AMBA
Sebuah
novel karya Laksmi Pamuntjak ini merupakan karya teranyar beliau yang baru
pertama kali saya baca. Amba lahir pada Oktober 2012. Sebelumnya saya belum
pernah mendengar nama beliau, kecuali melalui beberapa resensi novelnya yang
dimuat di beberapa media cetak.
Geli
memang ketika memikirkan tentang sesuatu, tapi sesuatu itu tidak datang dalam
waktu yang diinginkan. Bisa menghampiri di waktu yang berbeda, tapi
kedatangannya tidak pernah disesali. Begitulah awal perkenalan saya dengan
Amba.
Saya
beberapa kali membaca resensi novel ini di beberapa media cetak tanpa berpikir
untuk membeli. Akan tetapi, di sebuah pameran buku, saya merasakan bahwa ketika
saya melihat novel tersebut, Amba seperti memanggil saya untuk membelinya.
Berbekal dengan sedikit modal dan potongan harga yang juga sedikit, akhirnya
Amba bisa saya miliki. Saya membeli Amba sekita bulan November Tahun 2012 silam,
dan saya baru sempat membacanya sekarang.
Tema
besar novel Amba ini merupakan salah satu tema yang menjadi favorit saya
belakangan ini. Mengenai Peristiwa 30 September dengan segala elemen yang
menyertai dan memenuhinya. Salah satunya adalah para tahanan politik yang
dibuang ke Pulau Buru, yang dapat ditempuh melalui perjalanan laut kurang lebih
tujuh jam dari pelabuhan kota Ambon.
Saya
sudah membaca beberapa karya dari penulis yang berbeda, tapi mengangkat tema
mengenai tahanan politik dan tragedi 30 September. Sebut saja Cantik
Itu Luka oleh Eka Kurniawan, Blues Merbabu & 65
oleh Gitanyali, dan juga Pulang oleh Leila S. Chudori, dan
menyusul Kubah oleh Ahmad Tohari.
Akan
tetapi, membaca Amba saya merasakan sesuatu yang berbeda. Selain menemukan
kisah romansa yang tidak biasa, saya merasakan sebuah bentuk baru dalam
menulis. Laksmi Pamuntjak sungguh meninggalkan jejak yang manis di dalam
pikiran saya mengenai karya yang satu ini. She
nailed it!! Walau tentu tidak akan lepas dari kritik dan penilaian.
Membaca
Amba membuat saya juga berkenalan dengan kisah Mahabharata dan Serat
Chentini. Saya juga berkenalan dengan beberapa sajak dan puisi
sastrawan dunia. Leila S. Chudori juga menyuguhkan hal yang sama dalan novel
Pulang. Sehingga membaca mereka, saya bisa berlayar ke berbagai pengetahuan dan
seolah-olah bertemu secara langsung dengan sastrawan-sastrawan terkenal itu.
Ketika
membaca Amba, terkadang saya berpikir bahwa saya sedang tidak membaca novel,
tapi sedang membaca puisi dan sajak yang terdiri dari beratus-ratus bait.
Laksmi Pamunjtak telah berhasil meramu kata-kata menjadi energi-energi yang
hidup lewat bahasa dan idealisme.
Saya
benar-benar merasakannya. Saya terpukau dan terbawa arus ketika membaca halaman
demi halaman dalam novel ini. Ramuan kata-kata menjadi semacam candu yang
menenangkan. Bahkan, saya sampai kesulitan untuk mengutip beberapa kalimat.
Setelah berjuang tidak terlalu keras, saya mengutip bagian dalam surat Amba
berikut:
“Aku
tahu bagaimana kamu memandang Zulfikar. Setengah jengkel dan setengah terkesima.
Tapi, bagaimana kita bisa menilai seseorang begitu cepat? Mungkin ia tak ingin
seperti yang kita inginkan, barangkali ia ingin melarikan diri dari dirinya
yang tak ia inginkan. Mungkin ia adalah bagian dari nasib. Atau bukan bagian
dari nasib.” (Hal. 394)
Kalimat
tersebut tentu bukanlah kalimat yang dengan sengaja diungkapkan untuk memberi
nasihat kepada orang lain. Lebih-lebih kepada diri sendiri. Kalimat yang
mengandung tafsir makna yang beragam dan tentu sangat dalam.
“Perjalanan
membawa hal-hal baru yang membuat kita bijaksana, tapi selalu ada yang tetap
pada kita sejak sebelum berangkat.”
(Hal. 463)
Setelah
membaca Amba, saya kemudian menemukan karya Laksmi di dalam website pribadinya www.laksmipamuntjak.com. Saya sedang
berkenalan dengan beberapa puisi dan essai beliau. Walaupun karya-karya beliau
disajikan dalam bahasa Inggris, saya bisa sekalian menambah koleksi vocab saya dengan membuka kamus untuk
mengartikan kata-kata yang belum saya pahami.
Dari
segi tema dan cara bertutur, Amba tidak usah diragukan lagi. Harus menjadi
koleksi bagi mereka yang mengaku sebagai pengagum sastra Indonesia dan
sekaligus mereka yang haus akan sejarah Indonesia yang diceritakan melalui
perspektif yang berbeda. Tentu sejarah bukan tentang siapa yang paling benar
dan yang salah. Dan melalui Amba saya bisa mengalami Pulau Buru dan Peristiwa
30 September dengan perspektif yang berbeda dan juga berkembang. Melalui novel
ini saya seolah-olah berhasil memasuki dimensi ruang dan waktu di Pulau Buru.
(Sempat pula saya bergumam
untuk kelak mampir kesana) Ingin
menapak tilas jejak Pramoedya Ananta Toer dan jejak tapol yang melalui
pembuangan dan kematian mereka telah menorehkan setitik perubahan bagi
peradaban manusia, walau tidak semua menyadarinya. Mereka tidak mati dalam
kesia-siaan. Begitu saya berpikir.
Gambar diunduh dari www.gramediapustakautama.com
Melalui
tulisan saya kali ini, saya memang sengaja tidak ingin berkisah tentang tema
dan tokoh utama, karena bisa berlembar-lembar halaman. Sekaligus, saya
kesulitan untuk memilih bagian cerita yang terbaik, karena menurut saya setiap
potongan kisah dalam Amba ini semua terbaik. Tapi, saya hanya bisa menjamin
bahwa Amba bisa menjadi karya sastra yang telah berhasil menemukan tempatnya.
Tempat yang terbaik.
Selamat
Membaca!
Jakarta ketika Banjir Insomnia Melanda,
19 Januari 2013
02.37 Wib
M
& M
Komentar
Posting Komentar