The Bell Jar: Perkenalanku dengan Sylvia Plath


 "I was my own woman."

Buku ini merupakan novel satu-satunya yang ditulis oleh Syvia Plath setelah puisi-puisinya yang dianggap menjadi harta karun dalam dunia kesusastraan di Amerika. The Bell Jar diterbitkan sebulan sebelum Sylvia Plath commited suicide.

The Bell Jar bercerita tentang perempuan muda bernama Esther Greenwood, yang mendapatkan beasiswa unto melanjutkan kuliah dan berkesempatan untuk magang di salah satu majalah fashion di New York.

Esther Greenwood dibesarkan secara Katolik di Boston dengan nilai-nilai yang masih tradisional, dimana perempuan diharapkan menikah dan punya banyak anak. 

Oleh karena itu, setelah lulus kuliah, perempuan seperti Esther diharapkan untuk segera menemukan suami dan bisa membangun keluarga. Perempuan diharapkan untuk mendedikasikan waktu dan hidupnya untuk keluarganya penuh waktu.

Nah, nilai-nilai inilah menurut pendapat saya yang menjadi 'trigger' akan krisis identitas yang dialami oleh Esther. Dia merasa berbeda dengan perempuan-perempuan pada umumnya. Dia merasa dia sangat jauh dari cita-cita itu dan bahkan sangat 'unmaternal'.

"How easy having babies seemed to the women around me! Why was I so unmaternal and apart? Why couldn't I dream of devoting myself to baby after fat puling baby like Dodo Conway?" (Hal. 213)

Di dalam masa depresinya, Esther menjalani perawatan di sanatorium untuk penyembuhan penyakit jiwa. Pada masa itu, terapi listrik sudah menjadi alternatif penyembuhan yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa. Esther juga beberapa kali berpikir untuk bunuh diri dan melakukannya meskipun gagal.

"If you were going to kill yourself, how you would do it?" (Hal. 150)

Esther bercita-cita untuk menjadi seorang penyair. Dia begitu mencintai puisi. Kecintaanya pada puisi begitu terasa di dalam buku ini. 

"I reckon a good poem lasts a whole lot longer than a hundred of those people put together." (Hal. 53)

The Bell Jar dianggap sebagai semi-autibiografinya Sylvia Plath. Melalui buku ini, dia mengkritik keadaan sosial-politik Amerika pada tahun 50-an, peran terbatas yang diberikan kepada perempuan, tapi juga di waktu yang sama menuntut banyak hal dari perempuan.

Akan tetapi, di akhir buku ini, Sylvia menuliskan bahwa Esther berhasil mengalahkan semua tantangan yang ia hadapi. Esther Greenwood menang melawan krisis identitas, gangguan mental, dan depresi yang ia alami. Esther diceritakan sudah siap untuk menjalani kehidupan yang baru setelah diizinkan keluar dari sanatorium.

*** 

Bagi saya pribadi, tulisan Sylvia Plath ini sangat mengena dan familiar dengan ide dan pemikiran saya mengenai perempuan dan isu kesehatan mental. Membaca Sylvia Plath membuat saya teringat juga dengan beberapa karya Virginia Woolf yang sudah saya baca.

Membahas perempuan dan lika-liku hidupnya memang tidak ada habisnya ya. Apalagi saya juga seorang perempuan. Membaca The Bell Jar ini memberikan saya inspirasi dan semangat mengenai perjuangan perempuan yang masih panjang dalam mendobrak nilai-nilai patriarki yang merugikan perempuan (juga laki-laki) dan juga mengenai isu kesehatan mental yang sangat ramai diperbincangkan dekade terakhir ini.

Semangat perjuangan perempuan ini dimulai dari ranah berpikir. Sylvia Plath melalui tokohnya yang bernama Esther Greenwood tidak henti-hentinya bertanya dan mengajukan pertanyaan mengenai nilai-nilai yang sudah mapan dipercayai oleh masyarakat pada umumnya. Esther juga kritis terhadap dirinya sendiri dan nilai-nilai yang dipercayai oleh keluarganya.

Satu kesan yang saya dapatkan juga adalah Esther begitu kesepian. Meskipun dia bekerja di majalah khusus perempuan, tidak menjamin dia bisa menemukan perempuan-perempuan yang memiliki pola pikir yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih punya banyak pe-er untuk mendukung perjuangan perempuan di belahan bumi manapun dengan berbagai macam isu dan kompleksitasnya.

Membaca buku ini seperti membaca cerita teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Kalau Sylvia Plath masih hidup, mungkin perbincangan ini masih akan berlanjut terus. :)

One of a kind, Sylvia Plath!






Komentar

Postingan Populer