What We Talk When We Talk About Love (7)


"The most difficult thing in life is to know yourself."
- Thales

Beberapa waktu lalu saya melihat foto diri saya ketika masih berumur sekitar tujuh tahun kalau tidak salah ya. Saya sedang berpose dengan dua saudara laki-laki saya. Saat melihat foto itu, sebuah pertanyaan muncul di dalam pikiran saya "Apa sih kamu pikirkan saat itu, Monik?". Iya, betul. Saya sedang mengajukan pertanyaan kepada diri saya yang berumur tujuh tahun itu.

"Apakah kamu pernah terpikirkan bahwa saat kamu berumur 30 kamu akan melihat foto ini kembali dan merenungkan apa yang sedang kamu pikirkan?" Pertanyaan demi pertanyaan masih terus berlanjut. 

Apakah Monik yang berumur dua atau tujuh tahun itu pernah membayangkan bahwa dia akan Julian di Jogja? Atau membayangkan bahwa Monik di usia 20-an akan berkeliling Indonesia Timur? Atau membayangkan bahwa Monik di usia 30 akan berada di tengah-tengah krisis Covid-19?

Wah.. Banyaknya banget pertanyaan lo, Mon!
Iya, itu pertanyaan datang dari Monik yang berumur 30 tahun. 

*** 
Beberapa waktu lalu saya membahas tentang bentukan diri saya ketika umur 20-an bersama dengan seorang sahabat yang turut menjadi saksi hidup banyaknya kejadian saat itu. :D 

Salah satu bukti nyata untuk mengenali diri saya ketika berumur 20-an ada di dalam tulisan-tulisan yang dikumpulkan di dalam buku di atas. Buku itu bisa menjadi pengantar untuk mengenali saya dan sekarang saya sedang membacanya kembali untuk mengingatkan tentang diri saya pada masa itu.

Salah satu artefak yang bisa dibaca untuk mengenal Monik ketika berumur 20-an


Umur 20-an memang dipenuhi dengan energi yang luar biasa, idealisme, dan perlawanan. Haha.. terus di umur 30 diisi dengan apa ya? :))

Setelah sekilas membahas tentang diri ketika berumur 20-an, saya bertanya-tanya juga sih "Dimana Monik yang masih umur 20-an itu saat ini?" 
Apakah masih ada sisa-sisa yang membekas yang membantu saya menjalani umur 30 ini? Atau semuanya sudah menyublim?

Di dalam seri membahas tentang cinta ini, mencintai dan menerima diri versi lama memang menjadi sebuah tantangan tersendiri. Ada pengalaman yang kalau bisa di-skip atau di-install ulang. Ada juga kenangan dan energi yang ingin ditayangkan kembali ke dalam realita terkini. 

Pengalaman di masa lalu membentuk saya menjadi saya yang sedang menulis ini. Saya berterima kasih kepada Monik yang berumur tujuh, 15, atau 25 tahun itu. Idealnya tidak perlu ada kejadian yang perlu disesali, tapi menjadi pijakan untuk melangkah ke depan. Tapi, saya juga tahu pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. 

Untuk Monik yang berumur 2 tahun:
"Apaan nih woii? Siapa yang nyuruh saya datang ke sini?"

Untuk Monik yang berumur 7 tahun: 
"Kamu akan baik-baik saja. Kelak kamu akan sadar kalau kamu akan lebih mudah menjalin pertemanan dengan laki-laki. Well, tidak apa-apa juga kan? Kamu juga akan banyak mempertanyakan tentang relasi antara laki-laki dan perempuan yang menggelisahkan. Kegelisahan yang membuatmu berpikir dan berpikir. Kamu juga akan banyak bertanya. Tidak apa-apa. Jangan khawatir ya."

Untuk Monik yang berumur 18 tahun:
"Kamu mungkin berpikir kamu tidak membutuhkan laki-laki. Tapi, saran saya kalau kamu memang suka dan naksir dia, katakan saja. Jujur pada diri sendiri itu memang sulit, tapi akan membebaskanmu dari beban menyimpan perasaan terlalu lama. Jangan pernah berharap akan datang keajaiban dengan hanya diam dan menunggu. You Go Girl!!"

Untuk Monik yang berumur 25 tahun:
"Bertahanlah! Apapun yang sudah kamu lalui itu kelak akan menjadi cerita yang layak untuk dikenang."


Untuk Monik yang berumur 30 tahun:
"Seriusan woii??"

Mencintai diri sendiri adalah aspek utama dalam menolong diri sendiri saat krisis. Salah satunya adalah menerima diri yang bentukannya mungkin tidak jelas, sulit dipahami, menyedihkan, dan membuat frustasi.

Diri saat ini tidak akan ada tanpa diri yang sudah lewat. Well, mungkin sekarang saatnya untuk menerima kembali diri yang sempat ditolak dan diabaikan itu.

Salam kenal kembali, Mon!
Be good ya!


Ende, April 2020
M

Komentar

Postingan Populer