Validasi Perasaan

Belakangan ini saya sedang memikirkan tentang bagaimana kita bisa melakukan validasi terhadap perasaan sendiri. 

Secara sederhana validasi berarti pengesahan. Atau sah. Jadi, validasi perasaan bisa diartikan bahwa apapun yang kamu rasakan terkait sesuatu itu sah saja. Misalnya, kalau kamu tidak nyaman ketika berada di antara kerumunan, perasaan tidak nyaman itu sah saja. Tidak perlu merasa bersalah karena merasa tidak nyaman. 

Akan tetapi, yang sering kita lakukan adalah menekan perasaan tidak nyaman itu supaya tidak terlihat atau tidak diakui. Mungkin hal ini berkaitan dengan kebiasaan dan budaya kita yang seringnya mengkondisikan kita untuk menyembunyikan perasaan dan ekspresi tidak nyaman. Salah satu alasannya adalah menjaga perasaan orang lain.

Saya jadi ingat dengan bagaimana anak-anak bisa begitu bebas mengekspresikan perasaannya. Mereka menangis ketika kesakitan atau kemauannya tidak dituruti. Mereka tertawa riang ketika ada yang lucu. Mereka sedih ketika teman kesayangan mereka sakit. Anak-anak begitu bebas dan lepas ketika mengekspresikan emosi mereka. 

Mengapa setelah kita dewasa malah sering menekan dan bahkan tidak mengakui perasaan kita itu? Toh, kita juga tetap bereaksi sama untuk hal-hal seperti itu ketika kita dewasa kan?

Saat saya berkonsultasi dengan seorang psikolog beberapa maktu yang lalu, si psikolog mengingatkan saya betapa pentingnya menerima dan memvalidasi setiap emosi dan perasaan kita. Tidak perlu memaksa untuk tetapi kuat meskipun kita sedang lemah dan tidak berdaya. 

Tidak perlu menekan perasaan marah. Terima saja emosi itu dan berikan ruang untuk mengekspresikannya. Semua emosi yang kita rasakan itu penting. Tidak ada emosi yang lebih baik dari yang lain. Semua emosi itu membantu kita untuk bertahan hidup sampai saat ini.

Kemudian, secara perlahan-lahan saya belajar untuk menerima dan memvalidasi perasaan saya terhadap hal-hal yang berada di sekitar saya. Saya menerima emosi sedih ketika hewan kesayangan saya meninggal. Saya menangis. Saya juga membongkar perasaan-perasaan saya yang lalu yang masih terpendam dan belum saya terima.

Saya marah karena perbuatan seseorang yang menyakiti perasaan saya. Saya menerima emosi itu dan belajar untuk mengekspresikannya. Mungkin saya belum atau tidak memilih untuk mengekspresikannya secara kasar, saya mencari cara yang tidak menyakiti diri saya sendiri. Kemudian saya menemukan cara lain untuk mengekspresikan kemarahan itu. Saya menulis jurnal. Saya bercerita kepada orang yang saya percayai. 

Marah terhadap sesuatu atau seseorang tidak harus diselesaikan dengan kekerasan. Mungkin dengan ini kita bisa belajar menerima perasaan itu dan bekerja untuk mencari cara terbaik untuk melepaskannya. Nah, mungkin ini salah satu pe er menjadi orang dewasa.

Anak-anak tidak peduli dengan bagaimana perasaan orang di sekitarnya ketika mereka menangis atau berteriak karena sesuatu yang mereka tidak sukai. Kupikir ini salah satu fase yang menyenangkan saat menjadi anak-anak. Mungkin ada yang bisa dipelajari setelah menjadi dewasa. 

Kalau kamu marah karena sesuatu, tidak apa-apa. Tidak perlu menekan perasaan itu.

Kalau kamu sedih, tidak apa-apa juga kalau ingin sendirian dan menangis.

Kalau kamu merasa jijik, tidak apa-apa juga kalau ingin menjauh.

Kalau kamu sedang senang, tidak perlu juga menahan diri untuk tertawa lepas.

Semua yang kita rasakan itu valid. Semua yang kita pikirkan terkait sesuatu itu sah. Tidak apa-apa. Jadi, pertama-tama kita perlu menerima semua perasaan dan emosi yang kita rasakan itu. 

Terima. 

Terima. 

Terima.

Komentar

Postingan Populer