Tour de Batavia


Bagian 6

Di malam itu, kami memutuskan untuk berjabat tangan saja. Tentu tetap bercipika-cipiki dengan Tie. Nampaknya, Bastian sudah mendengar cerita itu. Terbukti, keesokan harinya saat menjemput mereka, kami sudah berjabat tangan dengan nyaman dan tentram. Fiuhhh...

Di hari yang cerah itu, di hari ke-empat ini, kami bergegas menuju Sunda Kelapa. Di sinilah pertama kalinya Gubernur VOC J.P. Coen mendaratkan kaki di Bumi Batavia. Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan yang khusus bagi kapal-kapal Pinisi saja. sebelum mengambil gambar di pelabuhan, kami terlebih dahulu mengambil gambar di Museum Bahari yang tidak jauh dari pelabuhan.
Gambar 1. Suasana di Pelabuhan Sunda Kelapa. Beberapa awak kapal terlihat sedang santai

Kesan pertama saya ketika tiba di Sunda Kelapa adalah bahwa lokasi ini merupakan representasi sejati Kota Batavia, Jakarta yang kita kenal kini. Pelabuhan dipenuhi dengan kapal-kapal pinisi beserta dengan kesibukan para awak kapal. Ada juga yang duduk di tepian kapal sambil bercengkrama dengan sesama awak. Saya mencoba untuk naik ke atas kapal pinisi dan merasakan sensasi berada di atasnya. Walaupun saya sudah pernah naik kapal, tapi sensasi kali ini berbeda.

Gambar 2. Kapal-kapal sedang bersandar menunggu matahari terbit membawa kesibukan

Saya seperti tidak sedang berada di Jakarta. Pelabuhan Sunda Kelapa ini sepertinya begitu jauh dari modernisme yang menjalar di Jakarta. Pelabuhan ini seperti seorang nenek tua yang tetap berdiri kokoh di tengah hamparan metropolitan Jakarta.

Tapi bagaimanapun, Sunda Kelapa adalah Jakarta. Jakarta adalah Sunda Kelapa. Begitu juga yang saya rasakan ketika bertemu dengan beberapa awak kapal yang begitu ramah, mereka seperti orang asing, atau saya menjadi orang asing bagi mereka. Apakah mereka juga diperanakkan oleh kemodernan Jakarta?

Di sekitar Museum Bahari yang gaya arsitekturnya sangat Belanda banget, kami juga menemukan kawasan yang tidak jauh dari lokasi itu penuh dengan lautan sampah dan limbah kimiawi. Pasar tradisional yang padat, sampah bertebaran, banjir di kala hujan, dan walaupun demikian kita masih akan menemukan anak-anak yang bermain dengan gembira.

Di Pelabuhan Sunda Kelapa dan Museum Bahari ini saya menemukan sebuah paradoks Kota Jakarta yang begitu nyata. Sungguh nyata. Juga tentang paradoks keindonesiaan.

Bagian 7

Keesokan harinya kami bergegas ke Kota Tua lagi. Kami akan mengambil gambar di Cafe Batavia dan bangunan yang kami lewatkan di hari sebelumnya, seperti Museum Wayang (yang ternyata sudah tutup karena kita terlambat), Museum Bank Indonesia, dan Kali Besar (dan sampah-sampahnya). Sebelum ke Kota Tua kami mampir di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di sekitar Jalan Ampera Raya.

Saat kami tiba di lokasi, kami menemukan beberapa puluh pelajar yang saya duga masih SMP sedang berkumpul di halaman parkir gedung itu. Sepertinya mereka sedang melakukan pelajaran tambahan ke gedung ini. Semoga mereka tertarik dengan pelajaran sejarah yang menurut beberapa orang membosankan. Saya senang dengan pelajaran sejarah.

Kejadian lucu pun dimulai. Ketika mereka melihat rombongan Tie, Eugene, dan Bastian, mereka tidak sungkan untuk meminta foto bersama dengan teman-teman bule itu. Mereka terlihat antusias untuk berfoto bersama dengan Eugene dan Bastian. Mereka sungguh menikmati kelucuan ini. Walaupuan Bastian sedikit menggerutu dengan kehebohan itu.

Sebenarnya saya sedikit berpikir mengenai peristiwa tersebut. Saya berpikir apakah saya akan seperti mereka ketika bertemu Eugene dan Bastian. Maksudnya, apabila saya berada di posisi pelajar SMP itu, apakah saya akan dengan heboh meminta foto bersama dengan Eugene dan Bastian. Hahah.. mungkin saja, walaupun akan jaim sedikit. Sok cool bahkan.

Adakah anak muda Indonesia sekarang menyukai Sejarah?

Apakah anak muda Indonesia sekarang memiliki beban sejarah keindonesiaan yang selama berabad-abad lamanya berada di bawah jajahan bangsa asing. Adakah anak muda Indonesia tertarik untuk belajar dan memaknai kembali mengenai sejarah bangsa Indonesia?
(Maaf, mungkin saya hanya sedang beretorika)

Setelah melakukan wawancara dengan seorang sejarawan di ANRI, kami segera menuju Kota Tua. Kami memasuki Batavia abad ke-19 di dalam Cafe Batavia. Pemandangan di dalam cafe itu akan mengingatkan kita dengan fillm klasik “Casablanca”. Suasana dengan berbagai macam foto-foto jadul, panggung mini untuk menyanyi, dan deretan minuman di meja bartender. Sungguh klasik.
Gambar 3. Suasana ruangan di lantai 2 Cafe Batavia 

Saya yakin saya akan betah berlama-lama di dalam kafe ini. Walaupun tidak sanggup membeli minumannya karena terlalu mahal, tapi menikmati suasana kafe, duduk di kursi dan menikmati pemandangan di luar dari jendela di lantai dua tidak ada duanya. Saya sangat terkesan. Terlepas bangsa saya dijajah adalah fakta sejarah.
(Bersambung)

*** 

Komentar

Postingan Populer