Jika Kucing Lenyap dari Dunia

"Bukannya manusia yang memelihara kucing, melainkan kucinglah yang mendampingi manusia."

Sebelum membaca buku ini, saya sedang memikirkan betapa luar biasanya kehidupan hewan ini. Saya juga berpikir bahwa kita manusia ini berpotensi merusak dan juga berpotensi untuk menjaga hidup mereka. Kalau dengan berdoa bisa membantu sedikit hewan-hewan ini (sebenarnya perasaan sedih dan rasa bersalah saya sendiri), saya akan berdoa sih.

Baiklah, saya akan bercerita sedikit mengenai buku ini. Saya membeli buku ini karena judulnya yang unik dan sebenarnya akan menjadi buku kesukaan para pecinta kucing. Dugaan saya terbukti benar. Setelah membaca buku ini, rasa sayang saya semakin bertambah kepada kucing, khususnya kepada Yuyu dan Pupi. Mereka ada di dalam foto itu.

Buku ini bercerita tentang bagaimana manusia menilai hidup setelah berada di pintu gerbang kematian. 

Bagaimana kita menilai hidup kita selama ini begitu tahu kapan kita akan mati? Apakah kita lebih banyak menyesali atau justru menghargai kenangan-kenangan yang kita miliki?

Seorang pemuda berusia 30 tahun divonis akan meningeal dalam hitungan harı karena penyakit kanker yang dia idap. Akan tetapi, sesosok iblis bernama Aloha memberikannya kesempatan untuk menyambung hidupnya sehari demi sehari asalkan ia mau menghilangkan barang-barang atau kenangan yang berharga selama ia hidup.  

Awalnya dia menghilangkan telepon, jam, dan film. Akan tetapi, ketika tiba giliran kucing yang akan dilenyapkan dari dunia, pemuda ini berubah pikiran. Pemuda ini memutuskan untuk menerima kematiannya saja. 

Apa yang membuat pemuda ini mengorbankan dirinya demi kehidupan kucing di dunia? Yang terpikirkan oleh saya adalah rasa sayang melebihi diri sendiri yang sumbernya ada di dalam diri si manusia

Kupikir manusia memang punya kemampuan untuk mengasihi dan menyayangi sesuatu melebihi dirinya sendiri. Terkadang mereka bahkan tidak tahu dari mana sumber rasa sayang yang begitu luar biasa itu.

Selama berurusan dengan si Iblis dan kematian yang semakin mendekat, si pemuda juga menyadari betapa hidupnya juga dipenuhi dengan penyesalan-penyesalan. Hidup terlihat berbeda ketika kita berada dekat dengan kematian. Semata-mata bukan tentang hidup itu sendiri, tapi tentang bagaimana kita hidup selama ini.

Apakah kita baru bisa menyadari nilai hidup ini justru ketika kita semakin dekat dengan kematian? Sama seperti kita yang merasakan makna sesuatu justru ketika kita sudah kehilangan. Mungkin hal ini merupakan bagian dari skenario hidup yang harus kita terima dengan lapang dada. 

Kita memang jarang menghargai sesuatu atau orang-orang yang kita tahu akan selalu ada di situ. Keberadaan mereka baru kita sadari dampaknya justru saat kita kehilangan. Terlambat sudah. 

Buku ini layak banget untuk dibaca berkali-kali. Selain semakin menumbuhkan rasa sayang kita terhadap kucing dan hidup, buku ini juga menambah perspektif mengenai kematian dan mengenal diri sendiri.

Apakah cara pandang kita tentang hidup akan berubah karena kita tahu pasti kalau kita akan mati suatu saat nanti? 

Apakah hal ini akan membuat kita hidup dengan lebih baik? Misalnya dengan mengurangi penyesalan-penyesalan? 

Apakah itu mungkin?

Selamat Membaca!

Komentar

Postingan Populer