#18 Berduka untuk Kucing

Berduka karena kehilangan bukan pengalaman pertama bagi saya. Meskipun tahu betul kalau kematian akan selalu ada dan siap menyerang kapan pun, saya pikir tidak ada seorang pun yang benar-benar siap menghadapinya. Termasuk saya sendiri.

Pengalaman ditinggalkan oleh orang terkasih memang sangat menyakitkan. Akan tetapi, ditinggal mati oleh hewan yang disayangi sepenuh hati, ceritanya beda lagi. Menyakitkan, itu jelas sekali. Berhari-hari seperti dihadang oleh dementor-dementor. Tidak ada rasa nyaman dan aman lagi. Firasat buruk datang dengan segala kepastian. Tidak ada ragu sedikit pun.

Inginku hari-hari buruk itu segera berlalu, tapi justru waktu berputar sangat lambat. Saya seperti dipaksa untuk menelan semua pil pahit itu perlahan-lahan. Pahitnya sampai ke tulang-tulang. Meresap. Mematikan.

Air mata masih terus mengalir saat membayangkan masa-masa terakhir mereka mengambil napas. Saya kehilangan tiga kucing yang sudah saya rawat sejak mereka kecil dalam waktu satu hari. Kare, Kimchi, dan Kumis. Sudah sepuluh bulan terakhir ini kami menghabiskan waktu berama-sama. Mereka dengan segala bentuk tingkah dan kepribadian telah menghiasi hari-hari saya yang buruk. Keberadaan mereka dalam sepuluh bulan terakhir ini saya akui sangat berarti bagi saya. Mungkin saya tidak akan sanggup bangkit dari kasur kalau bukan karena mereka.

Mereka diserang semacam virus yang mematikan. Hanya sehari semenjak gejala terlihat mereka tidak sanggup lagi untuk bertahan. Awalnya berupa muntah berwarna kuning, kemudian dilanjutkan dengan lemas, kehilangan nafsu makan, dan meninggal. Saya masih sempat merawat mereka di malam terakhir itu. Begadang sampai pagi untuk mengawasi perkembangan mereka yang justru semakin merosot. Obat dari dokter hewan tidak mempan lagi.

Saya bersedih dan menangis terluka ketika melihat ketiga kucing saya tidal berdaya lagi. Mata mereka meredup. Bulu mereka menjadi pucat. Sungguh kontras dengan hari-hari sebelumnya. Saya sudah punya firasat buruk, tapi saya tidak pernah rela meneariam firasat itu. Mereka sungguh tidak berdaya. Mereka tidak bisa melawan. Mereka tidak bisa mengeluh. Mereka tidak bisa menunjukkan bagian tubuh mereka yang sakit.

Sekitar pukul lima pagi, saya melihat Kare berada di jendela dapur. Saya memang sengaja membuka jendela dapur supaya mereka bisa keluar kapan pun mereka mau. Unfug bang hajat atau menghirup udara segar.

Subuh itu, saya masih mengelap mulet Kare yang basah. Wajahnya sudah kelihatan sangat kuyu. Dia pun melompat ke luar rumah. Pikiran saya dia ingin rebahan di teras samping atau belakang. ternyata, pagi itu adalah waktu terakhir saya melihat Kare. Dia tidak pernah kembali ke rumah. Kare meninggal dalam sepi dan dingin. Kenyataan ini sangat menghancurkan hati saya.

Kimchi dan Kumis tetap berada di sekitar rumah saat menjelang ajal mereka. Saya menaruh mereka ke dalam kardus dan menyelimuti mereka. Saya tidak bisa menahan tangis, saya pun menangis sambil mengelus lembut kepala mereka berdua. 

Kumis mengakhiri perjuangannya terlebih dahulu. Sentakan terakhir. Napas terakhir. Detak terakhir. Saya menyaksikan itu semua di depan mata saya sendiri. Sungguh pemandangan yang menyayat hati. Tapi saya melihat mata Kumis yang lembut seperti matanya saat hidup. Kumis meninggal dengan tenang dan tersenyum halus.

Sejam setelah Kumis mengakhiri perjuangannya, Kimchi pun melakukan hal yang sama. Meow terakhir. Napas terakhir. Muntah terakhir. Tai terakhir. Detak terakhir. Kimchi meninggal dengan mata yang indah dan bidup. Dia tetap kalem. Tidak marah. 

Sungguh menyayat hati saya. Saya menangisi mereka berdua sambil mengelus kepala dan memanggil nama mereka.

Saya mengubur Kumis dan Kimchi di lubang kubur yang sama. Sampai saat ini masih sedih membayangkan Kare yang mati sendirian. Kupikir dia pasti menatap lembut dan menawarkan senyum halusnya kepada alam.

Selamat jalan, sahabat-sahabatku!

Terima kasih untuk semua memori menyenangkan yang kalian tinggalkan kepadaku. Kalian akan selalu hidup di dalam ingatanku.

Saya bahkan ingin berdoa atau bahkan sudah berdoa saat itu. Di dalam hati saya juga tahu itu pasti sia-sia. Untuk pertama kalinya saya berharap sorga ada untuk hewan-hewan yang sudah meninggal, khususnya yang meninggal dengan cara menyedihkan.

Well, saya tidak berharap banyak. Saya harus menelan pil pahit itu hidup-hidup dan lambat-lambat.

Komentar

Postingan Populer