Film Rectoverso: Cinta yang Tidak Terucap
Keana
Production bersama dengan 5 orang perempuan sutradara meluncurkan sebuah film
dalam wujud Omnibus. Film yang terdiri dari 5 cerita pendek yang diadaptasi
dari kumpulan cerita pendek “Rectoverso” karya Dewi “Dee”
Lestari.
Gambar di unduh dari www.rectoverso-film.tumblr.com
Tema
keseluruhan cerita pendek ini adalah cinta yang tidak terucap. Tepat pada
tanggal 14 Februari kemarin, bertepatan dengan Hari Kasih Sayang (bagi yang
merayakan) film ini hadir si bioskop. Kelima perempuan sutradara itu adalah
Marcella Zalyanti, Olga Lidya, Cathy Sahron, Rachel Maryam, dan Happy Salma.
Mereka
memilih 5 cerita pendek dari 11 cerpen Dee dalam “Rectoverso” itu. Cerpen
tersebut adalah Curhat untuk Sahabat (disutradari
oleh Olga Lidya), Hanya Isyarat (disutradari
oleh Happy Salma), Cicak di Dinding (disutradari
oleh Cathy Sharon), Firasat (disutradarai
oleh Rachel Maryam), dan Malaikat juga Tahu
(disutradarai oleh Marcella).
Saya
berhasil menonton film tersebut secara gratis. Berkat nama institusi media yang
menempel di baju yang saya kenakan waktu itu. Di kesempatan yang lain saya juga
berhasil bertemu sapa dengan Dewi Lestari, meskipun dalam urusan sebagai
narasumber. Tapi, kelak kami akan bercerita banyak. Sebagai guru dan murid
mungkin. Semoga. Amin.
Saya
ingin bercerita mengenai pengalaman saya antara membaca buku dengan menonton
film. Tidak banyak film yang diadaptasi dari novel berhasil sebagai sebuah
film. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa Film “Rectoverso” ini telah berhasil
menjadi sebuah film adaptasi.
Saya
berpendapat, hal ini terjadi karena pada dasarnya cerpen Dee yang merupakan ide
utama film Omnibus ini sudah memiliki ciri khas yang kuat dan makna yang dalam.
Saya sudah membaca kumpulan cerpen ini berkali-kali. Selalu ada hal baru yang
saya temukan. Saya membacanya di jalan, di mobil kantor, di saat mengantri,
hampir juga membacanya saat di toilet.
Selain
itu, saya berpendapat bahwa kelima perempuan sutradara tersebut juga telah
berhasil mengadaptasi dengan baik. Dari segi penokohan, improvisasi alur yang
tidak merusak makna, bahkan semakin memperjelas pesan yang ingin disampaikan,
dan sinematografi yang walaupun saya tidak terlalu paham, tapi menurut saya
bagus.
Pada
dasarnya, saya juga menyukai kelima cerita tersebut. Cinta yang tidak terucap.
Cinta yang hanya dirasakan, dan kemudian disimpan. Hampir saya menitikkan air
mata. Mungkin sudah menetes juga tanpa saya sadari.
Dalam
acara nonton bersama tersebut, Happy Salma sempat berujar bahwa cinta yang
tidak terucap adalah cinta yang mulia. Walaupun saya belum memahami secara
betul dimana letak kemuliaannya, tapi bulu saya berdesir ketika mendengarkan
kalimat itu. Semoga akan mengerti.
Ketika
banyak cinta yang terobsesi untuk disampaikan, bahkan mungkin dipaksakan,
kelima kisah ini menjadi alternatif tentang cinta yang tulus, cinta yang tidak
minta dibalas, cinta yang ketika disimpan menimbulkan rasa yang aneh sekaligus
getir di dalam hati. (Akh, kenapa pula
jadi semacam berpuisi?)
Ketika banyak cinta
ingin segera di ucap, ada alternatif untuk menyimpannya di dalam hati. Berharap
cinta bukan akan menghancurkan, tapi menghidupkan sel-sel. Meski sakit.
Saya
teringat tulisan Dostoyevsky yang mengatakan: “For anyone to love a
man, he must be hidden, for as soon as he shows his face, love is gone.”
Mungkin memang
ada jenis cinta yang sebaiknya disimpan saja. Tidak untuk dipamerkan, apalagi
diperjualbelikan. Ada jenis cinta yang tidak berharap untuk dikenal, apalagi
dipuja. Ada jenis cinta yang hanya menemukan wajahnya ketika disembunyikan,
bukan disuarakan. Mungkin, cinta jenis demikian juga eksis.
Film “Rectoverso” saya anggap menjadi film yang pas di Hari Kasih Sayang
itu. Menjadi hadiah bagi siapapun yang merindukan jenis cinta yang lain. Bagi
siapapun yang merindukan untuk menyimpan maupun menyatakan cinta mereka. (Tidak bermaksud untuk sok romantis. Sumpah!!)
Film ini juga diiringi soundtrack
yang sudah tidak asing lagi di telinga. Kalau mungkin dulu kita mendengar versi
Dewi Lestari, maka kelima judul cerita sekaligus lagu ini dinyanyikan ulang
oleh penyanyi yang berbeda. Malaikat juga
Tahu dinyanyikan ulang oleh Glenn Fredly, Hanyak Isyarat oleh Drew, Firasat
oleh Raisa, Cicak di Dinding oleh
Dira Sugandi, dan Curhat untuk Sahabat
oleh Acha bersama dengan Tohpati. Tentu menjadi semacam penyegaran, bukan?
Saya sempat menyaksikan penampilan Glenn, Raisa, dan Drew membawakan
lagu-lagu tersebut secara langsung. Tidak lain tidak bukan, bulu roma saya
berdesir.
Tentu tidak akan menyesal ketika membaca buku dan film “Rectoverso”. Juga
mendengarkan lagu-lagu-nya.
Selamat Terinspirasi!
Jakarta, 18 Februari 2013
00.02 Wib
M & M
Komentar
Posting Komentar