Tour de Batavia


Bagian 8

Di hari terakhir proyek dokumenter ini, kami akan mengambil gambar di gedung Kementrian Keuangan dekat dengan Lapangan Banteng. Awalnya saya agak sedih karena dalam hitungan hari saya akan berpisah dengan sahabat baru saya ini. Jadilah hari itu kita menjadi semacam mengalami perasaan akan berpisah. Melankolik sekali bukan?

Tidak henti-hentinya kami bercanda dan bercerita satu sama lain. Kami juga saling merangkul dan tertawa. Bekerja sama selama beberapa hari sudah membuat kita begitu lekat.

Kita tidak membutuhkan waktu seharian untuk pengambilan gambar di gedung ini. Sekitar pukul 15.00 WIB pengambilan gambar sudah selesai dilakukan. Dengan segala kerempongan yang terasa berbeda kali ini, kami menyelesaikannya dengan baik.
Gambar 1. Jendela-jendela yang lebar dan tinggi menjadi ciri khas bangunan
peninggalan Belanda.

Sebelum membereskan segala peralatan, Tie meminta semua kru untuk berkumpul. Tie menyampaikan segala kesan dan pesan kepada semua kru. Dan saya bertindak sebagai penerjemah untuk pidato singkat itu. Setelah itu, kita melanjutkan dengan sesi foto bersama.

Di malam harinya, Tie mengundang beberapa orang mewakili tim untuk makan malam bersama di sebuah restoran seafood dekat dengan penginapan mereka, daerah Gunung Sahari. Beberapa perwakilan dari tim kita datang untuk merayakan proyek yang sudah selesai itu. Turut juga hadir 3 orang yang berasal dari media dan LSM yang sebelum bertemu dengan kami, Tie sudah pernah mengobrol dengan mereka. Dalam beberapa kesempatan, mereka juga turut hadir ke lokasi syuting dan kita juga berteman.

Suasana makan malam itu menjadi semakin sendu, karena akan menjadi makan malam perpisahan dengan Tie, Eugene, dan Bastian. Dalam rangka perpisahan itulah, untuk pertama kali dalam seumur hidup saya minum bir. Hahaha...

Terkadang harus ada momentum yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan.

Dan saya akhirnya minum bir juga. Setelahnya saya malah ketagihan. Walaupun berkat doa seseorang, saya berhasil untuk tetap proporsional. Hahah... teman saya itu seperti ibu-ibu memang.

Selesai makan malam, kami saling berpelukan dan merangkul. Terlalu banyak kata yang tidak bisa diucap. Yang jelas saya tiba-tiba menyayangi mereka. Saya tiba-tiba merasa kesepian apabila mereka kembali ke negara mereka. Saya tiba-tiba merasa kemelekatan yang terlalu sayang untuk diputus. Yah, jarak dan waktu lagi-lagi menjadi tandingan kami.
Gambar 2. Sebelum berpisah kita menyempatkan untuk berfoto bersama

Selamat berpisah kawan! Semoga kita bertemu di waktu dan tempat di masa mendatang. Saya pasti akan merindukan kalian. Sungguh.

Bagian 9 (Finale)

Untuk melengkapi keramah-tamahan sebagai tuan rumah, saya memutuskan untuk mengantar mereka ke bandara. Bastian pulang terlebih dahulu, kemudian disusul oleh Tie dan Eugene dua hari berikutnya.

Kedatangan saya menjadi semacam kejutan bagi Bastian, karena dia tidak tahu kalau saya akan ikut mengantarnya ke bandara. Sebelumnya, saya sudah mengobrol dengan Tie dan Eugene tentang kejutan kecil yang akan kami berikan kepada Bastian. Dan kami sepakat bahwa saya akan turut mengantarnya ke bandara. Tiba-tiba saya terbayang adegan-adegan perpisahan romantis di film-film Amerika, walaupun saya tidak berharap banyak. Hahah... (Dasar Jomblo!!)

Maka, sebelum mengantar Bastian saya berpikir untuk memberikan kenang-kenangan kepadanya. Di Minggu pagi yang galau saya akhirnya memutuskan untuk memberikan sebuah CD musik. Selama beberapa hari pengerjaan proyek ini, selama berada di mobil dan kami memutar radio, Bastian tertarik mendengarkan lagu Raisa yang “Could it Be”. Berangkat dari pengalaman itulah saya memutuskan untuk memberikannya CD Album Raisa.

Sebelum berangkat menjemput mereka di penginapan, saya meluncur ke mall terdekat untuk membeli cd itu. Raisa pantas untuk berterima kasih kepada saya, karena telah mempromosikan cd album-nya sampai ke Belanda. Hahahah...

Konyolnya saya adalah saya dengan bodohnya juga menyelipkan sepucuk pengingat di dalam cd itu sebelum saya memberikannya kepada Bastian. Bukan surat cinta sih, tapi sampai sekarang saya masih merasa bodoh mengingat isi surat itu. Maklumlah, saya berpikir dengan pengingat yang saya sertakan, hadiah cd itu bisa semakin membekas di dalam ingatan Bastian. Saya masih malu. Saya sempat mengatai diri saya bodoh dan menyedihkan dengan melakukan kekonyolan itu. Walaupun beberapa teman saya mendukung dan menguatkan iman saya. Hahah...

Untung juga si Bastian rumahnya di Belanda, sehingga saya tidak perlu malu sewaktu-waktu kalau bertemu di jalan dan dipojokan gang. Hahaha... Dasar orang Indonesia!!

Dua hari kemudian, saya mengantar Tie dan Eugene ke bandara. Selama di perjalanan menuju bandara kami menghabiskan seluruh cerita yang ingin kami bagikan, bahkan sebenarnya tidak pernah habis. Kekonyolan saya berikutnya terjadi hari itu. Ketika Tie dan Eugene permisi untuk segera check-in, kami pun berpelukan.

Anehnya, saya tiba-tiba semakin bersedih ketika berpelukan dengan Tie. Oh My God!! Kenapa saya begini? Kenapa saya jadi melankolis kritis gini ya? Tie dan Eugene sepertinya tidak enak untuk meninggalkan saya, tapi bagaimanapun mereka harus pulang ke negeri mereka. Mereka berjanji akan mengirim email sesampainya mereka di Amsterdam dan rumah mereka. Dan kita masih saling berkirim email sampai sekarang. J

Perpisahan memang menyebalkan.

Selamat jalan Tie dan Eugene, semoga sampai ke tujuan dengan selamat. Semoga kelak ada kesempatan untuk bertemu kembali dan menghabisi cerita kita kembali.
(TAMAT)

Jakarta, Maret 2013
M & M

Komentar

Postingan Populer