Peluk
Kau
mungkin turut merasakan hasrat yang sama, atau aku hanya terlalu ingin tahu
Aku
ingin memelukmu. Aku ingin masuk ke dalam relungmu yang paling dalam
Mungkin
tidak terlalu berlebihan.
Setiap
kali aku melihatmu, setiap kali kau membelakangiku
Aku
ingin segera menghampirimu. Ingin bersentuhan denganmu.
Berlebihan
mungkin. Tapi tidak.
Terkadang,
aku harus mengarang cerita. Ingin membisikkannya ke telingamu
Bukan
untuk menyampaikan cerita, tapi ingin mencium bau keringatmu
Ah,
andai aku bisa berbisik lebih lama lagi.
Tangan
kita pernah saling bersentuhan. Kau dengan sengaja (mungkin juga tidak)
menyandarkan telapak tanganmu di pundakku. Aku ingin lebih lama kau bersandar.
Pundakku ingin telapakmu menjamahnya lebih lama lagi. Tapi segera saja kau
beralih setelah urusanmu selesai.
Aku
senang menarik-narik rambutmu. Aku ingin menggerayangi kepalamu sembari mencari
kutu yang mungkin bermukim di sana. Tapi, aku tidak ingin terlalu lama. Aku
tidak ingin kau menyadari maksudku yang sedang kusembunyikan. Dalam hati saja.
Kau
ingat saat kita berlomba untuk menendang botol minuman itu? Aku senang beradu
kecepatan denganmu. Lebih tepatnya, aku senang beradu kaki denganmu. Kita
saling mendorong.
Aku
pernah menyentuh wajahmu. Aku mendorong pipimu dengan jemariku. Hanya sebentar
saja. Kadang-kadang aku ingin mengulanginya. Tapi tidak bisa. Kau terlalu
sibuk.
Aku
menyukai isi kepalamu. Mungkin karena aku tidak bisa menebak isi kepalamu.
Tidak jarang kau bertingkah aneh. Sesekali terlihat baik dan manis. Seseringnya
kau kambuh dengan keanehanmu, aku justru menikmatinya. Aku ingin masuk ke
pedalaman belantara pikiranmu. Tapi belum. Kau mengambil jarak. Sesekali kau
mengizinkanku masuk.
Kau
ingatkah malam itu. Malam itu malam yang paling aku ingat kau membahas sesuatu
yang penting bagiku. Walau terkadang kau hanya menertawakan keinginanku. Kau
menyepelekan caraku berkembang. Anehnya, aku tidak sedih hati.
Malam
itu kau menyayangkan kita tidak berjalan ke arah yang sama. Setengah gusar kau
merelakan kepergianku. Saat itu juga aku menyesal kenapa harus pindah kos,
walaupun besoknya aku tidak menyesal lagi. Tapi, kenapa malam kita yang lumayan
langka dan berkualitas itu harus cepat selesai. Di saat aku berharap jalan yang
kita tempuh semakin panjang, yang terjadi sebaliknya.
Besoknya,
kau kembali berulah. Tidak normal. Labil. Kita tidak jadi, bahkan lupa, mungkin
tidak berminat untuk melanjutkan pembahasan kita tadi malam. Dasar ababil!
Aku
masih menduga. Sepertinya kau memang memiliki daya ledak yang tidak terduga.
Aku penasaran. Mungkin karena itu aku selalu ingin berada di dekatmu. Aku ingin
turut merasakan dampak ketika kau meledak. Aku ingin radiasi ledakanmu melekat
di dalam diriku. Aku ingin kau meledak di dalam diriku. Semoga tidak
berlebihan. Kau memang berantakan.
Aku
tidak ingin menjadi kekasihmu. Aku tidak ingin kau meninggalkan kekasihmu
untukku. Mungkin, kau pun tidak akan pernah berpikir untuk itu. Aku tidak
pernah sedih atau cemburu ketika kau bercerita mengenai kekasihmu. Bahkan,
dengan bangga kau menunjukkan kemesraan fisik kalian berdua. Aneh juga, kenapa
kau memperlihatkan foto-foto dalam handphone dan laptop-mu itu, Nyong! (Begitu
aku memanggilmu sekarang)
Aku
tidak sedih. Tidak cemburu.
Aku
tidak ingin menjadi kekasihmu. Dengan alasan apapun.
Bagiku,
memelukmu saja sudah cukup.
Sekali
saja. Lebih lama.
Dalam
diam.
Itu
sudah cukup bagiku.
Jakarta,
17 Februari 2013
00.15
Wib
M
& M
Komentar
Posting Komentar