CINTA BISU
Namanya
Ara. Lengkapnya Ara Wiguna. Aku mengenalnya sejak pertama kali masuk SMA. Dan
kini kami satu kelas. Kami sama-sama di Kelas XII-IPS 1. Kelas yang terkenal
sebagai kelas berpenghuni paling malas dan sering melakukan kenakalan.
Bagaimana tidak, wali kelas kami bahkan sampai angkat tangan dengan muridnya
yang lebih sering menghuni Ruang BP dibandingkan ruang kelas. Masalahnya pun
banyak, mulai dari keterlambatan, seragam yang acak-adul, sampai membuat ulah
dengan SMA tetangga sebelah. Keadaan kelas kami semakin menguatkan citra anak
IPS yang terkenal pemalas dan suka membuat masalah.
Masalah
yang muncul bukan saja mengenai nama baik anak IPS, tapi juga ada masalah yang mungkin lebih penting di masa-masa
terakhir menjadi anak SMA, yaitu masalah perasaan. Kisah klasik saat SMA. Aku bermasalah dengan Ara. Cowok
yang aneh kelakuannya, tapi rajin menyapu. Kami memiliki masalah yang berbeda
dengan masalah yang sering menghadang penghuni kelas kami. Kami menyadari
masalah itu sudah ada sejak kami kelas dua. Kebetulan kami juga sekelas ketika
masih kelas dua.
Sesuatu
yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semuanya berkecamuk di dalam batin
dan hati kami. Hanya kami berdua yang mungkin menyadarinya. Bisa saja dia tidak
menyadarinya, atau aku yang belum menyadarinya. Akan tetapi, teman-teman
sekelas sudah menyadarinya terlebih dahulu. Terkadang aku kagum dengan kekuatan
sebuah kabar burung. Kekuatan yang memungkinkan berita begitu cepat menyebar,
padahal belum ada kejelasan sama sekali.
Begitulah
kami berdua. Menjalani masa-masa menjadi anak SMA dengan penuh pertanyaan dan
misteri. Tentang kebenaran perasaan kami. Maupun ketidakbenaran perasaan masing-masing.
Panggil
aku Nike. Banyak teman-teman saya yang memanggilku dengan sebutan Nike Ardilla.
Iya, aku sudah terbiasa dengan panggilan itu. Bagaimana tidak, wajahku memang
mirip dengan penyanyi tenar era 90-an itu. Ah, jangan sampai kisah tragisnya
menimpaku juga.
***
Pagi
itu hari Senin. Seperti biasanya kita harus mengikuti upacara penaikan bendera
di lapangan sekolah, yang merangkap sebagai lapangan berbagai kegiatan
murid-murid. Mulai dari lomba lari, main bola, sampai kejar-kejaran. Lapangan
sekolah ini pun menyimpang kenangan yang lumayan membekas. Di lapangan inilah
waktu itu saya melakukan perfomance
dalam bahasa Inggris dengan tujuan yang berbeda. Saat itu aku sedang naksir
dengan anak IPA 1, namanya Barry, tapi belakangan aku sadar kalau rasa suka
yang aku miliki bertepuk sebelah tangan.
Aku
berlari tergopoh-gopoh sampai ke gerbang utama sekolah. Teman-teman yang
mendapat giliran jaga gerbang hampir menghadang langkahku untuk masuk. Kalau
sampai berhasil dihadang oleh mereka yang bertampang sangar dan kejam, maka
tamatlah riwayat seharian itu. Bukan saja tidak akan ikut upacara, tapi akan
dipaksa membersihkan kamar mandi sekolahan maupun membersihkan taman dari
sampah-sampah. Kalau sudah begini, habislah semangat untuk belajar di kelas.
Karena sudah capek kerja bakti, jadinya malas belajar. Tidur menjadi pilihan.
Ara
ternyata sudah sampai duluan. Biasanya sebagai ketua kelas dia memang lebih
sering tiba duluan di kelas. Entah apa yang dia kerjakan. Terkadang
membersihkan taman kelas, bahkan kadang juga tidak melakukan apa-apa. Wajahnya
pagi itu masih sama seperti hari-hari kemarin. Cerah, bersih, dan sumringah.
Baunya juga enak dicium. Rasanya pengen ada di sebelahnya saja. Ah, aku hanya
bermimpi.
Setiap
kali berpapasan, kami selalu merasa canggung. Kami tidak tahu harus bersikap
seperti apa. Kami bahkan tidak yakin untuk membuat bahan pembicaraan yang
nyambung. Kecuali, saat masih kelas dua, kami masih bisa tertawa bersama. Kami
bahkan belajar bersama. Walaupun, lebih seringnya dia menjadikanku sebagai
objek saat dia mulai mengejekku dalam berbagai aspek. Hal aneh yang aku rasakan
saat kami masih kelas dua adalah, dia sering senewen dan ‘marah’ kalau aku
sedang jalan bersama dengan teman cowok. Biasanya dia akan bertingkah aneh, dan
tidak ada angin tidak ada hujan, aku pun sering dimarahi. Aneh sih. Tapi aku
hanya diam saja kalau begitu, karena dalam hati aku mengerti kenapa dia
bersikap demikian.
***
Sejak
itu sampai kami sama-sama berada di kelas tiga, tidak juga ada kejelasan
tentang apa yang sebenarnya kami rasakan. Aku bahkan tidak tahu dan tidak bisa
mengartikan gejolak yang ada di dalam hati. Bagiku terlalu dini untuk
mengartikannya sebagai cinta. Bagiku, cinta bukanlah sesuatu yang mudah dan
begitu saja bisa ditetapkan. Mungkin karena ini lah aku sangat sulit untuk
menyukai orang lain. Menyukai yang memang menyukai. Kalau kagum pernah, tapi
tidak dalam jangka waktu lama.
Ketika
ingin memulai hubungan dengan cowok lain, Ara selalu menjadi ganjalan di dalam
hatiku. Aku selalu memikirkannya, walaupun mungkin dia tidak pernah
memikirkanku. Eh, tunggu dulu. Dia mungkin pernah memikirkanku juga. Aku masih
ingat waktu kita study tour dan aku
mengalami pusing-pusing sampai muntah, dia siaga di depanku. Dari situ aku tahu
kalau dia ternyata memperhatikanku, walaupun tidak dengan cara yang
biasa-biasa.
Ara
memang cowok yang sulit menunjukkan perasaannya. Terkadang perhatian dia
tunjukkan dengan marah-marah. Walaupun lebih sering pusing karena kelakuannya,
namun jauh di dalam lubuk hatiku aku mengerti kenapa dia begitu. Akan tetapi,
tindakan dan sikap yang dia pilih tidak pernah menunjukkan makna yang
sebenarnya. Ara tidak pernah sekalipun berbicara. Padahal, aku butuh kejelasan
lewat kata-katanya tentang yang dia rasakan mengenai diriku, dirinya, dan kami
berdua. Benarkah kami sama-sama memiliki perasaan yang belum bisa dijelaskan
dengan kata? Atau haruskah perasaan yang sedang berkecamuk ini dijelaskan
dengan kata-kata?
Banyak
orang bilang kalau tindakan sudah berbicara banyak dibandingkan dengan omongan
lewat mulut. Tapi terkait perasaan yang kami miliki, aku berpikir bahwa
ternyata tindakan saja tidak cukup. Perasaan ini memerlukan omongan yang bisa
membuatnya menjadi sah. Perasaan yang membuat kami sama-sama yakin bahwa kami
memiliki perasaan khusus satu sama lain. Lama aku menunggu, belum juga ada
kejelasan. Sejak kelas dua aku sudah mulai mengaharapkannya. Mengharapkan kami
sama-sama mengakui perasaan kami. Tapi, jauh panggang dari api. Sepertinya
sangat sulit. Sepertinya, perjalanan masih sangat panjang.
Waktu
juga bergulir semakin cepat. Tidak terasa Ujian Nasional sudah berada di depan
mata. Salah satu yang aku ingin berjalan begitu lambat adalah kebersamaan kami.
Kebersamaan bersama dengan teman-teman sekelas, juga bersama dengan Ara. Selama
kelas tiga ini, kami justru semakin canggung. Kami lebih jarang mengobrol
santai. Kalaupun ada pembahasan, palingan berantem atau saling mengejek. Ara
semakin sering melakukan kesengajaan untuk membuatku marah. Sepertinya hanya
kemarahan dan kejengkelan ini lah ajang bagi kami untuk akhirnya punya alasan
untuk saling bicara.
Pernah
suatu kali dengan sengaja dia mengejek cowok yang sedang aku taksir. Ara
mengejeknya di depan teman-teman sekelas saat pelajaran hendak dimulai. Ara
mengejek seleraku aneh dan tidak jelas. Alhasil, karena tidak tahan aku
mengambil penghapus papan tulis dan mencorengi tangannya dengan tinta spidol
hitam .
Akan
tetapi, momen yang saat itu tidak aku sadari bahwa mungkin aku cemburu adalah
ketika Ara ditaksir oleh adik kelas kami. Menurut kabar burung, si adik kelas
itu sudah naksir Ara sejak SMP. Ah, begitu saja aku sudah langsung mati gaya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Menghalanginya atau membiarkannya
bersama dengan si adik kelas. Aku agak sedih dengan kabar itu. Saat itu, aku
berpikir bahwa perasaan kami memang hanya ilusi saja. Perasaan yang sesaat dan
kemudian hilang entah kemana. Aku tidak berdaya untuk menahannya karena aku
merasa tidak punya hak untuk melarangnya menerima cinta si adik kelas itu.
Kami
sama-sama tidak berdaya. Kebisuan Ara semakin membuatku sedih. Harapan hanya
tinggal menjadi harapan semu. Perasaan yang masih ingin menemukan jati dirinya
seketika itu hancur berkeping-keping. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Aku
juga tidak akan merusak kebahagiaan si adik kelas. Aku akan mundur. Aku tidak
akan mengatakan apa-apa kepada Ara, batinku.
Dari
kejadian itu aku mengerti dengan diriku sendiri. Aku memang bukan perempuan
yang akan memperjuangkan sesuatu yang memang layak untuk aku miliki. Dengan
kejadian seperti ini, aku lebih baik mundur saja. Aku memilih untuk pergi.
Berharap mereka bahagia. Berharap perasaanku cepat saja hilangnya. Tidak baik menyimpan perasaan kepada laki-laki yang sudah
bersama dengan perempuan lain. Saat itu, mereka memang belum jadian. Tapi,
mendengar penantian dan cinta si adik kelas, aku berpikir memang lebih baik
mereka bersama saja. Aku bukan apa-apa. Aku tidak mau menjadi batu sandungan
bagi hubungan orang lain. Aku akan mundur.
***
Seminggu
setelah Ujian Nasional berlangsung, aku mendengar kalau Ara dan si adik kelas
sudah jadian. Ara telah menerima cinta si adik kelas yang telah disimpannya
sejak lama. Kalau dibilang senang, aku tidak mau munafik dengan diriku sendiri.
Tapi, mungkin memang perasaan yang aku alami tentangnya tidaklah ada apa-apanya
selama ini. Kalau dibandingkan dengan perjuangan si adik kelas yang nampaknya
begitu tulus.
Sampai
sekarang Ara dan aku tidak pernah bicara soal perasaan kami sejak dulu. Mungkin
kami hanya sama-sama gengsi, atau memang tidak siap dengan kenyataan yang ada.
Efek yang mungkin akan ditimbulkan oleh pembicaraan lima menit. Iya, kalau ada
kesempatan untuk berbicara, kami mungkin hanya membutuhkan waktu lima menit
untuk melampiaskan perasaan yang masih bergejolak. Walaupun, saat ini
gejolaknya sudah berkurang. Mungkin benarlah kalau waktu, jarak dan kesabaran bisa turut membantu untuk memudahkan proses
melupakan kenangan tertentu, juga kenangan sedih.
Aku
hanya bisa berbicara dengan diriku sendiri tentang apa yang kurasakan. Setelah
sekitar tiga tahun terpisah jarak, agak mudah bagiku untuk mengakui perasaan
yang dulu sempat tersemai. Tidak tahu kalau Ara juga begitu. Nampaknya Ara juga
bahagia dengan hubungannya dengan si adik kelas. Selepas kami berpisah dan
sampai saat ini, mereka masih bersama. Sungguh mengharukan.
Adilkah
bagi si adik kelas apabila aku memaksakan diri untuk berbicara dengan Ara
tentang perasaanku terdahulu? Pasti tidak. Tidak akan pernah adil baginya.
Mungkin. Sesekali Ara hanya menghantui mimpiku di malam hari. Hanya di dalam
mimpi lah kami bisa berbicara dan saling tersenyum. Mungkin dengan begitu sudah
cukup rasanya.
Aku
pun tidak mau menyesali tentang sikap Ara yang juga tidak berbicara padaku soal
perasaan kami. Mungkin Ara juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan,
bahwa perasaan yang kami miliki adalah kesia-siaan. Tidak akan ada kejelasan,
maka tidak perlu dilanjutkan. Tidak perlu diperjelas dengan omongan lima menit.
Atau mungkin Ara juga merasakan bahwa sebaiknya dia mengatakan perasaannya
dulu, bisa saja kami masih bersama sampai saat ini. Tapi, jalan cerita yang
dipilih sudah jelas. Ara harus bersama dengan si adik kelas. Ara telah memilih
bersama dengan si adik kelas. Atau Ara memang harus bersama dengan si adik
kelas.
***
Kebisuan
kami telah membentuk kisah kasih SMA yang unik dan berbeda. Sebuah kisah yang
ternyata tidak harus berakhir bahagia. Bahwa perasaan yang bergejolak di dalam
batin, tidak harus menemukan pelabuhan yang dinanti. Cinta tidak harus berujung
pada kebersamaan. Terkadang cinta juga harus menerima jalan cerita yang sudah
disiapkan. Entah akan mengecewakan manusia, dan juga membahagiakan mereka yang
mengalaminya.
Cinta
bukan saja tentang saling memiliki, tapi juga tentang melepaskan. Melepaskan
sesuatu yang mungkin bukan menjadi kepunyaan kita. Mengembalikan kepunyaan
orang yang berhak memilikinya. Cinta bukan saja mengenai senyum kebahagiaan,
tapi juga mengenai tangisan kesedihan yang mengajari kita tentang makna
kehidupan. Mengajari kita akan makna cinta yang sebenarnya.
Mungkin
memang aku dan Ara tidak harus membicarakan perasaan kami terdahulu. Mungkin
jalan cerita yang terbaik memang demikian. Pastinya kita akan bahagia dengan
melihat kebahagiaan orang yang kita kasihi. Cinta juga berarti memberi. Memberi
diri untuk kebahagiaan orang lain, walaupun itu berarti kita harus merelakan
diri untuk mengalami duka sesaat, karena tidak ada pengorbanan yang sia-sia.
Mungkin kebisuan ini adalah pengorbanan, tapi mungkin juga
tidak. Tidak apa-apa. Biarlah kami sama-sama membisu. Sama seperti dulu kami
tidak perlu membicarakan perasaan kami. Biarlah hati kami yang mereka-reka.
Mungkin lebih baik kami diam saja. Mengenang perasaan yang telah mengajari
makna melepaskan, bukan memiliki. Mungkin begitulah adanya cinta. Cinta yang
tak bernama. Cinta yang lebih baik disimpan saja. Cintaku dan Ara. Mungkin saja
cinta ini memang yang tidak bisa berbicara. Cinta bisu.
Jogjakarta,
28 Maret 2012
21.09
Wib
M
& M
Komentar
Posting Komentar