#10 Si Belang & Si Kecil

Si Kecil
Tidak pernah bisa kubayangkan akan menyaksikan hari terakhir anak kucing yang kupelihara. Sungguh hari yang menyakitkan bagiku. Tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Hanya dengan air mata. Kesedihan yang berbeda dan unik. Kupikir yang membuat duka yang ini berbeda adalah karena duka ini milikku sendiri. Aku tidak perlu berbagi duka dengan orang lain. Menyakitkan sih, tapi aku harus menerimanya. Aku perlu waktu dan sambil berharap waktu segera berputar dengan cepat. Time is a b*tch!

Si Belang ini termasuk anak kucing yang aktif dan penasaran tanpa takut. Kalau pintu dapur sudah terbuka, dia akan berlari untuk menemukanku di kasur sambil memegang buku. Dia akan memanjat naik ke atas kasur, kemudian mengganggu konsentrasiku dengan menggingit jempol kakiku dan mencakarku dengan cara yang menyebalkan. Bekas cakarannya masih ada di seputar tulang keringku dan tak kusangka akan menjadi kenang-kenangan darinya.

Aku bersamanya di saat-saat terakhirnya menarik napas. Tubuhnya sudah dingin meskipun aku masih melihat perutnya kembang-kempis secara perlahan-lahan. Setelah berpikir beberapa saat, membayangkan tingkahnya belakangan "Apakah kucing juga menyadari saat-saat terakhir mereka untuk hidup?"

Si Belang sudah selesai
Anak kucing satu lagi bernama si Kecil. Dia merupakan kebalikan dari si Belang. Pendiam, pengamat, dan badannya yang kurus seperti tidak pernah makan. Menyaksikan si Kecil bermain bersama saudara-saudaranya merupakan salah satu kejadian yang selalu membuatku tersenyum senang setiap harinya. Walaupun badannya yang paling kecil, dia memiliki semangat yang jauh melebihi ukuran badannya.

Yang membuatku sedih luar biasa adalah si Kecil tidak kembali ke rumah saat gelap menjelang seperti yang biasa dia lakukan. Di saat terakhir aku melihatnya, tidak pernah terpikirkan akan menjadi yang terakhir. Satu keunikan kucing yang kupikirkan adalah mereka mencari tempat tergelap yang tidak akan bisa ditemukan oleh siapapun untuk menunaikan napas terakhir mereka. Untuk tidur selamanya.

Si Belang dan Cakar-cakarnya
Ketika menyadari bahwa si Kecil tidak pulang hari itu, tangisku pecah membayangkan dia sedang sendirian dan mungkin kedinginan. Si Kecil tidak didampingi oleh siapapun di momen terakhirnya. Sh*t!!

Kehilangan dua anak kucing dalam waktu yang berdekatan menjadi semacam pengingat bagiku betapa dekatnya kematian dengan kehidupan. Kita tidak akan pernah menduga kapan giliran kita. Mungkin kita berpikir kita sudah bersiap-siap atau merasa siap, tapi sebenarnya kita tidak akan pernah siap. Akan selalu ada penyesalan. Akan selalu ada sesuatu tentang melakukan ini atau melakukan itu, tanpa benar-benar melakukannya.

Kupikir kucing adalah salah satu hewan yang selalu berumur panjang. Oleh karena itu, menemukan mereka mati dalam usia yang begitu muda, membuatku sangat sangat putus asa. Melihat kucing-kucing lain yang masih hidup, kupikir aku diingatkan kalau kami tidak akan hidup selamanya. Aku harus mengingatkan mereka tentang itu. Kami tidak akan bersama-sama selamanya.

Saat Berjemur
Atau aku saja yang belum bijaksana. Mungkin kucing sudah punya sistem kebijaksanaan seperti itu. Mereka lebih mengerti kapan mereka akan mati atau kapan mereka akan menikmati harı-hari. Sebaiknya aku mengingat pelajaran hidup dari kucing-kucing ini.

Selain itu, aku hanya bisa berjanji untuk memperlakukan mereka dengan lebih baik. Walaupun aku tidak percaya kalau surga itu ada, membayangkan semua hewan yang sudah meninggal akan masuk ke surga yang lebih menyenangkan, kenapa tidak?

Mereka akan selalu ada di dalam hati dan ingatanku. Kuberharap segera aku bisa tersenyum ketika mengingat mereka, seperti duka-duka sebelumnya yang nyaris pulih. Atau akan selalu ada di situ. Sampai tiba giliranku.

Bless them soul!


Toba, Oktober 21

M

Komentar

Postingan Populer