Hello, Rinjani!


Sebenarnya saya bingung mau mulai darimana. Hmm.. disela-sela penyembuhan kaki yang masih on progres ini, saya memikirkan banyak hal tentang kita sejak minggu lalu, bahkan hampir sebulan lalu.

Seperti yang kamu ketahui dengan pasti bahwa saya bukan ‘Pecinta Gunung’, bukan juga ‘Penikmat Gunung’, dan juga bukan anak Pecinta Alam. Akan tetapi, ketika saya membaca cerita perjalanan seorang traveler yang menikmati Milky Way di Pelawangan Sembalun, saya kok merinding ya?

Saya tidak tahu Pelawangan Sembalun itu persisnya ada dimana. Saya juga tidak tahu kalau menuju Pelawangan Sembalun itu harus melewati jalan yang begitu panjang dan berliku, termasuk melalui dua Bukit Penyesalan itu.

Pos Pertama
Sejak saya merinding, entah bagaimana jalannya saya selalu saja menemukan nama Rinjani di beberapa kesempatan. Apakah ini pertanda? Pertanda bahwa saya akan bertamu ke rumahmu?

Saya masih menyimpan rencana itu di dalam hati. Mencoba membayangkan bagaimana wujudmu yang sebenarnya. Hasilnya nihil. Saya hanya berani menyebut namamu tanpa tahu bagaimana rupamu yang sesungguhnya.

Hingga tibalah waktu itu. Masa yang paling absurd dalam hidup saya, yaitu mendatangimu. Bukan hanya sampai di kaki saja, tapi kamu membawa saja melalui pos demi pos. 

Sebenarnya, saya cukup mampir di kakimu saja, mengingat saya tidak yakin dengan kemampuan saya yang serba pas-pas-an ini. Saya tidak punya bakat menjadi pendaki gunung. Jangankan gunung, jalan saja yang menanjak sekitar 300 meter napas saya sudah tinggal satu satu.
Gunung Rinjani terlihat dari pos pertama.
Saya tidak tahu persis apa yang akan saya alami dalam tiga hari dua malam itu. Saya hanya bermodalkan dua baju hangat, kaos kaki, dan beberapa jenis makanan kecil. Sungguh tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bule maupun sesama orang Indonesia yang saya temui di pos pertama itu.

Otot mereka kencang. Kaki mereka panjang. Sepatu mereka kuat. Tangan mereka kokoh. Ah… Apalah saya ini, hanya remah-remah kerupuk. Seperti tempe mendoan saja. Lembek. Saya curiga tas yang mereka bawa itu lebih berat dari berat badan saya. Tapi ya mereka baik-baik saja.

Tidak seperti saya, yang dibantu oleh dua orang tukang ojek yang baik hati, yaitu Pak Wina dan Kak Jan. Kamu pasti tertawa melihat bagaimana Pak Wina berjuang keras ketika membonceng saya dari pintu masuk menuju pos pertama. 

Ahh.. sempat juga kami membahas tentang perdamaian antar agama yang berbeda-beda di Lombok ini ketika pantat saya sudah miring setengah di atas motor. Ahh.. tidak usah kamu sembunyikan tawamu itu. Saya saja tertawa kok. :D

Kak Jan yang mengantarkan saya menuju pos ketiga dengan gratis. Keberadaan mereka mengurangi beban perjalanan saya. Saya sungguh beruntung!

Di grup itu saya orang Indonesia sendiri. Dengan kata lain saya lah yang paling lambat dan paling lemah. Kamu lihat sendiri kan bagaimana perjuangan saya menuju Pelawangan Sembalun? Ya ampunn… kalau bukan karena bintang-bintang dan Milky Way itu, saya mungkin sudah terguling-guling ke bawah. 

Tapi dingin banget ya di Pelawangan Sembalun. Menyaksikan matahari terbit sungguh hadiah yang luar biasa setelah pukul 9 malam kemarin saya baru tiba di atas. Rekan-rekan grup saya sudah pada ngorok.

Danau Segara Anak
Kamu tahu sendiri saya tidak menyesali perjalanan itu. Danau Segara Anak yang tersenyum pagi itu juga memberikan saya energi baru, walaupun saya tahu jalan masih panjang dan berat. 

Saya pikir keputusan saya untuk tidak ikut rombongan menuju puncak adalah keputusan yang sangat tepat ya?

Pertama, target saya memang tidak untuk sampai ke puncakmu. Ehh.. tunggu dulu deh, sebenarnya saya ngapain sih ke sana?

Menyapamu?
Berkenalan denganmu?
Menemukan diriku?

Kaki saya sudah mulai terasa sakit. Sepatu yang seadanya dan jalanan yang menurun menuju Danau Segara Anak sungguh membuat kaki saya semakin sakit. Rombongan grup saya bahkan sudah tiba satu jam sebelum saya tiba. Mereka sudah menikmati hot spring itu sampai puas. Padahal saya hanya beberapa menit saja karena harus melanjutkan perjalanan menuju Pelawangan Senaru.

Apakah kamu pernah menemukan saya mengeluh dengan keadaan saya ini?
Saya mungkin sempat kesal, tapi saya tidak menyesali kaki saya yang pendek dan tenaga saya yang tidak sekuat rekan bule saya yang walaupun tukang mengeluh ternyata punya tenaga kuda juga. Ya ampunn… Bagaimana kalau dia tidak mengeluh ya? Pasti bisa lari-lari menuju Pelawangan Senaru.

Kamu lihat sendiri, setiap tiga sampai lima langkah saya pasti istirahat. Ahh.. saya manfaatkan waktu duduk itu untuk mengamati dan mengagumimu dari jauh. Diam-diam saya memujimu. Dalam kelelahan saya terharu dengan keadaanmu saat itu. Bagaimana bisa kamu begitu anggun dan kokoh? Lain kali kamu harus menceramahi saya tentang itu ya!

The Porter!
Oiya, saya sangat terkejut sekaligus terheran-heran dengan para porter yang bisa mendaki dan menuruni lerengmu dengan begtu santainya sambil memikul barang bawaan yang begitu banyak itu. Darimana kekuatan mereka itu berasal?

Mereka sudah dibentuk begitu lama ya? Hingga lupa bahwa apa yang mereka lakukan itu sungguh hebat. Saya pasti setengah mati kalau melakukan apa yang mereka lakukan. Barang-barang itu akan saya buang saja lah. Iya.. salut untuk mereka deh!

Saya sangat berterima kasih kepadamu karena begitu ramah menyambut kedatangan kami. Walaupun saya yang terlemah, saya bisa juga menyelesaikannya sampai pintu Senaru. Saya sudah berjalan dalam kesakitan itu. Saya tidak tahu lagi kaki saya mau saya taruh kemana. Walaupun saya sempat menggerutu, kesal, bahkan marah, terima kasih karena kamu memakluminya.

Saya bahkan sempat iri dengan orang-orang yang bisa berjalan dengan kokoh dan baik meskipun sudah berhari-hari di gunung dan membawa tas sendiri pula. 

Akan tetapi, di atas semua kekesalan dan amarah itu, saya juga berbahagia karena banyak hal baik yang saya peroleh selama melakukan perjalanan ini. Terutama di bagian mengenali diri saya sendiri.

“So Monik, why did you do this?” meringis menahan kesakitan pertanyaan ini sering muncul di benak saya selama di perjalanan.

Sambil meringis tapi tersenyum ringan jawaban itu datang sendiri “to find me”. Kenapa begitu berat ya untuk menemukan diri sendiri?
Ngopi dulu! :)
Terima kasih, Rinjani! Utang saya bertamu ke rumahmu sudah saya lunasi ya. Sampai jumpa di pertemuan berikutnya.

Terima kasih sudah mengundang saya datang dan membantu saya menemukan diri saya yang belum saya pahami betul.

Uneg-uneg, gerutu, mimpi, dan doa yang saya ucapkan selama di sana, tolong simpan untuk saya ya. Biarkan itu menjadi rahasia di antara kita saja. :)


Desa Medana, 26.10.2017
Monik

Komentar

  1. rinjani trekking, salah satu pengalaman yang luar biasa bagi saya. susah dilupakan, terutama keindahannya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer