Mulut dan Harimau
Melihat judul tulisan di atas, mungkin kita teringat dengan sebuah
pepatah yang sudah terkenal beberapa decade belakangan ini. kalau bagi saya,
pepatah itu sangat terkenal pada waktu saya di sekolah dasar. Pastinya di
pelajaran Bahasa Indonesia. “Mulutmu, Harimaumu” demikian bunyinya.
Alasan saya menulis bagian ini adalah saya penasaran untuk mencari
keterkaitan antara mulut dan harimau. Mengapa harimau?? Mengapa bukan singa
atau burung kakaktua?? Sebenarnya saya juga tidak mengetahuinya secara pasti.
Untuk mencari orang bijak yang mecetuskan pepatah ini saya pikir tidak mungkin
juga.
Mencoba memahami makna beberapa pepatah orang bijak menurut pengalaman
saya tidaklah mudah. Terkadang, harus dilakoni dan dialami dulu baru akan
mengerti makna dibalik kata-kata bijak tersebut. Akhirnya mengerti bahwa setiap
kalimat bijak itu bukan tanpa proses yang panjang dan melelahkan juga.
Kalau mengutip kalimat Dewi Lestari di dalam kumpulan cerita dan prosa
‘Filosofi Kopi’, dalam cerita yang berjudul ‘Mencari Herman’ (2004) Dee menuliskan
bahwa memang diperlukan pengalaman pahit untuk memformulasikan sebuah kalimat
bijak. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu
nikmatnya berenang-renang santai ke tepian. Lahirlah pepatah bijak yang berkata
‘Berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang di tepian. Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian.’
Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus tertimpa tangga lagi.
Kemudian, lahirlah pepatah bijak yang berkata ‘Sudah jatuh, tertimpa tangga
pula.’ Menggambarkan kesialan yang dialami secara tragis. Sudah capek-capek
datang, eh malah diomelin. Juga, Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak
setitik nila. Kita pasti tidak asing lagi dengan pepatah bijak yang berkata ‘Karena
nila setitik, rusak susu sebelanga.’ Yang artinya karena permasalahan
sepele yang dibesar-besarkan, semuanya menjadi hancur. Begitu pemaknaan saya
tentang pepatah tersebut. Bagaimana dengan anda??
Nah, bagaimana dengan pepatah bijak yang berkata ‘Mulutmu, Harimaumu.’??
Peristiwa seperti apakah yang melatarbelakangi munculnya pepatah bijak ini?
Apakah seorang manusia telah mengalami kesakitan karena digigit harimau?? Sakit
sekali karena harimau menggigit mulutnya. Apa yang dilakukan oleh manusia itu
sehingga harimau dengan beraninya menggigit mulutnya?? Apa dan bagaimana
pepatah itu akhirnya tercipta??
Kalau pengalaman yang saya alami sih, bukan digigit harimau secara
langsung. Jujur, saya belum pernah merasakan sakitnya digigit seekor harimau.
Sakit tidak ya?? (Mau mencoba??) Dan pastinya saya juga tidak mau mencari
perkara dengan harimau. Mengingat populasi mereka yang sudah semakin sedikit,
saya khawatir kalau saya cari perkara dengan mereka, maka mereka akan semakin
banyak yang dipenjara. Dengan kata lain, semakin sedikitlah mereka yang
berkeliaran. Oleh karena itu, semakin menipislah harapan hidup mereka untuk
berkembang biak.
Akan tetapi, pengalaman saya kali ini rasanya seperti digigit harimau.
Dan pengalaman kali ini berhubungan dengan mulut. Mungkin pengalaman seperti
inilah yang akhirnya melahirkan kalimat bijak tersebut. Dan akhirnya saya
menemukan keterkaitan antara mulut dengan harimau. Kali ini, pengalaman saya
tentang ‘Hati-hati menggunakan mulut’. Pengalaman ini masih segar dalam
ingatan saya. Lebih segar dari ikan yang baru ditangkap dari laut.
Bukan bermaksud serius atau mengejek, beberapa waktu yang lalu saya
menceritakan kembali cerita yang diceritakan oleh teman saya kepada teman saya
yang lain. Satu hal yang tidak saya perhatikan adalah kami masih berada di
tempat yang sama. Belum berjauhan. Rentang waktunya pun tidak kurang dari satu
jam saja. Dan hal yang paling membuat saya malu adalah dia mungkin mendengar
secara pasti bahwa saya sedang membicarakan dia. (I’m not a backstabber)
Tidak berapa lama, saya seperti ditimpa tangga di hadapan umum, saya
sangat malu. Saya ketahuan telah membicarakannya di belakang. Beberapa waktu
kemudian, saya merasakan sesuatu telah terjadi. Sesuatu telah berubah. Oh
no…aku ketahuan deh. Oh no..dia mendengarkan cerita saya tentangnya.
(Kill me, please!!)
Walaupun dia tidak menegor saya secara langsung, tapi saya dapat
merasakan sakit yang dia alami. Mungkin lebih sakit dari ketimpa tangga. Dan
jauh di dalam hati saya, saya juga merasakan sakit yang sangat dalam. Mungkin
lebih sakit daripada digigit harimau. Bahkan saat itu, saya lebih memilih untuk
digigit harimau daripada ketahuan membicarakan orang lain di belakang. Tapi,
sayangnya saya tidak menemukan seekor harimau pun untuk menggigit saya. Melalui
pengalaman itu, akhirnya saya mengerti betapa sakitnya digigit harimau. Betapa
sakitnya kalau ketahuan membicarakan orang lain di belakang.
Namun, bukan berarti juga kita mendapat legitimasi penuh untuk bisa
membicarakan bahkan menggosipkan orang lain di belakangnya. Karena tidak
ketahuan, bukan berarti kita bebas menjadi penggosip, apalagi menjadi seorang backstabber.
Saya sadar sekarang perilaku itu adalah perilaku buruk yang tidak perlu
dicontoh, apalagi dilakukan.
Walaupun digigit harimau juga sakit, tapi membicarakan orang lain di
belakang ternyata lebih sakit. Bukan hanya kita saja, coba deh kita bayangkan
perasaan mereka yang kita bicarakan itu. Bisa tidak kita juga merasakan
perasaan mereka?? Bagaimana sakit dan sebalnya kalau kita juga digosipkan di
belakang kita. Sakit banget. Sumpah.
Selamat untuk tidak menjadi Backstabber!!
Selamat untuk menggunakan mulut dengan hati-hati!!
Selamat juga untuk tetap menjaga harimau anda. Jangan sampai orang lain
kesakitan karena gigitan anda.
Selamat!!
Komentar
Posting Komentar