sampai-sampai nyamuk tidak terasa mengganggu lagi. :D
Pulau Vagam |
Di hari kedua kami akan berkunjung ke Pulau Dabatan, Pulau
Yellu, Puncak Harfat, Putri Tertidur, dan Balbulol. Karena tempat yang akan
didatangi lumayan banyak, kami sudah berangkat sekitar pukul 07.00 WIT. Sebelum
berangkat kami sudah yakin bahwa kami pun akan basah kuyup lagi dan mungkin
akan menghadapi gelombang laut yang jauh lebih bersemangat dibandingkan hari
pertama. :D
Cheers! |
Di Pulau Dabatan dan Yellu kami berkunjung ke sekolah dasar
yang ada di sana. Mengobrol dengan guru-guru muda yang berdedikasi untuk
mengabdi, dan tentunya adik-adik pulau yang tak kalah bersemangat juga. Bagaimana
kondisi sekolah di pulau? Ada yang kekurangan ruangan kelas, atap ruangan
hancur, tapi anak-anak tetap gembira.
Senang difoto! :) |
Saya juga senang berjumpa dengan beberapa
guru yang masih muda yang setia mengabdi di pulau dengan fasilitas apa adanya
dan perhatian minim dari pemerintah. Ada satu sekolah yang bahkan memiliki
lorong rahasia untuk dijadikan ruangan kelas. Wajah-wajah gembira dari
anak-anak dan semangat mengabdi dari para guru tidak surut karena kondisi ini. Mereka
sungguh luar biasa!
Ketika berkunjung ke sekolah dan mengobrol dengan guru-guru, kami dalam keadaan basah kuyup. Untung mereka tidak mempermasalahkan keadaan kami, justru menerima kami apa adanya. Hahah.. Lantai kantor guru dan kursi dalam keadaan basah ketika kami tinggalkan.
Belajar di Lorong Rahasia. |
Setelah menyelesaikan urusan dengan dua SD ini kami pun
melanjutkan perjalanan menuju Puncak Harfat. Gelombang demi gelombang selama di
perjalanan sempat membuat saya berpikir apakah perjalanan ini layak untuk kami
lanjutkan. “Sebenarnya apa yang sedang kami lakukan ini?” begitu saya bertanya
di dalam hati.
Saya menutup mata saya dan melindungi kepala saya dengan
topi jaket saya. Air laut yang membasahi wajah saya membuat mata saya perih. Jadi,
saya melanjutkan perjalanan di tengah gelombang itu dengan mata tertutup.
Saat mata
saya tertutup saya bisa merasakan besarnya gelombang dan hantaman gelombang di
badan kapal kami. Sesekali saya membuka mata dan melihat secara langsung air
laut yang sudah berada di atas kami. Mirip adegan di film Moana saat mendatangi
Te Ka. Ngeri sekali memang!!
Saya mencoba tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
dengan perlahan. Saya juga melihat Syafi yang ada di depan saya yang begitu
tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Saya kembali tenang dengan energi yang
saya terima dari Syafi. Hingga waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Salah satu pemandangan dari Puncak Harfat. |
Kami pun memasuki komplek Puncak Harfat itu. Air laut pun
tenang karena ditutupi oleh bukit-bukit batu yang megah dan kokoh. Aura yang
saya rasakan begitu magis, yang membuat saya tiba-tiba takut. Kami seperti
memasuki sebuah dimensi yang berbeda dan energi yang memenuhi tempat itu bukan
energi yang sembarangan.
Saya masih bisa merasakan perasaan saya ketika memasuki
komplek itu sampai saat ini, bahkan ketika menuliskannya. Mereka, siapapun yang
menunggu di sana terasa sudah sangat tua, bahkan purba (ancient).
Ketakutan yang saya rasakan bukan ketakutan seperti
melihat hantu atau setan, tapi ketakutan yang penuh dengan rasa hormat. Mereka menerima
kami dengan sangat ramah. Saya sudah lupa bagaimana tadi kami terombang-ambing
oleh ombak. Saya sudah lupa bagaimana saya tadi masih mempertanyakan perjalanan
ini.
Puncak Harfat |
Kami perlu trekking sekitar 30 menit menuju Puncak Harfat. Dari
atas sana kita bisa menyaksikan gugusan-gugusan bukit batu dengan berbagai
macam bentuk. Angin pun berhembus kencang di puncak, sepertinya bisa
menerbangkan saya kalau saya sangat kurus. Hehhe…
Saya sempat mengabadikan pemandangan ini melalui kamera,
walaupun saya tahu gambar di kamera tidak akan mampu mewakili perasaan saya
yang masih takjub dengan gugusan bukit batu itu. Foto hanyalah bonus yang bisa
saya bawa untuk membantu saya mengingat atau menceritakan ke orang lain.
Setelah dari Puncak Harfat, kami menuju Putri Termenung. Disebut Putri Termenung karena di dalam gua stalaktit itu terdapat sebuah patung
perempuan yang sedang merenung sendirian. Saya tidak bisa menunjukkan fotonya
karena saya pikir ini kurang sopan.
Saya bahkan minta izin dan beberapa kali
minta maaf karena cahaya dari kamera saya mungkin menganggu mereka yang ada di
dalam gua itu. setelah keluar dari gua, kami pun mandi-mandi di pantai.
Anak Pantai! :) |
Di pantai Putri Termenung kami bertemu dengan rombongan
pemuda yang juga sedang jalan-jalan berkeliling di Misool. Melalui informasi
dari mereka kami bisa menuju Puncak LOVE. Jadi, ketika sampai di atas, kita
bisa melihat air laut yang berbentuk hati di bawah. Trekking menuju Puncak LOVE juga perjuangan sendiri.
The magnificent Puncak LOVE! |
Akan tetapi, setiap kali sampai di puncak, baik Harfat
maupun LOVE, semua rasa lelah itu terlupakan begitu saja. Mungkin memang begitu
ya, ada tempat-tempat tertentu yang memang bisa ditemukan dengan melewati
perjuangan dulu. Hahah… Kalau sudah kelihatan, perjuangan itu pun terbayar
sudah. Lunas pula. :D
Oh iya di dermaga Puncak Harfat saya melihat rombongan
lumba-lumba yang juga sedang piknik. Beruntungnya saya ini! J
Perjalanan ini merupakan salah satu perjalanan yang membekas
di dalam ingatan dan hati saya. Bukan saja tentang menghadang gelombang laut,
saya juga seperti dibawa kembali menemukan ingatan-ingatan lama dan baru yang
bisa menolong saya di masa ini dan masa mendatang.
Perjalanan ini bukan wisata, tapi perjalanan menemukan diri
saya yang belum saya kenali dan belum saya temukan. Perjalanan ini membuat saya
lupa dan kehilangan diri saya, tapi kemudian dipertemukan kembali.
Tulisan ini
pun tidak cukup untuk mewakili pengalaman saya selam tiga hari kemarin. Tapi mudah-mudahan
mampu mengingatkan saya.
Ke Misool juga menjadi perjalanan saya kesekian kalinya
bersama Rima. Kami bahkan punya beberapa foto berdua, setelah beberapa waktu
lalu dia mengingatkan saya bahwa kami tidak punya foto berdua.
Foto berdua di Puncak Harfat! |
Well, mungkin
foto berduanya tidak bisa diadakan di tempat yang biasa saja. Hahaha… Sama
seperti pertemanan, persahabatan, bahkan persaudaraan kita yang tidak biasa
ini.
Perjalanan ke Misool juga mengajarkan saya bahwa kita pun
tidak bisa melakukan perjalanan dengan sembarang orang. Ada orang-orang
tertentu yang memang sudah disiapkan untuk menolong kita di setiap perhentian dan
mengingatkan kita untuk melanjutkan perjalanan.
Mudah-mudahan mereka yang ingin
bertemu, dipertemukan kembali, sebab kita memang tidak bisa memaksa. Mudah-mudahan
kita siap dan mau mendengar!
Harapan Indah, 25.8.2017
Monik
Komentar
Posting Komentar