The Memory Police: Ketika Mengingat adalah Penderitaan

 

"Ingatanku tidak terasa seolah-olah ditarik sampai ke akar-akarnya. Walaupun ingatanku memudar, masih ada sesuatu yang tersisa. Seperti benih kecil yang mungkin akan tumbuh lagi apabila hujan turun. Dan jika ada ingatan yang menghilang seluruhnya, masih ada yang tersisa di dalam hati. Seberkas getaran atau rasa sakit, sepercik kebahagiaan, setetes air mata."

Lebih menderita mana ya, mengingat atau melupakan? Saya pernah terpikirkan mengenai mengingat dan melupakan ini. 

Manakah yang lebih baik, mengingat semua kenangan buruk sepanjang hayat atau melupakannya tanpa jejak?

Di sebuah pulau kecil di Jepang, sebuah pemerintahan otoriter mempekerjakan polisi kenangan untuk menangkap penduduknya yang selalu mengingat.

Rezim itu menghapus kenangan penduduknya akan benda-benda yang tadinya menjadi bagian kehidupan mereka sehari-hari. Apabila rezim telah menghilangkan suatu benda, maka pada hari itu penduduk akan secara perlahan-lahan melupakan semua kenangan yang berkaitan dengan benda tersebut. 

Misalnya, pada hari itu mereka menghilangkan kata 'novel'. Maka, warga yang mudah melupakan akan membakar semua novel yang ada di rumah mereka. Ingatan tentang novel itu juga akan menghilang secara perlahan dari ingatan mereka. Beberapa waktu kemudian mereka tidak akan mengenal atau mengingat tentang novel itu.

Adalah seorang perempuan muda yang dibantu oleh seorang bapak tua yang menjalani hari-hari penuh dengan kegelisahan itu. Entah apa lagi yang akan hilang besok? Perempuan muda yang adalah seorang penulis ini berjuang untuk bisa tetap menulis ceritanya ketika rezim telah menghilangkan ingatan akan novel.

Editor si perempuan itu adalah salah satu orang yang tidak mampu melupakan. Sebanyak apapun benda dan ingatan dihapus, tetap saja ia mengingatnya dengan jelas. Dia menjadi salah satu incaran dari Polisi Kenangan.

Polisi Kenangan ini menangkap dengan paksa orang-orang yang diduga tidak mampu melupakan. Mereka bahkan membuat markas baru untuk meneliti gen orang-orang yang selalu mengingat. Orang-orang yang mengingat ini adalah ancaman terbesar bagi rezim otoriter.

Si perempuan muda dan bapak tua membantu si editor untuk bersembunyi di rumah aman. Selama berbulan-bulan ia tinggal di kamar rahasia yang sempit di rumah perempuan itu. 

"Kita sudah berhasil menghadapi berbagai kehilangan di masa lalu, tetapi tidak seorang pun benar-benar menderita karenanya dan tidak seorang pun terlihat peduli. Aku yakin kita bisa mengatasi kehilangan selanjutnya."

Si editor tetap membantu si perempuan dan bapak tua untuk mengingat benda-benda yang sudah dihilangkan. Akan tetapi, usaha itu berujung sia-sia. Tidak ada gunanya mengingat sebab hati dan ingatan kami tidak tergerak olehnya. Tetap saja kosong.

Hingga akhirnya semua yang tidak bisa mengingat kehilangan diri mereka sendiri. Mulai dari kehilangan kaki kanan hingga suara mereka. Perlahan-lahan mereka semua menghilang karena tidak memiliki kenangan lagi tentang tubuh mereka. Semua sudah dihapus.

Buku ini merupakan buku pertama karya Yoko Ogawa yang saya baca. Awalnya saya tertarik dengan buku ini karena judulnya. Penasaran dengan bagaimana ide tentang cerita ini bisa muncul. Ingatan yang justru bisa membahayakan diri sendiri. Terancam ditangkap dan dihilangkan.

Kalau mengingat bisa membuat penderitaan tidak kunjung selesai, apakah masih perlu untuk mengingat?

Apakah penderitaan-penderitaan yang kita alami karena mengingat layak diterima dengan lapang dada?

Ah... Mungkin ini salah satu pil pahit yang harus ditelan saat mengingat kembali kenapa kita menjadi manusia. Mungkin.


Selamat Membaca ya!


Toba, Sept 21

M

Komentar

Postingan Populer