Rumah Kertas: Mencintai Buku Mencintai Hidup

 

"Selama bertahun-tahun ini aku sudah pernah melihat buku dipakai buat ganjal meja; bahkan pernah melihatnya dipakai sebagai meja lampu betulan, ditumpuk bak menara lalu diberi taplak di atasnya; banyak kamus lebin sering dipakai buat mengepres dan meluruskan macam-macam ketimbang dibuka-buka, dan tidak sedikit buku dipakai buat menyimpan surat-surat, uang, dan rahasia agar tersembunyi di rak. Orang juga rupanya bisa mengubah takdir buku-buku." (hal. 57)

Membaca buku ini tidak membutuhkan waktu lama karena memang sangat tipis, hanya sekitar 76 halaman. Akan tetapi, meskipun tipis, buku ini bisa memberikan kesenangan dan memori tentang buku-buku yang menemani perjalanan hidupku selama ini. :D

Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang profesor Sastra Amerika Latin di Cambridge untuk menemukan pengirim buku yang telah mengirimkan buku ke koleganya yang baru saja meninggal.

Di dalam perjalanannya ini, si profesor bertemu dengan orang-orang yang mencintai buku dengan cara yang aneh  dan unik. Ada yang berambisi menjadi kolektor buku-buku langka dan ada yang menjadi pelahap buku yang rakus. Dua-duanya merupakan wujud cinta akan buku, kan?

Buku yang dikirimkan itu merupakan buku karya Joseph Conrad dalam terjemahan Spanyol yang berjudul "The Shadow-Line" Atau  "La línea de sombra". Buku itu sampai ke tangan si profesor dalam keadaan berdebu yang berasal dari semen dan pasir. Pengirim buku itu adalah Carlos Brauer yang dikelompokkan sebagai pecinta buku yang rakus melahap buku-buku. Koleksinya sudah tidak bisa dihitung lagi. Hingga terjadi sebuah bencana yang setiap pecinta buku tidak sanggup untuk mengucapkannya.

Setelah bencana itu terjadi, Brauer membawa semua buku yang tersisa untuk pindah ke pulau terpencil dan membangun rumahnya dengan buku-buku yang ia miliki. Yep! Buku-buku itu dimasukkan ke dalam semen yang kemudian dijadikan sebagai fondasi, tembok, dan pengganti batu bata.

Bagian ini merupakan salah satu bagian favorit saya di dalam buku ini. Kecintaan akan buku yang membuncah dan traumatis membuat Brauer menjadikan buku-buku koleksinya sebagai rumahnya. Akan tetapi, cinta ini pun berakhir tragis. Pasang air laut justru menenggelamkan rumah kertas itu. :(

Kisah yang termuat di dalam buku ini berhasil membuat saya senang, tertawa, tapi juga bersedih. Maksud hati untuk mempertahankan kenangan dengan menjaga buku-buku itu, tapi tetap kalah oleh kekuatan yang tidak bisa manusia kendalikan.

Rumah kertas yang dibangun oleh Brauer ini saya anggap sebagai sebuah cara untuk mempertahankan hidup dan kisah-kisah di dalamnya. Tapi, kita hanya bisa berusaha. Akan ada masanya hidup juga akan menenggelamkan hidup kita seperti air pasang yang menenggelamkan rumah kertasnya. Dan kita tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikannya, kecuali mati. 

Buku ini mengingatkanku tentang banyak hal dalam hidup ini yang tidak akan bisa kita kendalikan meskipun kita sudah berusaha. Terus, apa yang bisa kita lakukan? Melepaskan. 

Sekeras apapun kita berusaha untuk mempertahankan sesuatu, akan ada masanya kita harus merelakannya juga. Merelakannya untuk lepas, hancur, hilang, dan tenggelam. Mungkin begini juga cara kerja kehidupan.

Selamat Membaca!


Komentar

Postingan Populer