Pengakuan si Eks Parasit Lajang
Tepat pada tanggal 14 Februari
lalu, Ayu Utami meluncurkan 2 buah buku karyanya sekaligus. Salah satu
merupakan cetak ulang dengan judul “Parasit Lajang” yang telah
diterbitkan sepuluh tahun yang lalu oleh Gagas Media. Sedangkan buku berikutnya
berjudul “Pengakuan Eks Parasit Lajang”. Buku ini merupakan lanjutan dari
buku sebelumnya, dan menjadi bagian dari trilogi bersama buku lain yang
berjudul “Cerita Cinta Enrico”.
Gambar 1. Buku "Pengakuan Eks Parasit Lajang" |
Kali ini, saya ingin membahas buku “Pengakuan Eks Parasit Lajang” saja. Buku ini menjadi semacam otobiografi Ayu mengenai pemikiran dan prinsip yang dipegang teguh olehnya. Walaupun saat melihat buku tersebut adalah otobiografi beliau, saya sedikit terkejut.
Saya berpikir, apabila seorang
penulis menuliskan buku tentang dirinya sendiri dan wilayah pribadinya,
meskipun mungkin akan di baca, dan memberikan dampak bagi orang banyak,
merupakan titik dimana si penulis akan menemukan masa untuk beristirahat dari
kepenulisan. Semoga saya salah. Iya, semoga salah.
Dalam “Pengakuan Eks Parasit
Lajang” ini, Ayu bercerita mengenai alasan beliau memilih secara sadar untuk
tidak menikah dan tidak memiliki anak. Selain itu, Ayu juga bercerita mengenai
pemikirannya tentang ketidakadilan yang kerap dialami oleh kaum perempuan, baik
dari segi hukum, agama, dan budaya masyarakat.
Sejak mengalami akhil balik
(sekitar umur 20-an) Ayu memutuskan untuk melepaskan masa keperawanannya dan
memutuskan untuk tidak menikah. Hal ini beliau lakukan sebagai bentuk
perlawanan terhadap pola pikir masyarakat yang begitu memuja keperawanan
perempuan, yang justru berdampak pada ketidakadilan, bahkan penindasan kepada
perempuan. Betapa perempuan telah menjadi objek oleh rezim patriarkal yang
menempatkan perempuan sebagai subordinat, rendah, lemah, dan rapuh.
Hal ini juga berkaitan dengan
stigma yang diberikan kepada perempuan yang tidak maupun yang belum menikah
ketika usia mereka dianggap sudah pantas untuk berkeluarga. Cap sebagai perawan
tua menjadi momok dan penyakit bagi mereka. Tidak jarang mereka dikucilkan dan
disepelekan hanya karena belum menikah. Tentu tidak dikenakan kepada para Biarawati,
sebab tidak menikah bagi mereka adalah kewajiban.
Maka tidak jarang kita menemukan
perawan tua yang membentengi diri mereka dengan kebencian, kemarahan, dan
kejudesan. Bisa jadi ini akibat dari penilaian rendah yang telah mereka terima
dari masyarakat dan diri mereka sendiri.
Melalui buku ini, Ayu ingin
bercerita dan berbagi pengalaman mengenai keputusannya untuk tidak menikah dan
melepaskan keperawanannya ketika berumur 20 tahun. Walaupun akhirnya Ayu
menikah secara agama Katolik dengan kekasihnya setelah mereka hidup bersama
selama sepuluh tahun. Lebih tepatnya, Ayu menikah secara kanonik Katolik, karena dalam kitabnya tidak ada tertulis
bahwa suami harus menjadi imam dan pemimpin. Ayu tidak setuju bahwa suami
harus menjadi imam maupun pemimpin isteri/keluarga.
Menikah bukanlah keharusan, tapi mungkin kebutuhan. Menikah hanya bagi
mereka yang membutuhkan.
Tentu ini bisa menjadi alternatif
kita dalam berpikir dan mengambil keputusan. Termasuk keputusan untuk menikah
dan tidak menikah. Dan yang kita butuhkan adalah kesadaran, bukan paksaan.
Kesadaran akan pilihan yang mungkin akan dipilih, bukan paksaan untuk memilih
sesuatu karena banyak dipilih oleh orang lain.
Di dalam bukunya kali ini, Ayu
juga berkisah mengenai hubungannya dengan beberapa lelaki. Lelaki yang beliau
pandang sebagai manusia. Mengenai hubungannya dengan beberapa
lelaki sebagai hubungan antar sesama manusia. Apabila memaknai hubungan hanya
sebatas lelaki dan perempuan, tentu salah satu akan menjadikan yang lain
sebagai objek. Dan hubungan semacam ini dipandang tidak sehat.
Buku ini bisa di baca oleh
siapapun, baik laki-laki maupun perempuan yang ingin menemukan alternatif
berpikir mengenai kehidupan lajang atau menikah. Mungkin yang abadi adalah
ketika kita selalu berusaha untuk mencari alternatif berpikir. Dan lagi-lagi
kita hanya membutuhkan kesadaran, bukan pemaksaan.
Buku ini juga bisa menjadi
semacam penyegar bagi mereka yang selama ini mungkin telah terzalimi maupun
yang hobi menzalimi pihak-pihak yang belum menikah atau memilih untuk tidak
menikah, apapun alasannya. Menikah adalah kebutuhan. Jadi, pernikahan adalah
bagi mereka yang membutuhkan saja. Biarlah
mereka menemukan sendiri cara dan jalan untuk menemukan pilihan itu.
Mungkin akan banyak tudingan
maupun pertentangan mengenai isi buku ini, karena mungkin dianggap tidak sesuai
dengan budaya ketimur-an kita bangsa Indonesia. Tapi, lagi-lagi demi menjunjung
tinggi asas kemanusiaan, siapa saja berhak untuk memiliki alternatif berpikir
di luar dogma-dogma yang telah dipegang teguh, bahkan yang secara sadar telah
digunakan sebagai alat untuk melancarkan kekuasaan dan menindas.
Di satu titik, pernikahan Ayu
bisa menjadi bentuk pengkhianatan kepada prinsip yang beliau pegang teguh
selama ini. Bisa juga menjadi bentuk pengkhianatan bagi mereka yang menjadikan
Ayu Utami menjadi salah satu figur yang menjadi contoh nyata bahwa tidak
menikah adalah pilihan yang realistis, meskipun kadang di dorong oleh alasan
yang irasional.
Tapi, apapun bisa berubah. Ayu
yang mungkin dalam puluhan tahun hidupnya memutuskan untuk tidak menikah, pada
akhirnya menikah juga walaupun dengan alasan yang khusus dan spesifik menjadi
salah satu bukti bahwa hidup tidak pernah bisa diduga, apalagi ditebak. Hidup
menyediakan alternatif bagi Ayu untuk kemudian menikah.
Maka, ketika Ayu pun kemudian
menikah dengan berbagai syarat dan ketentuan, tidak lepas dari apapun yang saat
itu sedang bergejolak di dalam dirinya.
Tentu sangat tidak adil ketika
kita pun mencibir keputusannya untuk menikah, setelah puluhan tahun memutuskan
untuk tidak menikah. Bagaimanapun, bisa jadi Ayu tidak berdaya akan dorongan
dan konspirasi yang mendorong beliau untuk menikah.
Setidaknya, Ayu menikah dengan
penuh kesadaran. Bukan karena paksaan. Ayu menikah bukan karena malu dituduh
sebagai perawan tua. Atau muak karena selalu ditanya kapan akan menikah.
Mungkin.
masihberpikirberattentangpernikahan. Jakarta, 17 Februari 2013
22.59 Wib
M & M
Masasih Mba Ayu menikah?
BalasHapuskalau menurut cerita beliau di dalam buku sih sudah menikah.
BalasHapus