Mungkin Sebaiknya Kita Lebih Sering Membicarakan tentang Kesehatan Mental

Apakah kamu pernah merasakan kehampaan di dalam hidupmu? Tiba-tiba kamu bertanya tentang apa yang sudah kamu lakukan selama ini. 

Atau bertanya tentang tujuan hidupmu yang sudah bertahun-tahun kamu lalui. Apakah hidup ini layak nutuk dijalani. Apakah memang ada makna dalam rutinitas sehari-hari yang nampaknya monoton saja. 

Lahir, sekolah, bekerja, berkeluarga, bekerja untuk menghidupi keluarga, menua, dan mati. Siklus hidup abadi. Kita tidak akan kemana-mana.

Kalau kamu memikirkan sebagian besar dari ide dan pertanyaan di atas, selamat!! Kamu tidak sendirian. Meskipun sesekali kamu merasa sendirian, tidak apa-apa. Banyak yang memikirkannya kok. Hanya saja lebih banyak yang memiliki sesuatu untuk dilakukan. Pekerjaan yang menghalau segala jenis pemikiran dan pertanyaan itu. Berat ya? Memang memikirkan ide-ide itu tidak pernah menyenangkan. Seolah-olah kamu dibawa ke dalam tabirin gelap dan dalam. Tidak ada jalan keluarnya. Tidak apa-apa.

Minggu ini saya menyelesaikan buku kedua dari seri "I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki" yang ditulis ole Baek Se Hee. Sama seperti seri pertamanya (yang juga sudah saya ulas), buku kedua ini merupakan lanjutan dari pengalaman dan perckapannya dalam sesi konseling bersama psikiaternya. Ulasan buku pertamanya bisa kalian baca di sini.

Oiya, saya juga menyadari belakangan ini banyaknya buku-buku yang berkaitan dengan kesehatan mental beredar di laman media sosial. Saya pikir topik ini memang harus lebih sering diperbincangkan. Dua tahun terakhir ini bukan tahun yang mudah bagi banyak orang di dunia ini. Termasuk saya sendiri.

Baek Se Hee membahas lebih dalam mengenai depresi yang ia alami di dalam buku kedua ini. Bahkan, dia sempat melukai dirinya sendiri dengan menyayat pergelangan tangannya dengan pisau. Melukai diri sendiri merupakan kelanjutan dari episode depresi yang mungkin telah kita ditemui, tapi kita tidak menyadarinya. Kita juga terlalu takut untuk membahasnya.

Saya pikir, si penulis cukup berani untuk terbuka mengenai depresi yang ia alami. Keinginannya untuk melukai diri sendiri bukan sesuatu yang ia harapkan terjadi, tapi dia tidak mampu membendung keinginan itu. Ia melemah, sama seperti kita semua. 

Akan ada saatnya kita tidak memiliki energi dan kekuatan untuk melawan 'dementor' yang terus-menerus menghisap kebahagiaan kita. Saya seperti bisa merasakan yang dirasakan oleh si penulis. Buku ini memang terasa dekat dengan pengalaman sendiri.

Hari-hari yang terasa hampa. Tidak memiliki tujuan dan makna hidup. Trauma masa lalu. Rasa rendah diri yang tidak berkesudahan. Membandingkan diri sendiri dengan kesuksesan orang lain, sampai keinginan untuk menyakiti diri sendiri.

Dimanapun kamu saat ini berada, bertahanlah! Apapun yang sedang kamu lakukan, bertahanlah! Kalau kamu merasa hampa, bertahanlah!

Mungkin cahaya kecil di ujung lorong gelap itu memang ada. Bertahanlah!

Mungkin hidup memang layak untuk dijalani.

Komentar

Postingan Populer