What We Talked About When We Were 30

Semakin ke sini saya merasakan hidup yang sebenarnya hidup. Berbeda dengan ketika saya remaja atau berumur 20-an. :))

Saat itu, saya masih penuh dengan optimisme akan masa depan yang cerah. Saya tidak takut bermimpi. Saya berpikir bahwa saya bisa menjadi apapun yang saya mau. Mungkin begitulah keistimewaan berada di rentang usia muda. Energi juga masih banyak.

Akan tetapi, setelah memasuki usia 30-an, semuanya berubah. Cara saya memandang hidup telah berubah. Pengalaman hidup yang saya alami jauh lebih intens, nilai-nilai hidup yang dianut semakin fleksibel, lingkaran pertemanan yang semakin kecil, mimpi-mimpi dimodifikasi untuk semakin realistis, least expectation towards people, dan kecenderungan untuk depresi. Well, saya tidak pernah membayangkan ini akan terjadi saat saya masih berumur 20-an. 

Sejauh ini saya berpikir usia 30-an itu kita akan merasakan bagaimana hidup yang sebenarnya. Kita mungkin terpaksa/dipaksa untuk dewasa. Kita (saya) dipaksa untuk menelan pil pahit kehidupan, salah satunya adalah kehilangan orang yang saya kasihi. Saya juga dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa selalu keras kepala dan memaksa. Saya juga dipaksa untuk menyerah dan mengalah.

Apakah saya menyesali semua yang saya alami di usia 30-an ini? Mungkin ada beberapa bagian yang ingin saya perbaiki kalau diberikan kesempatan memutar waktu. Tapi, secara garis besar saya tidak menyesalinya. Mungkin karena dorongan untuk maju masih jauh lebih kuat dibandingkan dengan berandai-andai untuk kembali ke masa lalu.

Momen di mana saya dipaksa untuk berpikir adalah ketika saya mengalami kekhawatiran berlebih. Saya membayangkan skenario terburuk dari segala sesuatunya. Apakah begini skenario memasuki usia 30-an?

Tapi anehnya, saya juga berpikir bahwa saya punya kesempatan untuk menjadi the best version of myself itu justru di usia ini. Saya belajar dari pengalaman hidup yang tidak menyenangkan. Saya belajar dari pikiran-pikiran yang muncul. Saya belajar dari orang-orang yang ada di sekitar saya. Saya menerima kekalahan. Saya mengalah. Saya mundur. Saya diam. Saya mengamati.

Saya beruntung karena saya suka membaca buku. Kupikir buku-buku yang saya baca juga membantuku berpikir tentang berbagai hal. Buku membantuku melewati masa-masa sulit. Membuatku lebih terbuka dengan segala kemungkinan. Membaca juga membuatku menilai diri dengan lebih gentle. Buku membuatku lebih bisa berempati dengan keadaan di sekitarku.

To this point, saya juga mungkin belajar untuk mengasihi diri saya sendiri. Memeluk diri sendiri saat sedih atau marah. Mengapresiasi diri saya untuk hal baik yang saya lakukan, seringnya lupa atau bahkan menganggap tidak ada apa-apanya. 

Saya juga berpikir bahwa kalau saya menginginkan sesuatu, saya yang bertanggung-jawab untuk mewujudkannya. Saya tidak bergantung kepada orang lain. Saya tidak memaksa orang lain untuk melakukannya untukku. Konsekuensi dari cara berpikir ini adalah saya merasa kesepian dalam beberapa hal. Sendirian itu juga tidak selalu menyenangkan kok, meskipun saya sangat menghargai kesendirian.

Oiya, di usia 30-an ini juga saya semakin merasakan pentingnya untuk sendirian. Bisa memberikan waktu untuk diri sendiri dengan bebas. Berada di tengah keramaian membuatku lelah. Tapi, bukan berarti saya menilai rendah keramaian dan orang-orang yang suka berada di antaranya.

I am still counting since the day I turned 30. I have no idea what kind of life that waits me in the future. I hope I can always be the best version of my self. You go, Gurlllll!!!

PS: Saya juga membahas topik umur 30-an ini bersama dengan sahabat saya Rima di podcast saya. Tautannya ada di sini. Podcast ini bisa kalian dengarkan di Spotify, Anchor, dan Apple Podcast juga ya!



Komentar

Postingan Populer