What We Talk When We Talk About Love (5)



Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke salah satu sekolah dampingan organisasi kami di Sumba Barat Daya, NTT. Terakhir kali saya berkunjung ke sana itu sekitar tahun lalu di bulan September. Saya memang tidak terlalu mengenal semua guru di sekolah tersebut, akan tetapi saya tertarik untuk melihat peserta didik yang ada di sekolah tersebut lebih dekat lagi.

Kamipun berbincang banyak hal mengenai kabar masing-masing, minat baca anak, dan perpustakaan di sekolah tersebut. Pembicaraan yang biasanya bisa memberikan saya semangat, tapi juga bisa membuat saya patah semangat. Untungnya hari itu pembicaraan kami lumayan menyenangkan. Masih ada harapan. :)

Saya masih bertahan di perpustakaan itu sampai jam pulang sekolah. Beberapa anak datang dengan sukarela, tapi ada juga yang datang setelah disuruh oleh guru. 

Setelah perpustakaan kami tutup, saya menuju ke ruangan kepala sekolah yang sedang penuh oleh guru-guru. Sepertinya mereka sedang rapat.

Saat saya masuk dan pamit kepada kepala sekolah dan guru lain, tiba-tiba satu orang guru yang tadi juga sempat mampir ke perpustakaan berkomentar: 

"Ibu sekarang tambah isi ya badannya, tidak seperti terkahir dulu datang ke sini lebih rapi (baca: kurus)."

Saya langsung melihat si Ibu dan membalas:

"Loh, Ibu tadi jumpa saya di perpus kok tidak komentar, kenapa baru di sini di depan guru lain? Saya tambah isi begini karena banyak stress kalau perpus tidak dijalankan. Jadi, saya banyak makan."

(Sebenarnya penyebab saya tambah isi bukan karena banyak makan atau stress. Saya hanya mencoba menjelaskan kepada si Ibu alasan saya terlihat lebih berisi yang bisa diterima oleh akal sehatnya. Tapi, penjelasan saya pun sebenarnya tidak masuk akal beliau. Ibunya bahkan tidak pernah membawa anak didiknya ke perpus dan perpus di sekolah itu tidak berjalan aktif sejak diresmikan).

(Kenapa saya merasa punya kewajiban untuk menjelaskan kenapa saya tambah gendut atau tambah kurus kepada orang lain?)

Kenapa bahkan pertanyaan kenapa kurus dan gendut ini muncul?

Jadi bisa disimpulkan bahwa saya sedikit naik darah karena si Ibu mengomentari tubuh saya di depan khalayak. Mungkin jawaban saya bisa lebih kejam lagi next time kalau ada yang masih berkomentar. :D

Saya masih saja mendengar Ibu itu mengomentari badan saya ke guru di sebelahnya saat saya pamit dan ngobrol sedikit dengan kepala sekolah.

Biasanya saya tidak peduli dengan komentar orang-orang mengenai tampilan dan ukuran badan saya. Di satu sisi saya berpikir karena si orang yang berkomentar itu bodoh dan tidak memiliki kontribusi apapun dalam kehidupan saya. Wahh... Ngerii banget lu, Mon!

Bisa tidak kalian bayangkan, ibu ini akan berkomentar apa kepada murid-muridnya yang perempuan yang memiliki ukuran badan lebih dari teman-teman sebayanya. Kalau saya jadi kepala sekolah, saya akan skors Ibu ini seminggu dan menuliskan permohonan maaf dan menuliskan kata-kata pujian kepada dirinya sendiri sebanyak 100 halaman. Mamam! :D

*** 
Pengalaman ini mengingatkan saya kembali untuk menerima diri dan tubuh saya apa adanya. Well, ini merupakan salah satu pekerjaan tersulit sepanjang hidup manusia, dan sepanjang hidup sebagai seorang perempuan.

Standar yang sudah ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun tentang menjadi cantik kelihatannya sudah sulit untuk dibongkar dan diputarbalikkan. Seringnya perempuanlah yang menjadi objek dan korban, sampai-sampai kita sendiri perempuanpun lupa tentang bagaimana menilai diri kita yang cantik ini.

Mencintai diri sendiri dan menerima bentuk tubuh adalah pe-er terbesar menjadi perempuan. Lemak perut dan tangan yang merembet kemana-mana, paha yang sebesar paha ayam broiler, double chin, kulit wajah jerawatan, pantat tepos, hidung yang kecil/pesek, kelopak mata yang berlipat, bulu kaki yang lebat, stretch mark di payudara dan perut, belum lagi kram perut saat datang bulan. Heiloooo... Kurang apa lagi coba? :D

Menerima diri saat keadaan baik-baik saja sangatlah mudah. Menerima diri saat tubuh kita seusai dengan standar yang diberikan oleh media dan masyarakat mungkin bukan jadi persoalan utama. Bahkan, masih saja saya menemukan teman perempuan yang menurut saya baik-baik saja dibandingkan saya, protes tentang tubuhnya sendiri. Gak ngerti lagi awak harus ngomong apa!! :D

Menerima diri dan bentuk tubuh yang tidak sesuai standar kebanyakan orang bukan proses yang terjadi dalam satu malam. Perlu waktu yang banyak dan kebaikan hati untuk memperlakukan tubuh dan diri dengan lebih baik.

Salah satu cara yang bisa saya sarankan adalah berbicara kepada bagian tubuh yang menurut kita masih kurang ideal itu. Misalnya "Wahai kami stretch mark di payudara, tidak apa-apa loh. Saya terima kamu apa adanya. Mungkin payudara saya lumayan nyaman untuk kamu tempati." :D

Cobalah saat bercermin, sampaikan kalimat-kalimat baik itu kepada bagian tubuhmu yang kerap membuatmu sedih atau sulit menerima diri.

Mengatakan memang lebih mudah daripada melakukannya. Saya pun masih berposes untuk melakukannya. Seperti yang saya katakan tadi, melakukan ini jauh lebih sulit daripada menyelesaikan persamaan hukum relativitas. 

Harapan saya yang lain adalah semoga tidak ada lagi orang seperti Ibu guru yang saya ceritakan itu. Kita tidak pernah tahu efek kata-kata dan komentar kita tentang tubuh seseorang berdampak pada kesehatan mental dan kepribadiannya.

So, daripada lo komentarin tubuhnya saat bertemu dan cukup bodoh untuk membuat bahasan yang lebih berbobot lebih baik shut the f*ck up! :D

Cem mana ko rasa? Cocok gak?


Ende, 8.3.2020
M

Komentar

Postingan Populer