Agamamu Apa?


Belakangan ini, beberapa orang baru yang saya kenal dan ajak bicara bertanya mengenai agama yang saya anut. Saya bingung dengan kenyataan itu. Sekaligus saya bingung harus menjawab apa. Kalau saya terlebih dulu menjelaskan pemikiran saya, tentu akan panjang dan membuat mereka bingung.

Herannya saya adalah dalam beberapa kejadian, saya mendapati mereka menjelaskan mengenai makna keberadaan Tuhan di dalam hidup mereka. Ada yang memang mengaku lemah tanpa Tuhan. Ada juga yang menceritakan pengalaman mereka ketika bersama dengan orang-orang yang mengaku atheis atau yang mereka gelari atheis.

Bukannya curhat atau tidak tahu diri, akan tetapi menjadikan topik agama menjadi bukan topik sensitif mungkin bisa meredam konflik antar manusia yang mengatasnamakan agama masing-masing. Darah tinggi tidak sih menyaksikan banyak manusia melakukan aksi kejahatan, kekerasan, dan pengkhianatan asas kemanusiaan dengan landasan agama yang mereka yakini?

Kembali ke cerita tadi. Mereka menjelaskan mengenai makna Ketuhanan di dalam hidup mereka. Mereka bercerita betapa memiliki Tuhan adalah sebuah anugerah. Begitulah yang saya tangkap dari penjelasan meraka yang panjang. Saya tentunya mendengarkan dengan baik dan berbudi.

Satu yang muncul di dalam benak saya waktu itu, perlukah kita menanyakan agama orang lain? mungkin beberapa orang mengatakan perlu sebagai bagian dari mengenal identitas. Mungkin sebagian lagi mengatakan tidak perlu, karena tidak penting. Mengetahui nama dan alamat mungkin cukup. Pekerjaan selanjutnya adalah mengidentifikasi sendiri informasi yang ingin kita dapatkan mengenai orang lain, termasuk soal keyakinan mereka. Tidak usah bertanya secara frontal, tapi melalui pengamatan mungkin bisa ditemukan jawabannya.

Saya tidak tahu entah karena beberapa orang disekitarku bingung atau malas, alhasil mereka menyanyakan agama saya secara frontal. Setiap ditanyai begitu, saya jadi geli sendiri. Dulu, ada orang baru saya kenal yang bisa mengidentifikasikan agama yang saya anut dulu. Sekarang, bisa dihitung yang bisa melakukannya. Mungkin karena malas mengidentifikasi kali ya.

Dan setiap ditanyai begitu, saya tidak bisa memberikan jawaban secara langsung. Pertama, kalau saya menjawab langsung dan memilih agama favorit tertentu, saya tidak mau meneguhkan stigma apapun di dalam pikiran mereka mengenai keyakinan saya. Entah itu semakin memperbaiki, atau malah memperburuk. Yang kedua, saya malas menjawab pertanyaan seperti itu.

Berbicara mengenai agama dan keyakinan, saya berpikir memang adalah ranah yang sangat pribadi. Menjadi ranah pribadi bukan berarti menjadi sensitif dan kemudian anarkis apabila disinggung. Akan tetapi, saya mengatakan sifatnya pribadi karena prosesnya berada di dalam batin. Dan kita tidak bisa menembus ranah itu. Hanya orang itu yang mengalaminya, yang menjalaninya.

Ketika orang tersebut bercerita mengenai pentingnya Tuhan di dalam hidup mereka, saya berpikir bahwa batin mereka telah berproses sedemikian rupa dengan pengalaman dan kejadian yang membuat mereka meyakini tentang sesuatu. Dan itu hanya mereka yang mengerti proses yang mereka alami dan telah mereka jalani. Dan ketika mereka memilih keyakinan tertentu, bukan tugas kita untuk meyakinkan mereka, apalagi membuat mereka ragu dengan pilihan tersebut.

Saya percaya setiap orang memiliki caranya sendiri. Dan Alam Semesta memiliki caranya sendiri untuk menampakkan wujud mereka kepada manusia. Tidak ada cara yang salah, tidak ada cara yang benar. Hanya begitu saja adanya.

Agama adalah bentukan manusia. Sebagai respon atas pengalaman “iman” yang mereka alami. Bukan berarti pengalaman “iman” yang dialami oleh semua umat manusia harus sama. Saya yakini itu pasti beragam dan banyak. Sehingga, banyak manusia mengekspresikan keyakinan mereka dengan cara yang berbeda.

Agama adalah label. Mungkin supaya bisa dikenali, kemudian dikotak-kotakkan. Dan kenapa kita harus dikotak-kotakkan? Memudahkan administrasi? Ah...Coba ya, tidak ada pembedaan manusia berdasarkan agama. Mungkinkah akan chaos? Mungkin juga tidak. Mungkin jenis perang juga akan berkurang. Tidak ada lagi perang agama.

Belakangan ini saya sering tertawa sendiri, ketika harus mengisi formulir yang menanyakan agama. Anehnya, pilihannya terbatas. Anehnya juga, saya tidak bisa mengosongkan pilihan tersebut.
***
Jakarta, 30 September 2012
Tengah Malam
M & M

Komentar

  1. woii ibuk, follow blogku juga yak :D
    http://meuthianiar.blogspot.com/

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer