Sudah Saatnya Berpikir Ulang Mengenai Pernikahan

Di umur belasan atau dua puluh-an, saya mungkin masih memandang pernikahan sebagai sesuatu yang mulia. Efek laten dari menonton Cinderella dan sejenisnya yang bertemu dengan pangeran tampan dan mengakhiri hidupnya yang penuh dengan penderitaan dan ketidakadilan. 

Come on! Siapa yang tidak mendambakan peristiwa semacam itu terjadi di dalam kehidupan nyata.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia, dan dengan pengalaman-pengalaman unik yang dialami, maka cara berpikir dan mimpi itu pun berubah. 

Kupikir Cinderella idealnya bisa keluar dari penderitaan hidupnya dengan usahanya sendiri alih-alih ditolong oleh lamaran si pangeran tampan. Atau bisa saja Cinderella mendirikan sebuah perserikatan untuk membantu anak-anak tiri yang ditindas oleh keluarga barunya. Oke, sepertinya angan-angannya sudah terlalu jauh ya. :D

Beberapa waktu lalu saya ingat bagaimana adik saya merespon ketika saya mengatakan bahwa pernikahan itu bisa dijadikan sebagai kontrak kerja sama. Kedua belah pihak secara sadar dan tanpa paksaan menyepakati sebuah hubungan kerja sama melalui lembaga pernikahan. 

Tujuan kerja sama ini bisa bermacam-macam. Misalnya untuk memiliki keturunan, membantu memperbaiki kehidupan ekonomi, atau sekadar memenuhi tuntutan masyarakat. Apapun alasannya, sah saja asalkan disepakati bersama.

Adik saya tidak terima. Dia percaya bahwa pernikahan adalah lembaga yang sakral dan tidak ada ceritanya ada sebagai kontrak kerja sama. Di satu sisi saya mengerti reaksinya saat itu merupakan salah satu efek hormon yang sedang bergejolak karena sedang menstruasi. Well fyi, keputusan yang diambil saat menstruasi dan saat hormon menjalankan fungsinya seperti biasa bisa berbeda 180 derajat.

Layaknya sebuah kontrak kerja sama, maka kedua belah pihak akan menerima konsekuensi dari keputusan ini. Bisa jadi sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi kebutuhan. Selain benefit, tentunya akan ada juga potensi masalah yang bisa terpikirkan maupun yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Di dalam kontrak kerja sama biasanya terdapat pasal yang memuat bagaimana masalah akan diselesaikan, bisa secara kekeluargaan maupun melalui jalur hukum.

Salah satu benefit yang kami bahas misalnya ketika isteri mendapatkan uang bulanan dari suami atau sebaliknya. Adakah suami yang juga menerima yang bulanan dari isterinya yang bekerja dan mengakuinya misalnya? 

Hal ini bisa terjadi kalau salah satu pihak bergantung sepenuhnya secara finansial kepada pasangannya. Mungkin terdengar kasar tapi bisa juga diartikan demikian bahwa yang bulanan ini bisa juga diartikan sebagai gaji.

Perdebatan kami pun semakin menjadi-jadi. Atas dasar apa uang yang diterima dari salah satu pasangan secara rutin bisa dianggap sebagai gaji? Tanya adikku dengan emosi yang sudah meluap-luap. 

Pertama, gaji juga diberikan setiap bulan. Bisa atas kinerja yang telah atau belum dilakukan. Ada kan pegawai yang tetap menerima gaji meskipun kerjaannya tidak beres? Kedua, nominal gaji biasanya sama setiap bulannya. Kecuali kalau bekerja di perusahaan swasta maka akan ada hitungan bonus.

Mengasosiasikan uang bulanan atau uang yang diterima dari pasangan dengan gaji dianggap melecehkan hubungan yang diikat secara suci itu.

Kupikir, cara pandang yang berlebihan terhadap pernikahan ini pun sudah bisa mulai disikapi dengan akal sehat ya. Kalau misalnya si isteri menjadi korban kekerasan dan sering digebuki oleh suaminya, apakah pernikahan itu bisa dianggap suci? Lagian, siapa yang menentukan pernikahan itu suci atau tidak?

Hanya karena diikat di depan ulama atau tokoh agama, tidak berarti pernikahan itu suci. Manusia lah yang membuat pernikahan jadi suci atau sakral. Persepsi. Manusia menganggap pernikahan itu suci. Semua itu adalah permainan cara pandang dan opini. 

Kalau nanti misalnya tokoh idolamu yang kamu fanatik banget menganggap permen karet itu haram dan ditulis di kitab tambahan, maka kamu tidak akan pernah makan permen karet. Tapi, setiap orang berhak memakan permen karet kan kalau mereka mau?

Kalau kamu tidak lagi bisa menemukan harapanmu dari orang yang kamu nikahı, so what's the point? Kalau pasangan tidak bisa lagi menemukan kenyamanan dan keamanan dari pasangannya, apa untungnya melanjutkan hubungan kerja sama ini? Bukankah akan menyakitkan bagi semua pihak yang terlibat?

Tetap saja ya netihen dengan enaknya ngomong aja, padahal saya belum menikah juga sih. Kupikir saya tidak akan pernah menikah kalau cara pandang saya dengan pasangan saya tentang pernikahan tidak sejalan. Tidak harus sama persis. Tapi, bisa saling mendukung.

Sampai di mana tadi ya? :))

Oiya, bukan berarti saya tidak percaya orang menikah karena cinta ya. Atau pasangan yang saling mencintai. Bukan begitu. Saya pikir cinta dan perasaan tulus yang mengikutinya itu bisa dibangun dan dikembangkan. Ya kalau ada pasangan yang bisa melakukannya dan berhasil dalam rumah tangganya, kupikir itu terjadi bukan karena kerjaan satu orang saja. Yeayyy!! Congratsss!!

Well, cinta mula-mula pun bisa pudar kalau tidak dijaga. Bisa kedaluwarsa kalau dibiarkan begitu saja. Bisa rusak seperti barang elektronik yang tidak pernah dipakai.

Seperti saya yang mendukung pernikahan sukses, saya juga mendukung pasangan yang ingin berpisah ketika jalan yang ditempuh untuk mempertahankannya sudah buntu. Ketika rumah yang idealnya memberikan keamanan dan kenyamanan dari dinginnya dunia luar tidak lagi berfungsi seperti itu, mungkin sudah saatnya membicarakan kembali pasal yang memuat tentang penyelesaian konflik yang dimuat di dalam kontrak kerja sama itu.

Komentar

Postingan Populer