Diary Menjijikkan
Baru-baru ini, saya bersama
dengan teman saya Unce (begitu ia biasa
dipanggil) sedang membahas mengenai masa lalu. Kita sedang membahas
mengenai keadaan psikologis kita saat masa remaja dan tentunya labil. Kami berfokus
kepada barang utama yang pasti dimiliki oleh anak remaja seusia kami saat itu. Anda
tentu mengetahuinya. Anda pasti memilikinya di jaman dulu, dan tiba-tiba
sekarang Anda selalu melakukan penolakan secara pribadi ketika membaca
tulisan-tulisan Anda di masa lampau.
Yup! Barang yang saya maksudkan
adalah buku diary. Siapa yang tidak punya buku diary di saat remaja? Dengan berbagai
bentuk dan warna, bahkan ada yang memiliki gembok dan kunci. Hahaha.. saya
sempat memiliki satu. Meskipun ada kunci dan gemboknya, tidak mengurungkan niat
orang-orang jahil untuk membongkar dan membaca isinya.
Aneh rasanya, apabila ada yang melewatkan masa
remaja tanpa sempat menuliskan sepatah kata tentang pengalaman. Buku diary pun
tidak harus mahal dan bagus. Cerita-cerita itu bisa ditulis di mana saja. Nah,
kali ini saya ingin bercerita mengenai kekonyolan dan kebodohan di masa remaja
saya melalui tulisan-tulisan saya di buku diary.
Sampai sekarang, saya masih
menyimpan buku diary-diary saya yang telah saya selamatkan dari pembinasaan di masa
lampau. Mereka masih dalam keadaan damai sampai saat ini. Di masa-masa
tertentu, entah karena ingin mengulang masa lalu, saya sering membuka mereka
dan membaca isinya. Tulisan-tulisan saya yang sudah menjelma menjadi kenangan
yang tidak akan terlupakan.
Yang paling menarik dari adegan membaca tulisan
masa lampau itu adalah saya sering menertawakan diri saya sendiri sekaligus
melakukan penolakan secara pribadi (misalnya
dengan berkata “itu bukan saya”, “bukan saya yang menulisnya”, atau “bego
banget sih nih orang!”).
Dan jenis tulisan yang paling
sering mendapatkan penolakan itu adalah tulisan mengenai romansa-romansa remaja
yang jelas-jelas ababil itu. Walaupun sekarang saya juga masih ababil, tapi
menyaksikan kekonyolan dan kebodohan saya pada masa itu saya sendiri tidak
pernah menyangka bahwa saya sempat melewatkan pengalaman-pengalaman konyol itu.
Tulisan-tulisan itu berkisar pada
tema tentang naksir laki-laki, cemburu dengan teman perempuan (tetap saja seputaran laki-laki yang sedang mendekati
mereka), merasa dikhianati sahabat (dengan
ketahuan menggosip di belakang dan merebut gebetan), dan juga tentang perebutan
ranking dan popularitas. Hufftt!! Ternyata persoalan di masa itu begitu ribet
juga ya?
Nah, yang saya dan Unce bicarakan
adalah mengenai kepolosan dan kebodohan kami pada masa remaja itu. Pada masa
naksir dengan lawan jenis yang bernama laki-laki. Saya berpendapat bahwa ketika
remaja kami begitu mudah untuk mengucapkan kata cinta, sayang, tulus, jodoh,
dan bahagia. Seolah-olah kami sudah mengerti betul arti cinta dan kebahagiaan. Di
hampir semua tulisan mengenai romansa-romansa itu, kata-kata yang ditemukan
tidak akan jauh-jauh dari yang sudah disebutkan tadi.
Saya dan Unce sepakat bahwa
ketika remaja itu, kami justru terlihat begitu dewasa mengenai cinta dengan
kebahagiaan. Bisa dengan tulus merelakan kebahagiaan laki-laki yang sedang
ditaksir ketika mereka justru bersama dengan perempuan lain. Sangat konyol
sekali.
“Kalau dia bahagia, aku juga bahagia” menjadi sebentuk tenggang
rasa yang berlebihan menurut pandangan saya kini. Tau apa kami soal bahagia dan kebahagiaan orang lain? Saya dan Unce
tidak berhenti menertawakan kekonyolan ini. Kami merasa begitu bodoh. Bodoh.
Sembari menertawakan kekonyolan
masa muda itu, saya berpikir mengenai sesuatu. Saya berpendapat bahwa di usia remaja atau lebih muda lagi, justru
saat dimana kami merasa mudah untuk mengucapkan cinta, tulus, jodoh, dan
kebahagiaan. Terlihat bodoh dan
konyol, tapi di saat itulah kata-kata berbau cinta itu diucapkan tanpa intensi
dan pretensi.
Sungguh berbeda dengan sekarang. Di
usia 23 tahun ini, saya justru sering skeptis bahkan apatis dengan kata cinta (dalam hal ini cinta lawan jenis maupun
cinta-cinta yang lainnya) yang menurut saya sudah dinodai dengan
nafsu-nafsu dan kepura-puraan. Ketika di
masa remaja saya dengan mudahnya mengatakan cinta kepada seseorang, sekarang
saya lebih sering bertanya tentang apa cinta itu sebenarnya. Hampir berlagak
seperti seorang filsuf. Apa itu cinta?
Walaupun sering melakukan
penolakan diri sendiri tentang kebodohan dan kekonyolan itu, sekarang saya
mengerti betapa masa-masa itu adalah masa
yang sangat tepat untuk membicarakan mengenai cinta tanpa pretensi dan intensi
yang berlebihan. Sepertinya memang tulus dan jujur. Lebih-lebih malah
terlalu polos.
Membicarakan mengenai diary
menjijikkan ini, saya kembali berpikir apakah saya akan menemukan saat yang
tepat untuk bisa membicarakan cinta dengan tulus tanpa nafsu-nafsu itu? Ketika berbicara
cinta, kita hanya berpikir tentang cinta bukan segala efek dan konsekuensi,
maupun kegetiran yang mungkin akan dihadapi di masa mendatang.
Melakukan penolakan tentang
tulisan-tulisan menjijikkan itu membuat saya rindu tentang masa-masa itu. Rindu
naksir dengan lawan jenis dengan segala pengalaman manis yang mengikuti. Rindu menuliskan
cinta-cintaan yang begitu sederhana dan polos. Hahaha...
Apakah semakin kesini, pikiran
manusia semakin kompleks dan ribet? Seringnya mengajukan pertanyaan untuk
menjawab keraguan karena dunia sudah diselimuti oleh nafsu dan pretensi yang
hanya ingin menguntungkan diri sendiri dan memuaskan hasrat pribadi.
Gambar di unduh dari www.buku-agenda.com |
Di berbagai kesempatan yang kami
miliki, saya dan Unce masih sering membicarakan mengenai kekonyolan dan
kebodohan itu. Sembari mengingatkan kami tentang masa-masa yang polos dan jujur
itu, dan sesekali menambah semangat.
Saat bernostalgia dan menertawakan diri sendiri. 05 Maret 2013
19.43 Wib
M & M
memang ya kalo baca diary jaman dulu, rasanya pengen ketawa tp di sisi lain pengen juga sobek sobek itu halaman.. tapi itu sejarah hidup kita yg ga mungkin terulang krn umur kodratnya akan selalu bertambah:))
BalasHapushahaha... bener. itu semua adalah fakta sejarah yg gak bs diubah jg. :)
BalasHapus