Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman: Saatnya LGBTQ Menjadi Tokoh Utama dalam Karya Sastra Indonesia

 

Alasan pertama saya memilih buku ini adalah karena judulnya. Alasan kedua karena merupakan pemenang sayembara novel DKJ. Saya sudah membaca beberapa novel yang ikut sayembara ini. Hampir semuanya memberikan sensasi berbeda di kepala saya. 

Ada yang memberikan pencerahan di waktu yang sama, tapi ada juga yang memberikan kebingungan, dan butuh waktu untuk menemukan jawabannya.

Di awal-awal saya membaca buku ini, saya merasa bahwa ada beberapa tokoh utama yang memiiki kisah yang berbeda. Mulai dari Rara Wilis yang berprofesi sebagai waria dan juga si penjual jamu bernama Pak Wo. 

Kisah kedua tokoh utama ini diselingi oleh kisah pewayangan Mahabarata, yang ternyata menjadi bagian penting dari kehidupan si tokoh utama dalam cerita. 

Baru kali ini saya merasa terkejut dengan plot dan gaya bercerita, seperti gaya si penulis buku ini.

Rara Wilis, seorang waria 'kelas atas' di kalangan para waria Simpang Lima, Semarang tidak pernah menyangka akan menjalani kisah hidup yang begitu tragis. Saat tahu bahwa tokoh utama dalam buku ini adalah seorang waria, saya semakin termotivasi untuk menyelesaikannya. 

Tokoh waria dalam karya sastra di Indonesia masih jarang memiliki tempat. Membicarakan waria berarti membicarakan hal tabu, sebab keberadaan mereka yang tidak diakui. Akan tetapi, saya juga berpikir bahwa keberadaan mereka yang tidak diakui ini justru berbanding terbalik dengan bahan becandaan yang sering dilontarkan oleh kaum heteroseksual. 

Kaum Waria menjadi bahaan guyonan untuk ditertawakan dan menghibur, tapi di waktu yang bersamaan tidak dianggap ada. Mereka dianggap melanggar norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Stigma negatif kaum waria memang sudah terlalu lama melekat dalam benak masyarakat. Mereka dianggap musuh, penjahat, pemangsa laki-laki, musuh perempuan, dan pengusik kehidupan. Tidak jarang mereka juga digadang-gadang menjadi penghuni neraka oleh mereka yang mengaku orang beragama.

Membaca kisah hidup Rara Wilis dari awal hingga akhir cerita, saya semakin yakin bahwa kisah ini adalah kisah seorang manusia, yang bisa saja dialami oleh perempuan atau laki-laki. Hal ini menandakan bahwa keberadaan waria bukan sesuatu yang buruk, mereka adalah manusia juga. Manusia yang memiliki pengalaman, cerita hidup, kesenangan, dan kesedihan layaknya manusia biasa.

Seorang waria yang menjadi tokoh utama dalam karya sastra seperti ini layak dijadikan contoh dan menjadi awal untuk menuliskan kisah orang-orang terpinggirkan selama ini di dalam karya sastra moderen. 

Tidak hanya waria, penulis-penulis karya sastra Indonesia juga sudah saatnya menempatkan tokoh trans gender, trans seksual, lesbian, atau gay menjadi tokoh utama dalam karya mereka. Om Mustafa sudah memulainya dengan buku ini. :)

Novel ini merupakan salah satu pemantik untuk karya sastra yang lebih inklusif dan menerima golongan manusia yang selama ini terpinggirkan dalam arus utama diskusi kepenulisan.

Selain cerita tentang tokoh utama, saya juga tertarik karena buku ini membahas tentang Ahmadiyah, salah satu aliran dalam agama Islam. Saya tertarik bukan karena saya seorang penganut Ahmadiyah, tapi karena topik ini merupakan topik yang sensitif bagi sebagian orang. Terlihat jelas di dalam cerita bagaimana golongan Ahmadiyah ini diperlakukan. Tidak jauh-jauh dari yang sering saya baca di berita.

Melalui tulisan ini, saya ingin menunjukkan dukungan saya bagi siapa saja yang ingin beragama atau beribadah sesuai dengan keyakinan mereka. Bukan tugas saya untuk menghakimi. Bukan tugas saya untuk membuat daftar orang yang layak masuk surga atau neraka. Bahkan, saya sendiri tidak yakin dengan keberadaan surga dan neraka itu sendiri. :)

Pesan terakhir saya setelah membaca buku ini adalah "Selamat menjadi manusia!" 

Manusia yang kamu bentuk sesuai dengan keinginan dan pengetahuanmu.


Selamat membaca novel ini ya!

Wajib banget untuk dibaca! :)


Ende, 29 September 2020

M

Komentar

Postingan Populer