#29 Berbuat Baik adalah Obat

Iya, berbuat baik adalah obat. Bukan saja bagi yang menerima kebaikan, tapi khususnya bagi yang melakukan kebaikan. 

Tadi malam sebelum tidur saya teringat kembali dengan pemikiran ini. Sebenarnya saya sudah memikirkannya beberapa kali. Saya pikir kebaikan yang dilakukan itu lebih bermanfaat kepada diri sendiri dibandingkan kepada orang yang dituju. 

Kita tidak bisa merasakan perasaan orang yang kita tuju. Kita tidak berdiri menggunakan sepatu yang mereka gunakan. Yang bisa kita rasakan saat melakukan kebaikan kepada orang lain adalah kebaikan yang kita sendiri alami saat melakukannya. Saya pikir kini waktunya untuk menerima dan menghargai perasaan itu.

Saya masih ingat pengalaman saya sendiri di tahun 2020 silam. Tahun 2020 merupakan tahun terburuk dalam hidup saya. Saya kehilangan salah satu abang saya di bulan April. Yang membuat pengalaman ini semakin buruk adalah saya tidak bisa pulang ke rumah karena seluruh Indonesia sedang menutup semua penerbangan, pelabuhan, dan jalur transportasi dalat. Melakukan perjalanan pulang pada saat itu adalah satu hal yang tidak mungkin saya lakukan.

Saya berduka dari jarak yang sangat jauh. Pengalaman berduka yang di satu sisi baru bagi saya, tapi di sisi lain saya tidak punya ide sama sekali harus berbuat apa di tengah duka ini. Kalau saya ada di tempat yang sama dengan keluarga saya, mungkin banyak hal yang bisa saya lakukan. 

Mengerjakan ini itu mungkin bisa meringankan beban duka itu. Katanya bekerja adalah salah satu cara terbaik untuk menghadapi duka. Mungkin ada jenis penderitaan tertentu yang bisa diterima dengan cara mengabaikannya melalui kesibukan-kesibukan. Di sisi lain, kita tetap dipaksa untuk hidup.

Karena tidak bisa berada di antara anggota keluarga saya, saya pun menjalani duka dalam kesendirian yang hening. Duka ini tidak bisa saya bagi bersama keluarga saya secara langsung. Hingga suatu pagi, ide itu muncul begitu saja.

Saya menghubungi teman sekaligus rekan kerja saya saat itu. Trai, Waid, dan Upan. Saya meminta talong mereka untuk menanyakan kepada guru dan pustakawan/wati dampingan program kami saat itu apakah mereka sudah menerima gaji atau belum. Sebagian besar menjawab belum, bahkan sudah sampai berbulan-bulan. Kompensasi karena Covid pun tidak mereka terima. Kenyataan ini mendorong saya untuk segera bertindak.

Saya pun menggalang dana untuk membantu meringankan beban para honorer yang ada di sekolah dampingan kami maupun sekolah yang berada jauh dari jangkauan kami. 

Tidak pernah saya duga sebelumnya, saya berhasil mengumpulkan donasi hampir 37 juta rupiah. Bermodalkan menghubungi teman, kenalan, kolega, dan mantan kolega melalui WA dan telepon, saya berhasil mengumpulkan dana yang sangat banyak. Dengan donasi itu saya berhasil mendukung kebutuhan harian target donasi kami hingga beberapa minggu sampai Lebaran tiba. Ajaib!!

Mengumpulkan donasi di tengah situasi ekonomi yang sedang surut memang menyisakan perasaan tidak enak bagi saya sendiri. Tapi, melihat respon para donor ketika melaporkan transferan mereka, otak saya tidak bisa berkomentar apa pun. Mindblowing! 

Akhirnya donasi bisa kami jalankan hampir sebulan penuh. Kami mendukung hampir 120 orang honorer yang tersebar di mulai dari NTT, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. 

Di waktu yang sama saat menjalankan donasi itu, saya juga sedang mengobati diri saya sendiri. Saya sangat terhibur dan terharu mendengar testimoni dari guru2 yang kami dampingi dan di waktu yang sama saya sedang berusaha mengobati duka saya sendiri.

Saya sih tidak langsung sembuh ya! (Entah juga ada yang namanya sembuh dari duka?) Hanya saja, kegiatan dadakan itu memberikan saya kekuatan untuk menjalani hari-hari saya yang suram dan gelap. Saya juga ingat betapa baiknya orangtua kos saya yang memberikan saya waktu untuk sendiri sebebas hati sambil tetap menyediakan makanan dan penghiburan bagi saya. Ahh... Sungguh mereka orang baik.

Hikmah (entah di mana si Hikmah ini sekarang!) yang saya dapatkan adalah berbuat baik entah kepada siapa pun dan apa pun bisa menjadi obat saat kamu sedang sakit hati, stres, depresi, dan berduka. Tapi, tidak perlu memaksa diri saat tidak mau dan tidak bisa. Beri diri kamu waktu. 

Bagaimanapun, kamu akan menemukan jalan untuk melakukannya (kebaikan itu), karena diri kamu ingin hidup. Keinginan di dalam diri kamu yang tetap mau berjalan dan menjalani hari-hari yang nampaknya sia-sia jauh lebih kuat dari pada keinginan untuk terpuruk berlama-lama. Saya sudah membuktikannya. Bukan jalan yang mudah memang.

Komentar

Postingan Populer