Tour de Batavia
Bagian 4
Setelah sehari
sebelumnya sudah istirahat cukup, bahkan berlebihan, pagi hari di hari ketiga
ini, energi sudah lumayan terkumpul banyak. Stok cerita juga banyak untuk
dibicarakan selama di mobil bersama dengan tiga orang teman Belanda ini.
Di hari ketiga
ini, kami mengambil gambar di Gedung Arsip Nasional yang terletak di daerah
Gajah Mada, Jakarta Pusat. Seharian penuh kami berada di rumah yang sangat luas
ini. Kemungkinan rumah ini hanya ditempati oleh satu keluarga Belanda pada
zaman dulu. Berikut dengan lapangan rumput hijau di belakang, dan deretan
ruangan yang bersusun dan bertingkat dua. Wah, sungguh luar biasa pemandangan
ini.
Gedung Arsip
Nasional ini memang terlihat antik. Dari tampilan depan saja, kita akan
merasakan nuansa Batavia pada abad ke-19. Gedung ini masih berdiri megah dan
kokoh. Menjadi lambang peradaban, sekaligus penjajahan selama kurang lebh tiga
abad oleh Belanda.
Setelah
memasuki gedung tua itu, kami semakin terbawa suasana di dalam. Sementara saya
sibuk menerjemahkan instruksi dari Tie kepada sang kameramen, saya juga mengambil
celah untuk merasakan roh di dalam bangunan ini. Sungguh tua, tapi tetap
anggun. Begitulah kesan saya.
Nampak ruangan
utama gedung ini dibagi menjadi beberapa ruangan. Ada ruangan yang berisi
seperangkat meja dan kursi. Mungkin dulu digunakan sebagai tempat mengadakan
pertemuan atau rapat. Apabila kita melangkah terus maju, di sebelah kanan
sebelum masuk ruangan lain, kita akan menemukan seperangkat lemari besi yang
terbagi menjadi beberapa kotak besi (semacam loker).
Gambar 1. Tampak depan Gedung Arsip Nasional di Jakarta. Foto oleh Herry Susanto |
Setelah
menghabisi ruang utama, kami bergegas ke lantai dua. Tidak terlalu jauh berbeda
dengan lantai sebelumnya. Hanya lebih kecil dan terdapat keunikan di dinding
ruang utama lantai dua ini. Apabila kita melihat lebih teliti (ternyata juga
terdapat di ruang utama lantai satu) kita akan menemukan lempengan keramik
seukuran piring kecil khas Belanda yang disertai dengan gambar-gambar menghiasi
seluruh bagian bawah dinding tersebut. Setelah diingatkan oleh Tie, saya
melihat berbagai gambar yang menurut Tie bercerita mengenai kisah-kisah di Alkitab.
Iya, saya bisa mengenalinya.
Iya, Gedung
Arsip Nasional telah menambah wawasan saya kembali mengenai sejarah peninggalan
Belanda di Batavia. Di satu sisi saya
jelas kagum, sedangkan di sisi lain, akh.. saya sedang berusaha mendefinisikan
perasaan saya.
Bagian 5
Bagian yang
ingin saya ceritakan kali ini memang berbeda. Saya ingin menceritakan
pengalaman saya bercipika-cipiki dengan mereka, khususnya dengan Eugene dan
Bastian yang ternyata tidak pernah beres. Kalau dengan Tie adegan cipika-cipiki
memang berjalan lancar tanpa masalah. Yang menjadi masalah hanyalah ketika
bersama dengan Eugene dan Bastian ini.
Sudah menjadi
adat mereka, apabila mereka sudah merasa akrab dengan seseorang, maka ketika
bertemu mereka akan cipika-cipiki sebanyak tiga kali. Tolong dicatat, tiga
kali. Dan saya tidak terlewatkan untuk adegan ramah-tamah ini. Di hari kedua
perjumpaan kami, bahkan di perpisahan malam pertama saat mengantar mereka ke
hotel, kita sudah bercipika-cipiki. Argghhh..
.
Untuk kali
pertamanya saya merasakan canggung bercipika-cipiki dengan Eugene dan Bastian,
apalagi wajah si Bastian penuh dengan bulu. Saat pertama kali cipika-cipiki,
Bastian telah berhasil menyisakan rasa geli di pipi saya. Bulunya itu loh..
saya masih suka tertawa sendiri apabila mengingat kegelian ini.
Namun ternyata,
keramah-tamahan ini tidak berjalan lancar. Saya tidak nyaman. Bukan apa-apa,
dalam beberpa kali kesempatan telah terjadi mis-komunikasi antara pipi saya
dengan pipi mereka. Lebih tepatnya antara pipi saya dengan pipi si Eugene dan
Bastian. Puncaknya, terjadi konflik antara pipi saya dan pipi Bastian. Konflik
yang harus segera saya selesaikan. Bukan saja soal pipi, tapi telah menyangkut
persoalan batin dan hati. Hahahaha...
Pernah suatu
malam, saat mengantar mereka ke penginapan, kita bercipika-cipiki seperti
biasa. saya bingung, saya masih di dalam mobil, mereka segera menyambar saya
dengan serangan pipi itu. Nah, saat bercipika dengan Bastian di dalam mobil,
saya otomatis menengadahkan pipi kiri saya. Akan tetapi, anda tahu yang terjadi
berikutnya, ternyata malam itu si Bastian berencana untuk sekali saja. tidak
dua kali. Tidak tiga kali seperti kebiasaan mereka. Untung masih di dalam
mobil, saya yakin muka saya pasti memerah menanggung malu karena merasa di
tolak.
Setelah
beranjak pulang dari hotel mereka, sepanjang perjalanan saya tidak
habis-habisnya melampiaskan rasa kesal atau lebih tepatnya rasa malu yang harus
saya tanggung kepada Mas Ivan, sang supir. Dia hanya bisa tertawa mendengarkan
cerita saya. Saya malu minta ampun.
Nah, tidak
berhenti sampai di situ. Saat kita di Gedung Arsip Nasional, Bastian tidak bisa
menemani seharian, karena dia ada urusan yang harus dia selesaikan di hotel.
Maka, saya mengantarnya menuju mobil dan meminta Mas Ivan mengantarnya. Sebelum
masuk ke dalam mobil (saya bahkan masih tertawa ngakak) Bastian berniat
bercipika-cipiki dengan saya. Nah, berangkat dari pengalaman saya di malam
sebelumnya, saya berniat dan berpikir bahwa cipika-cipiki kali ini mungkin
hanya sekali saja. Yaitu hanya cipiki saja berarti. Setelah kita bercipika,
saya otomatis menarik wajah saya karena berpikir cukup sekali saja seperti
adegan di dalam mobil malam sebelumnya.
Ternyata,
Bastian menawarkan pipinya lagi untuk cipiki setelah saya menarik wajah saya.
Dan, terjadilah momen yang selama ini saya takutkan yaitu “Awkward Moment”. Saya melihat wajah si Bastian memerah. Rasa malu
saya karena tertolak di malam sebelumnya, kini dirasakan oleh Bastian. Saya pun
tidak bisa menahan geli, sehingga saya tertawa. Telah terjadi inkonsistensi
memang. Saya masih geli membayangkan inkonsistensi itu sampai detik ini.
Maka untuk
menyelesaikan masalah soal inkonsistensi itu, di perjalanan pulang dari Gedung
Arsip, saya bercerita kepada Tie dan Eugene. Saya yang memulai topik itu. Saya
tidak bisa tahan berlama-lama dengan kegusaran di dalam hati saya.
Akhirnya,
saya bercerita. Saya bercerita mengenai kecanggungan saya untuk
bercipika-cipiki. Ketika saya berpikir akan tiga kali, ternyata mereka
melakukannya sekali saja. ketika saya ingin sekali saja, ternyata mereka ingin
tiga kali. Saya mengatakan kepada Tie dan Eugene, untuk menyelesaikan segala kecanggungan dan inkonsistensi ini lebih
baik kita tidak usah bercipika-cipiki.
Kemudian Tie
bertanya apakah dia tetap bisa bercipika-cipiki dengan saya. Dan saya jawab
tentu. Masalahnya berarti hanya terjadi pada saya, Eugene, dan Bastian. Apakah
karena mereka laki-laki, saya tidak tahu. Keputusan ini bukan terkait dengan
isu agama, apalagi ideologi. Saya hanya
ingin memutus rantai kecanggungan dan inkonsistensi dalam bercipika-cipiki. Itu
saja.
(Bersambung)
***
Komentar
Posting Komentar