#20 Perempuan dan Adat

Relasi antara perempuan dan adat khususnya di dalam masyarakat tradisional masih sering timpang. Perempuan selalu menjadi pihak yang harus berkorban dan tidak jarang menjadi korban atas nama budaya. Tidak sedikit yang akhirnya meninggal atau depresi. Perempuan oh perempuan.

Pemikiran mengenai relasi perempuan dan adat ini sebenarnya sudah saya pikirkan lama. Saya juga merupakan bagian dari suatu budaya yang telah melekat ke dalam diri sejak lahir. 

Apakah hal ini menguntungkan saya? Apakah kemelekatan ini menjadikan saya menjadi manusia yang lebih baik? Well, saya menyaksikan bagaimana perempuan tidak punya kekuatan dan posisi yang penting seperti yang diberikan kepada laki-laki. 

Masa depan perempuan ditentukan oleh dia menikah atau tidak. Selain itu, setelah menikah pun nasibnya belum tentu cerah. Mungkin sebaiknya tidak menikah saja.

Perempuan muda itu bernama Magi Diela. Magi merupakan anak perempuan yang berasal dari kampung adat di Sumba Barat. Magi berbeda dengan perempuan seumurannya yang rata-rata sudah menikah dan punya anak. Magi adalah seorang sarjana pertanian lulusah Jogja. Kecintaannya kepada tanaman, kebun, dan sawah memotivasinya untuk belajar mengenai pertanian. Dia bercita-cita untuk meningkatkan hasil panen di tanah kelahirannya dan membagi ilmu yang ia dapatkan kepada petani-petani di kampungnya.

Namun, apa daya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Magi diculik/ditangkap saat sedang dalam perjalanan memberikan pelatihan kepada petani-petani di kampung sebelah. Penculikan ini dilakukan dalam rangka 'kawin tangkap'

Kawin tangkap merupakan salah satu tradisi budaya sumba, di mana pihak laki-laki akan menculik si perempuan untuk dibawa ke rumah si laki-laki. Kawin tangkap ini dilakukan untuk mempersingkat proses pernikahan ala Sumba yang kerap memakan banyak biaya dan waktu yang sangat panjang.

Magi diculik oleh anak buah Leba Ali. Seorang lelaki paruh baya yang terkenal kaya dan dekat dengan pejabat di daerahnya. Pernikahan ini bukanlah yang pertama bagi Leba Ali. Dia sudah pernah menikah sebelumnya dan ditinggalkan oleh istrinya karena sering diperlakukan kasar oleh Leba Ali. Leba Ali kerap memukul dan memerkosa istrinya.

Magi pun kebagian nasib yang sama. Magi diperkosa oleh Leba Ali saat dia tidak sadarkan diri paska penculikan itu. Kini Magi sadar bahwa masa depan yang ia cita-citakan telah hancur lebur dalam waktu singkat.

Buku ini berkisah mengenai perjuangan Magi Diela dalam mempertahankan harga dirinya sebagai perempuan yang telah dihancurkan oleh kebengisan adat dan laki-laki. Magi memutuskan untuk melawan. Ia melawan meski harus mengorbankan nyawanya sendiri. Perjuangan seorang perempuan untuk lepas dari perkawinan yang tidak diinginkan.

Dengan membaca buku ini, saya semakin yakin bahwa tidak sedikit aturan dalam adat-istiadat yang dibuat oleh nenek moyang kita masih relevan dengan kehidupan modern saat ini. Selain itu, saya juga selalu bertanya-tanya kenapa perempuan selalu menjadi pihak yang seringnya dirugikan dalam pelaksanaan adat ini. Kenapa?

Perempuan tidak pernah diberikan wewenang untuk menentukan nasibnya sendiri. Nasib perempuan diserahkan kepada tangan laki-laki. Nyawa perempuan tidak senilai dengan nyawa laki-laki. 

Saya berpikir hal ini terjadi karena jangan-jangan sejak dahulu kala perempuan memang sudah dianggap tidak penting. Perempuan adalah komoditas. Barang yang bisa ditukarkan dengan barang lain, dalam hal ini seperti mahar atau belis. Perempuan merupakan alat produksi untuk menghasilkan keturunan. Pabrik anak. Objek pemuasan hasrat seks.

Untungya, semakin maju peradaban ini, semakin banyak pula perempua-perempuan yang kritis dalam menanggapi nilai-nilai adat dan budaya mereka. Mereka tidak lagi menjadi korban. Mereka bangkit untuk melawan kesewenang-wenangan. Mereka berjuang untuk merebut hak-hak hidup yang diambil dari mereka.

Saya tidak mengatakan bahwa adat dan budaya itu tidak baik. Akan tetapi, kalau memang nilai atau implementasi suatu budaya itu ternyata merugikan salah satu pihak (seringnya perempuan), kenapa kita harus mempertahankannya?

Apakah alasan 'kan sudah beratus-ratus tahun dipertahankan' menjadi alasan yang kuat untuk tetap menaruh perempuan pada posisi yang menyakitkan? Baik laki-laki maupun perempuan, mereka tidak layak menjadi korban yang dipaksakan hanya karena budaya itu sudah berumur ratusan tahun.

Kita harus berubah. Kita harus berpihak kepada perempuan yang ingin maju dan merdeka. Perempuan yang ingin menentukan nasibnya sendiri tanpa dikendalikan oleh nafsu mempertahankan budaya yang seringnya berada di bawah kendali laki-laki.

Bagaimana menurutmu?





Komentar

Postingan Populer