Love in the Time of Cholera: Sanggupkah Kau Menungguku Selama 51 Tahun?


“Always remember that the most important thing in a good marriage is not happiness, but stability.”

Love in the Time of Cholera ini merupakan salah satu novel yang layak untuk dibaca dan dijadikan sebagai materi utama kalau mau belajar tentang sastra dan kepenulisan. Gabriel García Márquez menulis novel ini dan mempublikasikannya pertama kali pada tahun 1985.

Setelah selesai membaca buku ini beberapa waktu lalu, saya masih tercengang-cengang dengan ide dan kisah yang diangkat dalam novel ini. 

Bagaimana mungkin seorang manusia bersedia menunggu sampai 50 tahun untuk bersama-sama dengan kekasih yang dicintainya sejak umur belasan tahun. Cerita seperti ini memang hanya ada di dalam angan-angan saja. Sunggu khayalan tingkat tinggi.

Florentino Ariza, seorang pemuda miskin jatuh cinta kepada Fermina Daza yang berasal dari keluarga kayak dan terpandang. Awalnya, Fermina tidak terlalu menanggapi usaha Florentino saat menunjukkan ketertarikannya. Akan tetapi, setelah didekati berkali-kali, Fermina pun menerima cinta Florentino. 

Saat itu, Fermina bersekolah di sekolah khusus perempuan yang dikepalai oleh seorang suster. Kesialan pun terjadi saat si suster menemukan surat yang dikirimkan oleh Florentino, dan melaporkannya kepada ayah Fermina. Fermina pun dikeluarkan dari sekolah itu.

Ayah Fermina, Lorenzo Daza pun mengamuk dan membawa Fermina untuk ikut dalam perjalanan bisnisnya dengan harapan bisa melupakan Florentino. Bisa dibayangkan penderitaan yang dialami oleh kedua sejoli ini. Saat sedang sayang-sayangnya, malah dipisahkan.

Singkat cerita, kemudian Fermina dijodohkan oleh ayahnya kepada Dr. Juvenal Urbino, seorang dokter yang dipandang lebih memilki martabat dibandingkan Florentino. Relasi pernikahan antara Dr. Urbino dengan Fermina bukanlah relasi karena saling mencintai. 

Selama usia pernikahan mereka yang sampai puluhan tahun, mereka mengakui bahwa mereka tidak pernah saling mencintai. Dr. Urbino pun memiliki perempuan lain di dalam kehidupannya, yang masih sering ia temui.

Saat mengetahui bahwa Fermina menikahi Dr. Urbino, semakin hancurlah hari Florentino. Florentino yang kemudian mendapatkan warisan dari pamannya menjalani hidup dengan penuh penderitaan dan sakit hati yang berkepanjangan. 

Florentino melampiaskan sakit hatinya ini dengan menjalin hubungan dengan ratusan perempuan. Semenyenangkan apapun relasi Florentino dengan ratusan perempuan yang sudah dipacarinya, hanya ada Fermina yang bertahta di istana hatinya. Ya owoh! 

Akhirnya kesempatan itu datang juga. 51 tahun, sembilan bulan, dan empat hari setelah pertemuan pertama mereka, Florentino menyatakan perasaannya kepada Fermina di pemakaman Dr. Urbino yang meninggal setelah terjatuh dari tangga.

Florentino mengakui perasaannya yang tulus mencintai Fermina dan bersedia menunggunya sampai berpuluh-puluh tahun kemudian. Whatt!! Awalnya Fermina mengutuk perbuatan Florentino ini, karena Fermina baru saja kehilangan suaminya. Bagaimana kisah berikutnya? Baca bukunya ya.


Buku ini diberi judul Love in the Time of Cholera karena saat kisah cinta Florentino dan Fermina ini terjadi saat wabah kolera sedang melanda Distrik Viceroy, Kolombia. 

Gabo, begitu si penulis akrab disapa ini meraih penghargaan Nobel di bidang sastra pada tahun 1982, melalui novelnya yang berjudul 100 Years of Solitude. Nanti akan saya ulas di unggahan lain ya.

Membaca novel ini sebenarnya membuat saya bertanya-tanya dan juga berangan-angan akan kisah cinta Florentino dan Fermiza ini. Apakah ada cinta yang bisa dan sanggup menunggu sampai selama itu? 

Kekuatan apa yang membuat Florentino bersedia menunggu Fermina, walaupun sudah jelas-jelas Fermina menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Di awal kan sebenarnya Florentino sudah tidak memiliki kesempatan lagi.

Kekuatan seperti apa yang membuatnya sanggup menunggu cinta pertamanya selama 51 tahun, sembilan bulan, dan empat hari?


Ende, Maret 2020
M




















Komentar

Postingan Populer