Eksistensialisme Humanis ala Sartre: Saya Bertindak, Maka Saya Eksis

"Jadi, efek pertama dari eksistensialisme adalah membuat setiap manusia sadar akan dirinya, dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri."

Saya sudah mengenal ide eksistensialisme ini sejak semester tiga kuliah dulu. Saat itu saya berpikir bahwa eksistensialisme dan menjadi seorang eksistensialis membantu saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai kehidupan ini. :D

Menjadi seorang eksistensialis berarti saya percaya bahwa saya lah yang menjadikan diri saya menjadi seperti saya sekarang ini. Melalui keputusan dan tindakan yang saya lakukan, saya menjadi saya yang sedang mengetik di blog ini.

Sebenarnya, mungkin banyak orang yang percaya bahwa kita yang sekarang adalah hasil dari pemikiran, ide, keputusan, dan usaha-usaha yang kita lakukan sebagai individu. Akan tetapi, saat di masa-masa sulit atau keadaan tertentu, kita (manusia) cenderung untuk mencari kambing hitam dan menyalahkan keadaan di sekitar kita.

Di dalam buku ini, Sartre menjelaskan bahwa seseorang menjadi pengecut ini bukan karena jantung atau paru-parunya mengandung bahan 'pengecut', tapi si individu itu memilih dan memutuskan melalui cara berpikirnya dan tindakannya untuk menjadi pengecut. Dan ia harus bertanggung-jawab atas kepengecutannya itu.

Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa keadaan ini bisa berubah. Bisa saja si pengecut ini berubah menjadi sosok yang heroik di masa yang akan datang. Hal yang sama juga berlaku bagi individu yang heroik.

Pemikiran eksistensialis ini juga dianggap humanis karena si individu yang bertanggung-jawab atas dirinya sendiri ini berkaitan dengan kehidupan individu lainnya. Keputusan maupun tindakan yang diambil idealnya memberikan dampak (baik/tidak baik) bagi kehidupan. 

Hal ini bisa dijawab dengan mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri misalnya "Bagaimana apabila semua orang melakukan seperti yang saya lakukan?" Pilihan atas tindakan kita tidak hanya ada berdampak pada realitas diri sendiri. Kalau Sartre menggunakan istilah 'transendental', yang mana transendental dalam konteks ini adalah keadaan yang berada di luar si individu (umat manusia).

"Tidak ada hal yang akan berimbas baik bagi kita apabila hal itu tidak membawa kebaikan bagi semua orang."

Eksistensialisme ala Sartre ini juga merupakan pemikiran yang tidak percaya dengan keberadaan 'tuhan'. Sartre berpikir bahwa meskipun 'tuhan' benaran ada, fakta itu tidak akan mengubah bagaimana manusia menentukan dirinya sendiri. 

Manusia cenderung menginterpretasikan keberadaan 'tuhan' itu sesuai dengan kebutuhan mereka. Nilai yang diberikan kepada pengalaman hidup merupakan nilai (personal) yang kita sematkan kepada pengalaman -pengalaman itu. Dan setiap orang memiliki berbagai macam interpretasi atas pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, eksistensialisme ala Sartre ini merupakan eksistensialisme yang ateis.

"dan bahwa mimpi-mimpi, ekspektasi-ekspektasi, dan harapan-harapan hanya berfungsi untuk mendefinisikan seorang manusia sebagai produk dari mimpi yang hancur, harapan-harapan gagal, dan ekspektasi-ekspektasi yang sia-sia."

Setelah membaca buku ini, saya semakin yakin bahwa eksistensialisme ala Sartre ini mengutamakan komitmen bebas kepada setiap individu untuk menjadi manusia seperti apa pun yang mereka inginkan. 

Berdasarkan pengalaman saya pribadi, menjadi seorang eksistensialis juga berarti mengalami kekosongan/kehampaan akan mimpi2 dan harapan. Melalui kehampaan2 ini lah, individu bisa menjadi apa pun yang mereka inginkan dengan catatan bahwa komitmen itu (baiknya) juga memberikan kebaikan kepada umat manusia.

Setelah membaca buku ini, saya juga masih bertanya-tanya apakah manusia memiliki batas dan batasan-batasan apa yang mungkin bersifat saklek sehingga menghalangi individu bertanggung-jawab atas pilihan-pilihannya?

Selamat Membaca!

Komentar

Postingan Populer