Tour de Batavia
Bagian 1
Selama satu minggu, mulai dari
tanggal 27 Januari sampai 1 Februari 2013 kemarin, saya terlibat dalam sebuah
produksi film dokumenter mengenai bangunan peninggalan Belanda di Jakarta.
Proyek ini melibatkan satu tim dari institusi media tempat saya bernaung dengan
sebuah perusahaan yang bergerak dalam produksi film dokumenter dari Belanda.
Tadinya, saya berpikir saya akan
mengurusi hal remeh-temeh saja. Akan tetapi, semua berubah total setelah berada
di lapangan pada hari pertama produksi. Saya ditugasi oleh produser untuk
menjadi penerjemah. Saya bertugas untuk menerjemahkan Bahasa Inggris ke Bahasa
Indonesia dan juga sebaliknya antara kru produksi dan teman-teman Belanda. Dari
pihak Belanda, mereka bertindak sebagai sutradara dalam film dokumenter ini.
Jadi, wajiblah hukumnya saya harus menerjemahkan setiap instruksi maupun
omongan beliau kepada seluruh kru produksi yang mengaku hanya mengerti
sedikit-sedikit Bahasa Inggris.
Selain menjadi penerjemah, saya
juga diunjuk menjadi semacam pemandu. Pemandu apabila mereka memiliki
pertanyaan mengenai sesuatu. Kalau saya punya jawaban sendiri, ya saya langsung
jawab. Kalau tidak, saya bertanya kepada produser saya, kemudian
menerjemahkannya kepada mereka. Tim dari Belanda itu terdiri dari satu orang
perempuan, dan dua orang laki-laki. Mereka masih memiliki pertalian darah. Sang
perempuan merupakan ibu kandung dari dua orang laki-laki itu.
Si ibu bernama Tie, yang menurut
pengakuannya berusia sekitar 65 tahun. Anak laki-laki pertama bernama Eugene,
yang menurut pengakuannya juga berusia sekitar 31 tahun. Kadang dia salah
menyebutkan dalam Bahasa Inggris, sebelumnya dia mengaku berusia 41 tahun,
kemudian di ralat. Sedangkan yang paling muda bernama Sebastian, yang menurut
pengakuan abangnya berusia 22 tahun. Kami berjarak satu tahun saja. (Terus?? Hubungannya apa ya?) Namanya
juga usaha.
Saya juga bertugas menjadi tukang
jemput dan tukang antar dari dan ke hotel mereka. Maka, mau tidak mau saya
harus terlibat pembahasan dan pembicaraan selama berada di mobil. Terkadang mereka
membuat topik bahasan, terkadang saya juga membuat topik bahasan. Mulai dari
yang paling tidak penting, sampai yang paling penting.
Sayangnya,
mereka dengan gampang menemukan kepribadian saya seperti apa. (Semoga kepribadian saya tidak palsu). Jadi,
mereka tidak pernah berhenti berbicara maupun menanyakan pendapat saya tentang
sesuatu. Tidak pernah kami diam dalam waktu yang lama selama di mobil, maupun
di lokasi pengambilan gambar. Ada saja yang kami bahas.
Topik yang kami bahas mulai dari musik, buku,
agama, negara-negara yang pernah mereka kunjungi, cita-cita, keluarga mereka,
foto-foto yang ada di handphone mereka, jalanan Jakarta, kemacetan, makanan,
sakit penyakit, cuaca, matahari, nyamuk, sate, nasi padang, gado-gado,
ketoprak, soto, wine, sastrawan dunia, pemain bola, acara televisi, film, dan
lain-lain...dan lain-lain...
Kita menjadi
begitu nyambung dan erat. Hahaha... kita menertawakan hal-hal yang sama. Kita
juga prihatin tentang hal-hal yang tidak jauh beda. Saya juga menjadi semacam melakukan
praktik bahasa Inggris yang sejak SD sudah saya minati. Akhirnya, tiba juga
waktunya.
Begitu juga
dengan kru produksi. Kita semua menjadi semacam keluarga baru yang berbeda
bangsa. Tentu selama mereka ingin menyampaikan sesuatu dan bercakap-cakap, saya
tetap menjadi penerjemah.
Sesekali, saya
membiarkan mereka menggunakan bahasa tubuh. Saya berpikir, sudah saatnya mereka
kembali menggunakan bahasa paling universal itu. Bahasa “aaaaa...uuuu..aaaa...uuuu” sambil garuk-garuk kepala dan pantat.
Dasar keturunan monyet!! Heheh...
Gambar 1. Kawasan Bundaran HI Jakarta. Foto ini merupakan koleksi Fotographer bernama Herry Susanto alias Mas Kopral. |
(Bersambung)
***
Komentar
Posting Komentar