28
Ide membuat tulisan mengenai pergantian usia ini sudah ada
jauh-jauh hari sebelum hari-H, tapi mau bagaimana lagi baru kesampaian hari
ini. Penyebabnya adalah situasi fisik yang kurang mendukung, kondisi emosi yang
sering naik – turun, dan tentunya rasa malas yang kadang-kadang lebih berkuasa.
Beberapa hari belakangan ini satu pertanyaan muncul dalam
benak saya “Apa yang membuat seorang individu menjadi manusia?” Saya sering
memikirkan pertanyaan itu dan kebanyakan tersesat dalam mencari jawabannya.
Hahah.. Membaca buku, mendengarkan musik, menonton film, dan berdiskusi panjang
lebar lewat telepon dengan Rima menjadi ragam kegiatan untuk mengalihkan
pikiran atau sebenarnya diam-diam menunggu jawaban.
Saya punya kecenderungan untuk menjadi sok filosofis.
Hahah.. Pergantian umur menjadi 28 bagi saya juga bermakna filosofis. Saya
bukan anak perempuan 17 tahun lagi. Atau saya bukan anak perempuan yang dulu
merasa hebat karena ikut Karate. Saya juga bukan lagi anak perempuan yang naksir
sama laki-laki pemetik gitar bass atau penabuh drum.
Satu yang pasti adalah saya tidak mau kembali ke masa-masa
umur masih 20, 22, atau 25. Saya agak malu sih sebenarnya, tapi saya cukup
bangga menjadi 28. Angka yang misterius. Angka yang membawa saya ke
dimensi-dimensi kehidupan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Tidak semua
dimensi itu penuh dengan unicorn, apalagi kisah cinta Cinderella.
Sejak pertama kali merayakan pertambahan umur bersama
anak-anak di Sumbawa tahun lalu, saya berpikir tidak ada salahnya melakukannya
lagi tahun ini. Jadilah saya merayakan angka 28 ini bersama adik-adik di
perpustakaan semesta-bahari di Jambi Anom, Lombok Utara.
Satu hal paling
menonjol dari perayaan ini adalah tidak ada rekan sebaya. Sudah tiga tahun
belakangan ini saya berkawan dengan anak-anak SD sederajat.
Saya masih ingat reaksi adik-adik di Kabupaten Sorong waktu
saya jawab pertanyaan mereka mengenai umur saya. Mereka kaget. Ya iyalah,
perbedaan umur kami hampir dua puluh tahun. Hahah.. Saya juga kaget, tapi ada
juga yang membesarkan hati saya dengan mangatakan kalau saya masih muda.
Di perayaan umur ke-27 tahun saya tahun lalu saya belajar untuk
jujur dengan diri sendiri dan merasa cukup dengan apa yang ada. Kalau tahun ini
saya diingatkan tentang kedirian yang adalah manusia. Manusia yang seperti apa
sih?
Di usia ini saya semakin yakin bahwa hidup bukanlah
perlombaan. Ketika banyak rekan seumuran maupun fenomena menikah muda terjadi,
saya bisa katakan bahwa menikah dalam masa-masa ini bukanlah bagian saya.
Saya tidak
merasa ketinggalan maupun tertinggal. Lagian memangnya kita sedang mengejar apa
sih?
Akan tetapi, walaupun tidak menikah sampai jangka waktu
tertentu, saya masih akan senang bertukar surat dengan calon ibu mertua saya.
Hehehe…
Menjadi 28 saya juga belajar untuk menerima diri ketika
sedang marah, kesal, kecewa, kalah, tertekan, stress, murung, dan malas. Bahwa
perasaan yang demikian bukan untuk disangkal, tapi diterima sekaligus ditemani.
Bagaimana caranya?
Bahwa saya tidak akan selalu menang. Kisah cinta tidak
sedramatis kisah Lizzie Bennet & Mr. Darcy. Saya terima saja itu.
Bahwa saya juga pasti akan bertemu manusia yang berniat
tidak baik, nakal, merendahkan martabat, dan membuat saya ingin melemparkan batu
ke wajahnya, saya terima saja.
Bahwa saya juga yang tidak mahir mendaki gunung, tidak mahir surfing, tidak mahir menyelam, tidak mahir menulis lagu, tidak mahir
berbisnis, tidak mahir melenggak-lenggok bak model Victoria’ Secret, saya
terima saja.
Bahwa saya belum punya kesempatan ke Nepal, India, negara
Skandinavia, Eropa Timur, dan Afrika, saya terima saja.
Bahwa saya yang bisanya sampai ke Puncak Harfat bukan ke
Harvard, saya terima saja.
Bahwa saya yang belum bisa berbahasa asing dengan lancar,
bahkan ingin belajar bahasa-bahasa yang klasik dan tua seperti Bahasa Latin dan
Ibrani, saya terima saja. Bahasa kalbu aja belum lulus. Heheh..
Bahwa ketika saya adalah satu-satunya yang berkaki pendek
dan paling lambat dalam grup menjelajah Rinjani kemarin, saya terima saja itu.
Waduhhh… kalau dilanjutin terus sepertinya tidak akan habis
ya! Hahah…
Saya tidak sedang meremehkan apalagi merendahkan diri saya
sendiri. Saya hanya sedang berpikir bahwa menjadi manusia itu bukan tentang
kemenangan, kebahagiaan, kesuksesan, keberhasilan menggapai cita-cita, dan
menjadi positif.
Saya hanya semakin senang menjadi diri saya yang manusia ini
ketika saya mengakui, menerima, bahkan sesekali terkekeh dengan daftar-daftar penerimaan saya di paragraf sebelumnya. Saya hanya merasa lebih manusia saja. Cocok tidak
pakai kata manusiawi?
Saya hanya merasa lebih manusiawi saja. Cocok gak kalimatnya?
Saya hanya merasa lebih manusiawi saja. Cocok gak kalimatnya?
Kelak kalau berumur panjang, ketika saya membaca tulisan ini
mudah-mudahan perspektif tentang manusia ini terus – menerus berkembang. Nanti saya berbagi lagi. :)
Selamat ulang tahun, Monik!
Selamat menjadi 28!
Lombok Utara, 31.10.2017
Komentar
Posting Komentar